Dang Didung Ikut Pemilukada (2 dari 2)

Setelah sempat tertunda karena saya menganggap penting membuat postingan tentang siswi SMP alias Sekolah Menengah Pertama sebagai salah satu bentuk SEO untuk menandingi adanya konten negatif seputar siswi SMP, berikut ini saya turunkan lanjutan cerpen Dang Didung Ikut Pemilukada bagian dua alias bagian terakhir:

“Begitulah Pak Didung. Kami sangat berharap Pak Didung mau kami usung. Mumpung masih ada waktu sekitar sepuluh bulan lagi. Ini kami kira cukup untuk persiapan dan mengumpulkan sekitar 70 ribu tanda tangan rakyat sebagai bentuk dukungan formalnya kepada kita.”


Dang Didung merenung. Dia tidak segera menjawab. Terutama karena memang bila jawaban “ya” yang dibutuhkan, maka hal itu harus merupakan keputusan bersama, yakni keputusan dia dan istrinya. Bahkan mungkin harus pula mendengar saran-saran dari kedua orang tuanya, baik orang tua dari istri maupun orang tuanya sendiri.

Jauh di lubuk hatinya Dang Didung juga tidak yakin bahwa dia akan mampu menjadi seorang pemimpin dari sekelompok masyarakat yang begitu besar, yang latar-belakang sosial, ekonomi, budaya dan politiknya berbeda satu sama lain. Sekarang saja, sebagai ketua RW di sebuah kompleks perumnas, Dang Didung seringkali pusing tujuh keliling hanya sekedar bagaimana warga perumahan itu sadar atas kewajibannya melaksanakan ronda malam.

Belum lagi persoalan-persoalan sepele yang terjadi di lingkungannya, seperti anak-anak yang berantem, salah parkir mobil sampai nabrak pagar rumah orang, pertengkaran suami-istri dan sebagainya. Semua persoalan itu akhirnya sampai juga ke rumahnya, dan Dang Didung dituntut untuk menyelesaikannya dengan sebuah keputusan bijak yang dapat diterima semua pihak.

Bahkan bagi Dang Didung tanggung jawab seorang pemimpin itu berkonsekwensi dunia akhirat. Apa yang dilakukannya selama menjdi pemimpin, bukan hanya dinilai oleh orang-orang yang dipimpinnya saja, tapi juga dicatat malaikat untuk nanti dipertanggungjawabkan di depan Hakim Maha Agung. Karena itu Dang Didung tidak serta-merta mau menerima tawaran tersebut. Katanya, “Saya tidak bisa memutuskan sekarang. Berilah saya waktu satu minggu.”

Kang Natasukma dan kawan-kawannya setuju. Mereka akan datang lagi seminggu kemudian. Dan Dang Didung dalam seminggu bermusyawarah dengan istri, orang tua dari kedua belah pihak, serta beberapa tetangganya yang dianggap Dang Dading memiliki wawasan yang luas soal politik dan pemerintahan.

Dari musyawarah itu Dang Didung akhirnya memutuskan untuk ikut pemilukada. Hal ini disambut gembira Kang Natasukma dan kawan-kawannya ketika mereka bertamu lagi ke rumah Dang Didung pada waktu yang dijanjikan. Mereka pun tak lagi membuang-buang waktu. Kang Natasukma secepatnya menyusum tim untuk mengumpulkan tanda-tangan rakyat sebagai bukti dukungan formalnya.

Sementara Dang Didung sendiri mulai bersilaturahmi kepada rekan-rekan pedagang di pasar tradisional dan para ketua RW/RT yang dia kenal. Terkadang dibarengi oleh Kang Natasukma. Mula-mula mereka bersilaturahmi di sekitar kota, lalu ke kecamatan-kecamatan sampai ke desa-desa.

Mungkin karena namanya cukup dikenal di kalangan para ketua RW di kabupaten itu, dalam waktu sekitar tiga bulan, dukungan formal rakyat berupa tanda-tangan berikut fotocopy KTP-nya sudah mencapai 70 ribu lebih, dan itu sudah lebih dari jumlah batas minimal dukungan rakyat bagi calon dari jalur perseorangan sebagaimana diatur undang-undang.

Lalu ketika Dang Didung dan Natasukma menyerahkan berkas-berkas pendaftarannya ke KPUD pada jadwal yang telah ditentukan, yang kemudian oleh petugas KPUD diverifikasi, baik secara administrasi maupun faktualnya di lapangan, mereka lolos dengan mulus. Dan secara resmi Dang Didung-Natasukma dinyatakan sebagai salah satu dari tujuh pasangan calon bupati/wakil bupati peserta pemilukada.

Mereka pun segera mencetak stiker, spanduk dan baliho yang bertemakan “Berubah Bersama Rakyat”. Lalu pada saat kampanye dimulai, stiker, spanduk dan baliho itu disebar kepada rakyat serta dipasang di sudut-sudut kota dan pelosok-pelosok desa.

Pada saat bersamaan, mereka menggelar panggung hiburan rakyat di 100 tempat dengan menampilkan berbagai kesenian mulai dari seni tradisional, orkes dangdut hingga tampilan penyanyi pop berkelas nasional. Juga menggelar tabligh-tablig akbar di 100 titik dengan menampilkan da`i kondang baik tingkat lokal maupun nasional.

Pokoknya dibandingkan enam peserta pemilukada lain, kampanye pasangan Dang Didung-Natasukma terbilang lebih semarak, sekalipun ada juga sindiran dari beberapa kelompok masyarakat yang menyebut mereka sebagai calon bupati/wakil bupati yang kikir. Sebab memang mereka tidak pernah membagi-bagikan uang dan sembako kepada rakyat.

Bahkan para pengamat politik lokal, yang berkomentar di berbagai media cetak, dengan gaya yang seolah-olah pandai menganalisa situasi politis hati rakyat, menyebut pasangan Dang Didung-Natasukma hanya sekedar peserta penghibur saja. Dengan pongah mereka bilang, “Pemilukada kali ini sesungguhnya hanya diikuti enam pasangan, sekalipun secara resmi memang ada tujuh pasangan calon yang akan bertarung, yakni tiga pasangan independen dan empat pasangan yang diusung parpol.”

Lalu tibalah saat pemungutan suara, yang beberapa jam kemudian diteruskan dengan perhitungan suara. Dang Didung bersama istri, memberikan suaranya di TPS yang ada di lingkungan RW-nya. Begitu juga Kang Natasukma bersama istri, mencoblos di TPS setempat.

Saat suara dihitung, sungguh luar biasa. Baik di TPS-nya Dang Didung maupun di TPS-nya Kang Natasukma, mereka berhasil mengumpulkan suara lebih dari 70 persen. Hal ini membuat saksi-saksi dari pasangan lain protes, terlebih lagi saksi dari pasangan incumbent yang diusung parpol besar. Mereka ngotot ingin dihitung ulang, karena memang di dua TPS itu pasangan incumbent sama sekali tidak memperoleh satu suara pun. Namun hasil hitung ulang sama saja. Pasangan incumbent nol suara.

Begitu juga di TPS-TPS lain. Suara yang dikumpulkan Dang Didung-Natasukma mengungguli lawan-lawannya secara telak, termasuk di TPS-TPS yang berlokasi di kampung tempat tinggal masing-masing para calon lain itu. Mereka agaknya di kampungnya sendiri tidak disukai, sekalipun sehari sebelum pencoblosan, warga setempat dikasih sembako lengkap dengan lauk-pauknya oleh tim sukses dari para calon itu. Tapi warga di sana agaknya paham benar, para calon itu baik hati karena ada pamrihnya, bukan karena dorongan hati yang ihlas. Rakyat rupanya sudah cerdas.

Hingga pukul 22.00 hari itu, tim yang diturunkan pasangan Dang Didung-Natasukma ke TPS-TPS untuk mencatat hasil perhitungan, sudah bisa menyajikan laporannya dengan hasil yang cukup mengejutkan: pasangan Dang Didung-Natasukma mengumpulkan suara 44 persen, diikuti pasangan independen lainnya yang meraih suara 27 persen, sisanya dikumpulkan oleh calon lain dengan suara tak terlalu berjauhan. Pasangan incumbent sendiri hanya mendapatkan suara 11 persen saja.

“Kita menang!” Teriakan bergema di posko pasangan Dang Didung-Natasukma, yang kebetulan merupakan rumah tinggal Kang Natasukma. Tim dan pendukungnya lalu menyalami Dang Didung dan Natasukma yang duduk berdampingan di posko itu.

“Kita menang!” Kembali teriakan kegembiraan bergema.

“Tapi itu baru hasil perhitungan versi kita. Realnya boleh jadi akan sangat berbeda,” ujar Dang Didung yang di-aya-kan oleh Kang Natasukma. “Kita perlu juga mengetahui hasil perhitungan versi calon-calon lain, karena hasil perhitungan KPUD dipastikan lambat. Kalau hasil perhitungan calon-calon lain menunjukkan kita yang unggul, sekalipun suaranya di bawah perhitungan versi kita, bolehlah kita meluapkan kegembiraan. Besok mungkin kita bisa memperolehnya.”

Apa yang diperolehnya kemudian justru lebih dari itu. Beberapa pesaingnya justru secara terbuka kepada para wartawan setempat mengakui kekalahannya dan mengucapkan selamat kepada pasangan Dang Didung-Natasukma. Bahkan calon bupati dari pasangan independen yang mengumpulkan suara diurutan kedua, menganggap kemenangan pasangan Dang Didung-Natasukma sebagai kemenangannya juga. “Terbukti sudah sekarang rakyat menghendaki calon pemimpin dari jalur independen yang memimpin mereka,” katanya.

Memang luar biasa. Kemenangan Dang Didung-Natasukma nyaris tanpa protes dari calon-calon lainnya, apalagi sampai ada yang menuduhnya telah berbuat curang. Ini mendorong memperlancar proses perhitungan suara oleh KPUD. Sehingga pada jadwal yang ditentukan, dalam rapat plenonya yang terbuka untuk umum, KPUD menetapkan pasangan Dang Didung-Natasukma sebagai pemenang pemilukada dengan meraih suara 46,2 persen.

Di rumahnya yang sederhana, sepulang mengikuti rapat pleno KPUD hari itu, Dang Didung termenung di kamarnya. Di wajahnya sama sekali tak terlihat rona kegembiraan. Padahal suasana rumahnya sendiri saat itu sedang ramai, penuh oleh pendukung dan tamu-tamu yang datang mengucapkan selamat. Tapi Dang Didung sendiri tidak bisa menikmati suasana bahagia itu. Dang Didung sepertinya benar-benar resah menghadapi hari esok, hari-hari setelah dia dan Kang Natasukma nanti dilantik sebagai bupati dan wakil bupati oleh gubernur atas nama mendagri.

Dang Didung resah karena dia sangat yakin bahwa tugas, wewenang dan kewajiban seorang bupati itu berbeda dengan tugas, wewenang dan kewajiban seorang ketua RW. Dan Dang Didung nanti bukan lagi seorang ketua RW di kompleks perumnas, tapi seorang bupati yang memimpin ribuan wilayah ke-RW-an. Kalau nanti Dang Didung mampu merealisasikan janji-janjinya, mungkin orang akan terkagum-kagum dan membanggakannya.

Tapi bagaimana kalau gagal? “Pantas! Bupati kita ini levelnya cuma seorang ketua RW kok!” Pasti begitu sindiran yang dilontarkan para pengamat politik lokal kepadanya. Pasti dengan pongah mereka juga bilang, “Masyarakat kita memang perlu pendidikan politik agar mereka bisa menjatuhkan pilihannya secara cerdas, tidak seperti pemilukada lalu.” Dang Didung pasti akan sedih dengan penilaian seperti itu, sebab itu artinya rakyat yang memilih dia dan Kang Natasukma adalah rakyat yang bodoh.

Di kamarnya Dang Didung masih termenung. Pikirannya makin jauh menerawang ke depan, dan karena itu Dang Didung mulai ragu dia akan mampu menjadi seorang bupati yang amanah. (ArusRasyid)

3 komentar:

Ifan Qomarudin mengatakan...

Cerita yg menarik Sob, mudah2an menjadi kenyataan di 2014 (he...he...he).

NENSA MOON mengatakan...

Akhir cerita yg sangat menarik!
begitu banyak pelajaran hidup yg dpt diambil dr cerita ini...
Seorang pemimpin seperti Dang Dingdung memiliki sisi kepribadian yang cukup baik sebagai seorang pemimpin, meskipun tetap memiliki kekurangan disana sini... namun bagaimanapun bukankah tdk ada yg sempurna di dunia ini..?!
Segala dusta dan kepalsuan di bumi ini, meskipun diselimuti emas... bagaimanapun tak akan mampu melawan kejujuran dan kemurnian sejati yang akan memancar deras menerobos setiap relung jiwa rakyat di bumi ini...

cKAja mengatakan...

waduh ceritanya bagus banget nih

Posting Komentar