Titin Masih Perawan

Selasa, 28 Desember 2010

Sampai usia 35 tahun ini Titin masih belum menikah. Titin masih perawan tulen, begitu kata orang-orang.

Ada nada bangga, sekaligus risi. Bangga karena pada usianya itu Titin masih bisa mempertahankan kesuciannya. Apalagi Titin bukanlah gadis kebanyakan: ia cantik, bahkan paling cantik di antara gadis-gadis yang terdapat di desa itu – sebuah desa di pinggir gunung yang dipimpin oleh ayahnya sendiri. Risi karena memang statusnya yang belum menikah. Perempuan desa diusia seperti Titin, kalau belum menikah, selalu jadi gunjingan. Ini tak jarang membuat orang tuanya merasa malu.

Memang mengherankan. Apa yang kurang pada diri Titin? Karena sombongkah, mentang-mentang puteri kepala desa? Rasanya tidak. Sebab sering terlihat Titin bercanda dengan gadis-gadis lain. Sering pula Titin ikut menuai padi, atau tandur, atau apa saja yang biasa dikerjakan perempuan desa. Titin pun selalu menoleh bila ada pria menyapa, lalu tersenyum manis.

“Titin tidak sombong,” begitu kata orang-orang.
“Titin wanita cantik luar dan dalam,” kata warga desa.
Lantas apa sebenarnya yang menyebabkan Titin belum juga menikah? Tak seorang pun tahu. Orang tuanya sendiri tak bisa menjawab pertanyaan itu. Mereka hanya mampu bersabar seraya berupaya mencarikan pria yang pantas buat putri tunggalnya itu.

Tapi usaha orang tuanya untuk mendekatkan jodoh Titin, belum menampakkan hasil. Pak Kuwu selalu gagal mengundang lelaki untuk pasangan anaknya. Bahkan sering pula Pak Kuwu menanyai anaknya, kalau-kalau ia sudah punya pilihan sendiri. “Tunjukkanlah kalau kau sudah punya pilihan. Jangan takut, siapa dan bagaimana, asal baik, Bapak dan Ibu pasti setuju,” kata ayahnya suatu hari.

Namun dengan sedih Titin senantiasa menggelengkan kepala. Biasanya dari sudut-sudut matanya ada air mengembang, lalu meleleh menyebrangi sepasang pipinya yang montok dan halus, dan jatuh ke atas pangkuannya. Dan biasanya pula Sang Ibu dengan sigap memeluknya. Sementara Pak Kuwu hanya mampu menatap dengan kebisuan yang dalam. Dan pandangan hatinya menembus batas-batas, mencari-cari tempat Tuhan sambil berseru, “Tuhan, mengapa demikian buruk nasib anakku?”

Sering terbersit dalam pikiran Pak Kuwu, apakah semua ini karena jabatannya sebagai kepala desa? Atau ada yang salah ketika ia mendidiknya? Belakangan ini pertanyaan-pertanyaan itu kembali menggodanya. “Tak ada artinya aku jadi kuwu kalau anakku menderita,” desahnya sambil mengambil keputusan ia akan segera mengundurkan diri.

Namun Pak Kuwu belum sempat mengundurkan diri ketika desa itu diguncang khabar mengejutkan: Titin hamil tiga bulan. Bagai tanggul di pinggir desa yang jebol oleh hujan semalam, berita kehamilan itu cepat sekali menyebar. Dalam sekejap seluruh penduduk desa itu mengetahuinya.

Mereka tercengang.
“Yang benar?” tanya seseorang
“Kalau tidak percaya, ya sudah!” jawab orang yang membawa berita kehamilan Titin.
“Siapa bapaknya?”
“Tidak tahu!”

Gegerlah desa itu.
Para ibu berkata, “Tak menyangka ia begitu!”
Sedang para gadis bergidik, “Ih, amit-amit!”
Ya, kehamilan Titin jadi berita besar. Ini memang karena setahu mereka Titin belum menikah.

“Apakah Pak Kuwu menikahkannya secara diam-diam?” tanya seoorang nenek di sebuah warung. “Bagaimana Mang Punduk? Mang Punduh `kan orang dekat Pak Kuwu? Pasti sudah dibisiki, walau tidak ikut hadir dalam pernikahannya, atau mungkin tdak boleh hadir.”

Mang Punduk menggeleng. “Agar tidak menjadi fitnah, saya akan menanyakannya langsung kepada Pak Kuwu. Kita tentunya tidak ingin Kuwu kita mendapat aib,” jawab Mang Punduh. Dan orang-orang yang ada di warung itu mengangguk setuju.

“Saya sendiri tidak mengerti Punduh, mengapa aib ini terjadi,” suara Pak Kuwu perlahan. Wajahnya menyimpan duka. Sorot matanya tak lagi menyimpan wibawa. Mang Punduh melihat kuwunya sebagai prajurit yang kalah perang. Sambil menyandarkan tubuhnya pada kursi, ia berkata lagi, “Anakku membisu. Ia tetap tidak mau mengaku ketika dituduh telah berbuat bejat. Kekerasan yang kami lakukan pun hanya membuat kami lebih tidak berdaya.”

Terlihat oleh Mang Punduh bibir kuwunya bergetar menahan tangis, atau mungkin juga amarah.
“Maaf, Pak, bukan maksud saya ikut campur urusan pribadi Bapak. Tapi….” Mang Punduh merasa bersalah tadi ia telah bertanya tentang kehamilan Titin.

“Tidak, Punduh! Tanpa kau tanyakan pun, saya akan menceritakannya kepadamu, malah mungkin kita perlu memusyawarahkannya. Saya merasa pasti tanpa bantuan orang lain, saya tidak bisa menyelesaikannya.” Pak Kuwu menarik tubuhnya ke depan. “Terutama mengenai siapa bapak jabang bayi itu. Kau selidiki seluruh lelaki di desa ini. Kau cari keterangan, siapa yang pernah melihat ada lelaki masuk ke rumahku, atau melihat anakku bersama lelaki lain. Kau juga buka arsif, siapa-siapa yang pernah melakukan kejahatan. Aku sendiri sekali lagi akan menanyai anakku.”

Akan tetapi sampai hamil Titin berjalan empat bulan, lelaki yang menyetubuhi Titin belum juga ditemukan. Semua lelaki di desa itu bersumpah `demi langit runtuh` kalau mereka telah berbuat tak senonoh terhadap Titin. Dan Titin sendiri tetap pada pendiriannya: tidak pernah berjinah! Dan lebih aneh, ketika Titin dibawa ke puskesmas, atas saran seseorang untuk memastikan betul tidaknya Titin hamil, bidan mengatakan, “Titin hamil, benar!. Tapi... dia masih perawan!”

Semua yang mengantarkan Titin ke puskesamas terbelalak. “Tidak mungkin!” seru Pak Kuwu. Yang lain hanya menggelengkan kepala. Dan orang-orang terlalu terkejut mendengar hasil pemeriksaan itu, sehingga keterangan bidan selanjutnya tidak begitu terdengar. Atau lebih tepatnya, tidak dapat dimengerti. Orang-orang hanya mendengar, “Kejadian seperti ini bukan yang pertama kali,” kata bidan itu.

Tidak aneh kalau berita terakhir itu menambah geger desa itu. Bahkan ada yang berani menduga, “Titin disetubuhi mahluk halus!” Dugaan semacam itu hampir mendapat persetujuan seluruh warga desa setelah seorang tetua yang paham tentang kemahlukhalusan menyatakan hal yang sama.

Benarkah? Aku tidak tahu. Yang jelas, ketika aku ditugaskan sebagai guru di sebuah SD inpres yang ada di desa itu, Titin yang cantik, masih belum menikah. Jabang bayi yang dikandungnya telah lama lahir. Bahkan sudah berumur dua tahun. Puteranya lelaki, sempurna, cakep seperti ibunya. Sementara Pak Kuwu sendiri sudah tidak lagi jadi kuwu.

Satu hal yang masih sering diperbincangkan, orang-orang tidak percaya Titin hamil tanpa dijamah seorang lelaki. Dan aku pun membisu ketika orang-orang di desa itu meminta pendapatku tentang kasus Titin.

(Cerpen lama, pernah dimuat di HU.Bandung Pos, beberapa tahun silam)

Readmore »»

Sulastri Diperkosa

Kamis, 02 Desember 2010

Sulastri diperkosa! Begitu kata temanku dua minggu lalu. “Lima belas pemuda brangasan yang tidak dikenal, secara biadab memperkosa Sulastri di sebuah rumah kosong yang terletak di dekat SD Inpres,” kata sang rekan, seakan-akan sedang membacakan sebuah berita kriminal di koran mingguan.

“Pagi-pagi ketika anak-anak SD itu bermain di dekat ruumah kosong itu, mereka mendengar rintihan. Waktu ditengok, di dalam rumah kosong itu tampak Sulastri terbaring lemas dengan tubuh tanpa busana. Di tubuhnya banyak luka-luka. Malahan yang paling rusak adalah iii…”

“Stop!” kataku memotong kalimatnya. Aku sudah bisa membayangkan tanpa dongeng yang lengkap sekalipun pun, bahwa betapa malangnya Sulastri. Ia tentu harus terbaring di rumah sakit sekian hari dengan penanganan medis yang intensif. Aku juga sudah dapat membayangkan, betapa orang tuanya berduka, betapa kakak-kakaknya (Sulastri putri bungsu) sedih berkepanjangan. Dan betapa pacarnya terpukul (Sulastri akan menikah dengan pacarnya itu tiga bulan lagi).

“Malam itu, seperti biasanya Sulastri pulang kuliah,” rekanku memaparkan awal peristiwa menyedihkan itu tanpa kuminta. “Bumi baru saja disiram hujan, sehingga malam terasa lebih sepi. Padahal jam belum menunjuk pada angka sembilan. Sulastri berdiri di pinggir jalan, menunggu angkutan umum yang akan membawanya pulang ke rumah.

“Tiba-tiba di depannya berhenti sebuah mobil colt. Seseorang – Sulastri tentu menduganya ia kernet – menongolkan kepalanya dari jendela pintu mobil seraya menyebut nama sebuah kampung yang akan dituju Sulastri. Tentu saja Sulastri bergegas naik ke mobil itu. Ia sama sekali tidak curiga. Sebab Sulastri mengira colt itu angkutan umum. Lagi pula di dalamnya banyak orang, yang dikira Sulastri mereka adalah penumpang juga….”

“Jangan terlalu bertele-tele. Singkat saja ceritanya,” potongku. Aku memang bukan orang yang senang mendengar cerita semacam itu. Bukan apa-apa; aku tidak mau perasaanku terlibat kedalam suatu kisah yang menyeramkan. Terus-terang saja aku penakut. Aku takut mengalami hal yang sama seperti dialami Sulastri. Sekalipun aku lelaki, tapi di jaman ini tidak mustahil ada segerombolan perempuan yang memperkosa seorang pria.

“Ya, Sulastri baru menyadari adanya ketidakberesan ketika mobil itu tidak berhenti di tempat yang ditunjuknya. Malah si sopir lebih mempercepat laju kendaraannya, sementara dua orang lelaki yang berada di bangku belakang dengan cepat membekam mulut dan hidung Sulastri dengan sapu tangan. Sulastri mencium suatu bau yang aneh, dan sesaat kemudian Sulastri sudah tak ingat apa-apa lagi. Sulastri pingsan dibius.

“Sopir colt menghentikan mobilnya di dekat sebuah SD Inpres. Lalu dengan hati-hati para penumpang colt yang berjumlah lima belas orang itu menggotong tubuh Sulastri, membawanya ke sebuah rumah kosong tidak jauh dari SD itu. Kemudian terjadilah perkosaan itu,” kata sang rekan.

Aku tercenung sejenak. Lalu tanyaku, “Kau tahu dari mana cerita itu? Dari Sulastri sendiri, atau dari para pemerkosanya? Eh, apakah pemuda-pemuda bragajul itu sudah tertangkap?”

“Belum. Bangsat-bangsat itu masih buron,” jawabnya yakin. “Aku mendapatkan cerita itu dari Susi. Kau `kan tahu Susi? Makanya aku tahu urutan cerita itu dengan lengkap. Sebab Sulastri pasti menceritakannya kepada Susi. Itu sama saja artinya Sulastri bercerita kepadaku.”

Aku mengangguk. Aku memang pernah sekelas dengan Susi semasa SMA. Sedangkan Sulastri adalah adik kelasku, teman baik Neni, adiknya Susi. Aku kenal baik Sulastri, soalnya aku pernah naksir dia. Tapi lalu datang Marni dalam kehidupan SMA-ku, sehingga Sulastri terlupakan untuk sementara.

Empat hari kemudian temanku datang bercerita lagi. Apa yang pernah terbayangkan dalam benakku bahwa setelah kejadian itu Sulastri mungkin akan menjadi gadis paling murung di dunia -- lewat cerita temanku – kini menjadi kenyataan.

Katanya, “Hanya tiga hari Sulastri dirawat di rumah sakit. Tapi itu tidak berarti Sulastri sudah sehat. Orang tua Sulastri terpaksa membawa pulang putrinya, sebab di rumah sakit pun Sulastri tidak mau didekati perawat dan dokter yang akan mengobati luka-lukanya, terutama yang di situ itu. Pengobatan yang pernah diterimanya hanyalah ketika Sulastri pingsan dihari pertama di rumah sakit.

“Pernah ke situ didatangkan psikiater, dengan harapan Sulastri mau menumpahkan tekanan-tekanan batinnya. Tapi jangankan bercerita, ngomong sepatah dua patah kata pun Sulastri tidak mau. Termasuk kepada orang tua dan kakak-kakaknya. Malah setelah berada di rumah, Sulastri tidak mau ditemui siapa pun.”

“Bagaimana dengan tunangannya?” tanyaku. Aku kira persoalan inilah yang paling penting sekarang. Sulastri sudah jelas bukan perawan lagi. Dan peristiwa yang dialaminya akan menjadi trauma berkepanjangan. Mungkin Sulastri akan merasa dirinya kini sebagai gadis yang tak lagi berharga. Oleh karena itu pengakuan yang sejujur-jujurnya dari si tunangan, mungkin akan menolong Sulastri. Lebih-lebih kalau si tunangan itu mau juga menikahinya dengan kondisi Sulastri seperti itu.

“Aku belum tahu. Tapi dari cerita Burhan, bekas pacar Sulastri, katanya sih dia belum pernah menjenguk Sulastri,” jawab temanku, dan ia berjanji akan mencari tahu tentang tunangan Sulastri itu. Dan itu memang benar. Lima hari kemudian temanku datang lagi, bercerita bahwa si tunangan itu sama sekali tidak mau menemui Sulastri, padahal oleh kakak-kakaknya telah diberi tahu dan minta tolong agar dia menghibur Sulastri.

“Bukan itu saja,” kata temanku, “Rencana pernikahan mereka pun dibatalkan oleh lelaki itu. Alasannya `Saya tidak mau menikah dengan barang bekas`. Itu dikatakan si tunangan kepada kakak-kakaknya Sulastri. Lalu salah seorang kakak Sulastri mengatakannya lagi kepada Burhan, dan Burhan meneruskannya Susi.

“Esok atau lusa aku akan menengok Sulastri. Siapa tahu kepadaku ia mau mengungkapkan tekanan-tekanan batinnya. Gini-gini juga aku pernah merasakan cintanya. Malahan konon kata Susi, pemuda yang sampai kini masih dicintainya adalah aku. Nah dengan modal itu aku kira Sulastri mau menumpahkan kepedihannya. Kau ikut, Rus? Kita sama-sama ke sana,” kata temanku sesaat sebelum pamitan.

“Kau saja duluan. Aku pasti ke sana. Tapi nanti. Dua tiga hari ke depan aku amat sibuk,” kataku. Namun sebelum aku sempat ke sana, kawanku nongol lagi ke rumahku. Aku sudah bisa menebak dia mau nambah cerita soal Sulastri.

Tapi kedatangannya kali ini tampak berbeda. Temanku kelihatan murung. Malah dia tidak bergairah ketika aku bertanya bagaimana kondisi Sulastri setelah dia menengoknya. Aku sendiri tiba-tiba merasa was-was, jangan-jangan Sulastri meninggal dunia, atau bunuh diri, atau paling tidak, menjadi gila karena tidak tahan tekanan batin akibat pemerkosaan yang dialaminya.

“He, kenapa diam? Apakah ada sesuatu yang lebih buruk menimpa Sulastri?” tanyaku.
Temanku menggelengkan kepala. Lalu katanya, “Manusia sekarang benar-benar sudah keterlaluan.”
“Maksudmu?”

“Semua cerita tentang Sulastri sama sekali tidak benar. Ketika aku berkunjung ke rumahnya, Sulastri sehat wal afiat. Bahkan tak ada luka sekecil apa pun di tubuhnya. Sulastri justru terkejut ketika aku menceritakan bahwa dia diperkosa lima belas pemuda berandal. Kemudian Sulastri terbahak. Aku dikatakannya telah tertipu ulah Susi.”

“Susi sendiri bagaimana, telah kau datangi, atau mungkin telah kau maki-maki karena telah menyebarkan cerita bohong itu?”

“Itulah edannya. Susi ternyata mendapatkan khabar pemerkosaan Sulastri itu dari berbagai pihak, sebagian dari Si Burhan, sebagian dari Si Dodi, sebagian dari tukang becak, dan sebagian lagi Susi mendengarnya dari calo-calo terminal tempat dia biasa naik angkutan umum ke kampusnya. Ketika aku menemui Si Burhan dan Si Dodi untuk menanyakan dari mana mereka mendengar khabar Sulastri diperkosa, keduanya juga mengatakan bahwa khabar itu diperoleh dari orang lain. Apakah itu bukan sesuatu yang edan?”

Aku tak tahan. Tawaku seketika meledak. Sementara wajah temanku tampak merenggut. Mungkin dia tersinggung aku mentertawakannya.

“Okelah kalau begitu,” kataku kemudian. “Semuanya jelas. Sulastri tidak kenapa-napa, dan kita patut bersyukur. Tapi aku sendiri tetap aku berkunjung rumah Sulastri. Aku akan menceritakan kepadanya bahwa kau depresi berat lantaran merasa bersalah telah menyebarkan khabar bohong tentang Sulastri. Tapi tentu saja yang lebih penting lagi adalah silaturahmi. Sudah lama juga aku tidak bersua Sulastri.”

Esoknya memang aku berkunjung ke rumah Sulastri. Kakak tertuanya menyambut kedatanganku di teras rumah. “Kebetulan Dik Rus datang ke sini. Ayo sama-sama saja kita ke rumah sakit. Sulastri ada di sana,” katanya tanpa mempersilakan aku masuk. Dia sendiri memang kelihatan seperti akan keluar rumah.

“Apakah Sulastri sakit? Bapak atau Ibu yang sakit, atau yang lain?”
“Nanti kita lihat saja di rumah sakit,” jawabnya.
Aku tak lagi bertanya, sekalipun benakku dipenuhi rasa heran.

Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, kakak Sulastri pun tak bicara. Dari raut wajahnya aku melihat kesedihan. Itu tentu karena ada keluarganya yang dirawat di rumah sakit. Tapi siapa? Aku baru tahu ketika setibanya di rumah sakit, kakaknya Sulastri langsung membawaku ke sebuah ruangan rawat-inap. Di situ aku melihat kedua orangnya, kakak-kakaknya yang lain, dan juga ada beberapa gadis dan pemuda yang aku kira mungkin teman-teman kuliahnya.

Mereka berdiri di sisi tempat tidur. Aku mendekat. Di situ aku lihat Sulastri terbaring. Matanya terpejam. Wajahnya penuh dengan memar biru kehitaman. Sementara tarikan napas tampak amat lemah.

“Kenapa Sulastri?” tanyaku perlahan kepada kakaknya yang datang bersamaku. Dia lalu menyeretku ke sebuah sudut ruangan. Dengan suara rendah dia mengatakan bahwa tadi malam sekitar pukul sembilan, Sulastri diperkosa oleh lima belas pemuda bragajul di sebuah rumah kosong di pinggir jalan desa.

Tak terlukiskan bagaimana aku terkejutnya mendengar khabar itu. Terlebih lagi kejadiannya hampir sama dengan cerita bohong yang disampaikan temanku itu. Apakah hanya suatu kebetulan semata? Aku tidak tahu. Aku hanya tahu, maksudku hanya akan tahu, bahwa temanku itu akan semakin depresi kalau ia kemudian tahu bahwa tiga hari setelah ia berkunjung ke rumahnya, Sulastri benar-benar jadi korban perkosaan.

(Cerpen lama, pernah dimuat di HU.Bandung Pos awal 90-an)

Readmore »»

Kemana Martini Harus Kucari?

Senin, 01 November 2010

Tidak seorang pun karyawan di Perusahaan Pembalut Wanita itu tahu siapa Martini sebetulnya. Di mana tempat tinggalnya dan siapa orang tuanya, tak ada yang tahu. Yang mereka tahu Martini itu sekretaris bos. Dia cakap, cantik, luwes – itu pasti – dan ramah. Kata-kata yang keluar dari mulutnya yang bagus itu enak didengar. Malahan bau mulutnya pun terasa segar. Begitu juga keringatnya, harum. Tapi mereka tidak tahu siapa Martini sesungguhnya.

Mereka hanya tahu Martini merupakan karyawan yang paling rajin dan senantiasa datang paling pagi. Sehingga mereka tidak tahu dengan siapa Martini diantar ke kantor, apakah dengan pacarnya, dengan suaminya atau orang tuanya. Ketika kantor bubaran pun sekitar jam empat sore, para karyawan hanya bisa melihat Martini selalu naik bis kota jurusan C, yang kebetulan tidak ada karyawan lain di perusahaan itu yang pulang ke arah sana.

Tidak perdulikah para karyawan di sana kepada Martini, sehingga mereka sama sekali tidak tahu asal-usul Martini? Mungkin bukan itu penyebabnya. Tapi justru karena sosok Martini sendiri. Kecantikan dan keramahannya menebarkan pesona luar biasa yang membuat orang didekatnya seperti kena hipnotis. Itu diakui seorang karyawan, “Kalau sudah berhadapan dengan Martini, kita seolah-olah kehilangan kata-kata. Entah kenapa.”

Karyawan lain juga merasa begitu. “Sebetulnya kepengen sih saya menanyakan apakah Martini sudah punya pacar atau belum, atau barangkali sudah bersuami. Kalau belum bersuami atau belum punya pacar sama sekali, kenapa begitu. Padahal Martini cantik luar biasa,” katanya kepadaku.

“Saya juga kepengen menanyakan di mana tempat tinggalnya dan apakah masih memiliki ayah-ibu serta saudara. Kalau ya berapa orang saudaranya. Saya kepengen sekali menanyakan itu semua. Namun ketika berhadapan dengan Martini, lantas saya dikasih senyumnya yang manis dan mimik wajahnya yang ceria, tiba-tiba saja keinginan itu hilang. Dan saya jadi berpikir buat apa menanyakan itu semua. Apa untungnya bagi saya. Dengan melihat Martini tersenyum saja, kok hati saya merasa sudah cukup puas mengenal Martini.”

Hal senada pernah juga diungkapkan karyawan lain kepadaku. Katanya, “Kita umumnya merasa gatal pengen tahu masalah-masalah pribadi orang lain. Lebih-lebih bila orang itu cantik dan menarik seperti Martini. Tapi aneh kepada Martini, kita seakan-akan tak bisa buka mulut. Saya sendiri pernah mencoba beberapa kali untuk menanyakan asal-usulnya. Tapi itu lenyap seketika sesaat selah saya berhadapan dengan Martini. Saya lupa segalanya kalau Martini sudah tersenyum dan ngajak ngobrol.”

Belakangan aku ketahui pula bahwa petugas di bagian personalia pun tidak tahu siapa Martini sebetulnya. Tak pernah tercatatkan status atau biografinya di buku induk pegawai, sebagaimana lazimnya catatan tentang seorang karyawan tetap. Untuk Martini semua itu seolah-olah terlupakan. Tapi alasan petugas personalia, seperti dikatakannya kepadaku, sederhana saja.

“Martini hadir sebagai karyawan Perusahaan Pembalut Wanita tanpa prosedur yang jelas, sebagaimana ketentuan-ketentuan yang telah diatur perusahaan. Kali pertama Martini muncul di ruangan saya adalah ketika ia ke sini bersama bos. Kata beliau waktu itu `Ini Martini, pegawai baru kita. Tolong catat namanya`. Hanya begitu kata bos seraya ke luar lagi bersama Martini. Tak ada penyerahan berkas tentang data-data Martini.”

“Tapi kau kan bisa menanyakannya langsung kepada Martini dilain kesempatan? Kan kau juga tahu data-data tentang seorang karyawan sangatlah penting, ” ujarku ketika itu. Aku merasa berhak bertanya begitu karena di perusahaan itu aku punya jabatan yang erat kaitannya dengan urusan tetek-bengek karyawan.

“Kata bos itu tidak perlu. Yang penting Martini tercatat sebagai karyawan perusahaan ini dan kerjanya memuaskan. Atau kalau memang Bapak masih menghendaki data-data Martini, bagaimana kalau Bapak sendiri yang menanyakannya?”

Itulah! Pada dasarnya aku pun seperti kebanyakan karyawan lain, kepengen bertanya ini-itu, namun ketika sudah berhadapan dengan Martini dan dikasih senyumnya yang amat manis serta nada bicaranya yang enak didengar, membuat keinginan itu lenyap seketika.

Jadi begitulah! Selama enam bulan ini Martini menjadi sosok teka-teki yang rumit, tapi menarik untuk digunjingkan. Ada sebagian karyawan yang bilang bahwa Martini merupakan gadis simpanan bos, dengan bukti-bukti asal-usulnya tidak jelas. “Dengan begitu, kalau istri bos tahu bahwa bos nyeleweng, Martini akan terlindungi, kerena alamatnya tidak ada,” katanya.

Tapi ada juga yang mengatakan bahwa Martini sebetulnya sanak famili bos sendiri. Sebab kalau Martini orang lain, bos tentu akan menyuruh bawahannya mencatat segala data tentang Martini, sehingga kalau misalnya Martini membawa kabur uang kantor dapat disusul ke rumahnya atau meminta pertanggungjawaban keluarga atau orang tuanya.

Juga ada yang berpendepat bahwa Martini sebetulnya seorang polwan dari bagian intel yang sengaja dipekerjakan bos di perusahaannya. Jadi sifatnya sementara. Karenanya segala tetek-bengek tentang asal-usul Martini dianggap tidak penting oleh bos. Sedangkan tugas yang dibebankan kepadanya mungkin menyangkut berbagai hal, mulai dari lalu-lintas keungan perusahaan hingga kemungkinan adanya mata-mata dari perusahaan sejenis yang mencoba mencuri formula pembuatan pembalut wanita. Maklum produk pembalut wanita dari perusahaan tempat saya bekerja terbilang laris dan digandrungi kaum perempuan.

Tapi pendapat mayoritas dari para karyawan menyebutkan bahwa Martini mula-mula datang ke perusahaan itu sebagai tenaga praktekan dari sebuah akademi sekretaris. Selama praktek, bos menilai Martini punya potensi menjadi karyawan teladan. Sehingga kemudian bos memintanya untuk menjadi karyawan tetap. Atau boleh jadi selama kerja praktek itu, bos jatuh cinta kepada Martini, lalu bos memintanya untuk terus bekerja di perusahaan itu agar mereka dapat bercinta kapan saja. Soal data-data Martini yang semestinya dicatat bagian personalia, terlupakan oleh bos.

Sampai enam bulan ini Martini memang jadi bahan obrolan. Namun pagi tadi para karyawan tampak celingukan. Meja tempak kerja Martini, yang persis berada di depan ruangan bos, hingga pukul Sembilan masih kosong. Martini belum masuk kantor. Ini aneh dan tidak biasanya. Bahkan sampai istirahat siang tiba, sekretaris cantik itu belum juga kelihatan. Inilah untuk pertama kalinya Martini absen.

Tapi rupanya tak hanya hari ini. Esoknya Martini juga absen, sehingga para karyawan bertanya-tanya, “Ke mana Martini?” Sebagian menduga Martini mungkin sakit. Yang lain bilang mungkin Martini pulang kampung dan tak sempat mengasih khabar ke kantor. Bahkan ada juga yang berpikiran Martini mungkin dibunuh komplotan penjahat setelah seluruh kekayaannya dirampok.

“Ah, jangan-jangan Martini diperkosa dan sekarang berada di rumah sakit,” pendapat karyawan lainnya lagi, “Piihak rumah sakit tidak bisa menyampaikan khabar ke kantor kita oleh karena tak ada alamat kantor ini dalam dokumen-dokumen yang dibawa Martini di tasnya. Atau boleh jadi karena Martini merasa malu telah diperkosa. Jadi dia menganggap tidak usah mengasih khabar kepada bos.”

Karyawan lain menduga lebih gila lagi. Katanya, Martini mungkin ketabrak sedan yang dikemudikan pemuda sableng di suatu tempat yang sunyi, sehingga dengan enaknya si pemuda membawa Martini lalu melemparkannya ke sebuah jurang yang sangat dalam, yang di sana telah menanti ular-ulah besar pemakan bangkai. Sehingga dengan begitu jejak tabrakan itu tak berbebas, dan si pemuda sableng kembali menyetir sedannya sambil bersiul-siul.

“Tapi dugaanku sih Martini telah menikah dengan pemuda pilihannya. Karena itu Martini merasa tidak perlu bekerja lagi, sebab sudah ada suami yang memberinya napkah. Hal itu menurut Martini tak perlu disampaikan kepada bos, toh datangnya ke kantor ini pun secara tak terduga, maka perginya pun secara tak terduga pula,” kata karyawan dari bagian pemasaran.

Sampai seminggu Martini belum juga masuk kantor, dan aku kemudian dipanggil bos. Beliau menanyakan mengapa Martini belumj juga bekerja. Tentu saja aku gelagapan ditanya begitu. Sebab aku sendiri memang tidak tahu karena apa Martini absen dalam seminggu ini.

“Coba hubungi ke rumahnya. Barangkali dia sakit dan perlu uang buat berobat ke dokter. Kasihan kan?” kata bos, “Lagi pula kantor kita butuh tenaga Martini. Coba kamu lihat, selama seminggu Martini tidak hadir, acara saya berantakan.”

“Tapi kita tidak punya alamatnya, Pak?”
“Ah, masak sih?” bos tampak keheranan. “Tapi kalau memang belum tercatat, coba tanyakan kepada karyawan lain. Pasti ada yang tahu. Saya ingin dengar khabarnya besok,” ujar bos seraya menyandarkan punggungnya ke kursi. Dan aku paham maksud beliau bahwa pembicaraan sudah selesai. Aku pun keluar dari ruangan bos.

Sambil melangkah, otakku berputar, kemana aku harus mencari Martini kalau di perusahaan ini tak tercatat alamatnya? Siapa yang harus kuhubungi kalau Martini selama ini terkesan seperti mahluk yang keluar dari belahan batu? Para karyawan, seperti yang kuduga sebelumnya, memang tak seorang pun tahu di mana Martini tinggal.

Haruskah aku menanyai setiap sopir, kernet dan kondekutur bis kota jurusan C, di mana kira-kira Martini selalu turun? Tapi hapalkah mereka kepada penumpang bernama Martini? Kalau pun ada yang hapal bahwa Martini selalu turun di halte anu, lalu aku harus mencari kemana lagi? Kecil kemungkinan begitu Martini turun dari bis kota, dia sudah sampai di rumahnya, atau hanya perlu puluhan langkah dari halte itu untuk sampai ke rumahnya. Kemungkinan besar dari halte itu Martini naik beca lagi, atau mungkin naik bis kota lagi ke jurusan lain. Haruskah aku menanyakannya juga kepada setiap tukang becak dan setiuap sopir bis kota di kotaku?

Aku benar-benar bingung. Sampai aku pulang ke rumah, aku belum bisa memutuskan ke mana aku harus mencari Martini, atau siapa yang harus aku hubungi.

(Cerpen lama, pernah dimuat di HU Bandung Pos sekitar awal 90-an, dan diedit di sana-sini tanpa mengurangi substansi cerpen aslinya)

Readmore »»

Mbah Maridjan dan Sumpah Pemuda

Kamis, 28 Oktober 2010

Apa kaitannya mBah Maridjan dengan Sumpah Pemuda? Memang secara langsung tidak ada. Bahkan untuk ikut memperingati Hari Sumpah Pemuda, Kamis 28 Oktober 2010 pun, Juru Kunci Gunung Merapi itu sudah tidak bisa. Sebab beliau keburu wafat bersama puluhan warga Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, akibat letuhan Gunung Merapi, Senin lalu.

Namun kalau kita cermati, ada hal yang layak jadi renungan kita, khususnya para pemuda, disaat kita memperingati Hari Sumpah Pemuda, sekaligus disaat negeri kita tengah diguncang berbagai bencana alam. Yakni kesetiaan mBah Maridjan pada sumpahnya untuk menjadi juru kunci Gunung Merapi. Tapi untuk itu kita agaknya perlu memperjelas dulu istilah “juru kunci”.

Memang di beberapa tempat, apalagi bila terkait dengan makam-makam keramat, juru kunci merupakan sebutan lain untuk kuncen. Aktivitasnya, merawat makam keramat, memberi penjelaskan kepada para tamu yang berziarah ke sana perihal “ketokohan” orang yang kini makamnya dikeramatkan, serta memimpin doa-doa dan semacamnya.

Saya tidak tahu apakah di Gunung Merapi juga ada makam keramat dengan juru kunci mBah Maridjan, karena saya belum pernah bertandang ke sana. Tapi sebutan juru kunci yang melekat pada mBah Maridjan, seperti yang saya baca dari media, tampaknya memang berbeda dengan sebutan juru kunci di tempat yang ada makam keramatnya. Tugas mBah Maridjan sebagai juru kunci tak lain untuk menjaga Gunung Merapi, seperti diungkapkan Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Sebagai juru kunci Gunung Merapi, kata Sri Sultan, selama ini memang mBah Maridjan sulit untuk diajak mengungsi setiapkali Gunung Merapi memasuki fase erupsi. “Itulah wujud tanggung jawab dia sebagai juru kunci yang selalu menjaga Gunung Merapi,” katanya seperti ditulis Harian Pelita

Perannya seperti itu agaknya bisa lebih diperjelas dengan pesan mBah Maridjan sendiri yang disampaikan kepada KH.Hasyim Muzadi, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (NU). Kata Pak Kiai di Harian Pelita (Kamis/28/10/2010), mBah Maridjan pernah berpesan dalam bahasa Jawa, yang kalau diterjemahkan artinya `Anda adalah teman dari orang-orang besar, harus serius dan bersungguh-sungguh, semoga alam ini tentram`.

“Pesan itu sangat dalam artinya,” ujar KH.Khasyim Muzadi yang juga Sekretaris Jenderal International Conference of Islamic Scholars (ICIS).

Memang Pak Kiai tidak menjelaskan sedalam apa pesan mBah Maridjan itu untuk para pengambil kebijakan di negeri ini. Tapi pesan seperti itu agaknya bisa lebih menguatkan tugas mBah Maridjan sebagai juru kunci penjaga Gunung Merapi. Dengan kata lain, juru kunci sebagai penjaga hutan dan lingkungan alam. Sebab memang khabarnya begitulah sumpah mBah Maridjan ketika diangkat sebagai juru kunci Gunung Merapi oleh Keraton Ngayogyakarta.

Pesan dan sumpah itulah yang layak kita renungkan, khususnya para pemuda, disaat kita memperingati Hari Sumpah Pemuda. Khususnya lagi terkait sumpah “bertanah air satu, tanah air Indonesia”. Sebab sumpah semacam itu sesungguhnya tidak semata janji kita untuk menjaga kesatuan dan persatuan negeri ini. Namun juga menjaga “tanah” dan “air” itu sendiri, yang merupakan bagian terpenting dari hutan dan lingkungan hidup. Tanpa tanah dan air, kita bisa apa?

Karena itu menjaga “tanah” dan “air” sama pentingnya dengan menjaga keutuhan Republik Indonesia. Apalagi kondisi lingkungan alam kita belakangan ini disebut-sebut sudah banyak yang rusak. Hutan-hutan banyak yang gundul; sungai-sungai banyak yang tercemar limbah industri. Hal itu memang dampak lain dari derap pembangunan. Atau dengan kata lain, alam memang harus dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat. Tapi tak bisakah kita mengurangi dampak negatif dari upaya pemanfaatan alam itu?

Dengan ilmu dan teknologi yang semakin maju, saya kira dampak negatif itu bisa ditekan sekecil mungkin. Dan untuk itu, pemuda yang dalam sejarah kita telah terbukti selalu menjadi pelopor perubahan, tentu dapat lebih menunjukkan kepeduliannya terhadap kelestarian alam dan lingkungan hidup sebagai wujud sumpah pemuda “bertanah air satu tanah air Indonesia”. Jadi di sinilah saya kira letak kaitan mBah Maridjan dengan Peringatan Sumpah Pemuda.

Readmore »»

One Day No Rice

Jumat, 15 Oktober 2010

Lontong, ketupat dan bubur memang bahan bakunya sama, yakni beras. Begitu juga nasi, asalnya dari beras juga. Tapi kalau sudah menyangkut perut kita, yang namanya lontong, ketupat dan bubur, berbeda dengan nasi. Paling tidak bagi saya dan umumnya masyarakat di daerah saya, Cianjur, Jawa Barat.

Maksud saya begini: sekalipun perut saya telah diisi bubur, atau yang agak padat seperti lontong dan ketupat, tapi saya tetap menganggap belum makan. Sebab bagi saya, yang disebut makan adalah makan nasi. Sedangkan yang disebut makan bubur, makan lontong atau makan ketupat, itu namanya nyaneut (semacam makan ringan) yang tak beda dengan makan mie-bakso, martabak atau roti. Dan hal itu dimaksudkan sekedar untuk menahan lapar sampai akhirnya ketemu nasi.

Begitulah pola konsumsi saya sejak kecil. Makan nasi sangat pokok. Lalu kalau sekarang ada kampanye One Day No Rice (sehari tanpa makan nasi, katanya dalam seminggu), bisakah perut saya menerimanya? Atau barangkali untuk menghormati ajakan kampanye dari pemerintah itu, sebaiknya saya puasa saja sekaligus, toh sama saja hari itu saya tidak makan nasi?

Memang sama, tapi jelas tidak sebangun. Puasa bernilai ibadah. Sedangkan One Day No Rice bernilai penghematan. Lebih tepatnya, One Day No Rice yang merupakan bagian dari kegiatan Kementerian Pertanian dalam rangka memperingati Hari Pangan Sedunia, 16 Oktober 2010, lebih bertujuan kepada upaya untuk mengurangi konsumsi beras.

Kampanye One Day No Rice, kata Menteri Pertanian Suswono seperti dilansir detikfinance, akan mendukung ketahanan stok dan diversifikasi pangan. Bahkan dengan mengkonsumsi pangan yang beragam bisa menjadi perbaikan gizi masyarakat. Caranya pun tidak harus dilakukan sehari penuh, namun porsi nasi bisa dikurangi satu porsi sehari. Sehingga dalam waktu tiga hari setara dengan tak makan nasi sehari.

Jadi rupanya kampanye One Day No Rice itu boleh diubah menjadi “one day a little rice”. Karena yang penting tujuannya tercapai, yakni berkurangnya konsumsi beras, sekaligus terciptanya diversifikasi pangan.

Hal itu rupanya perlu dilakukan, sebab secara nasional ketergantungan masyarakat kita terhadap beras, sangat tinggi. Seperti dikatakan Kepala Pusat Konsumsi dan Keamanan Pangan, Badan Ketahanan Pangan (BKP) Mulyono Muchtar, pada era tahun 1950-60-an ketergantungan pangan masyarakat Indonesia pada beras masih sebesar 53%, namun kini ketergantungan itu semakin tinggi hingga mencapai 92-95%.

Setujulah kalau One Day No Rice itu bertujuan ke sana. Soalnya saya sendiri selama ini telah mempraktekkan sebagian ajakan itu. Saya memang terbiasa makan nasi sehari dua kali (standarnya tiga kali sehari). Bahkan saudara-saudara kita yang kurang beruntung, yang tinggal di pedesaan, di kolong-kolong jembatan di kota-kota besar, terkadang hanya sehari sekali makan nasi, malah mungkin sehari tak ketemu nasi. Mereka telah lebih dulu melaksanakan One Day No Rice sebelum pemerintah mengkampanyekannya.

Lebih dari itu, saya juga setuju One Day No Rice. Sebab ada kecenderung areal pesawahan di negeri kita semakin hari semakin banyak yang berubah fungsi menjadi kompleks perumahan, pabrik dan semacamnya, sementara upaya pencetakan sawah baru luasnya tidak signifikan, kalau pun tidak dikatakan tidak ada. Itu artinya, produksi beras nasional akan berkurang sekalipun upaya intensifikasi pertanian digiatkan.

Di sisi lain mulut yang harus disuapi nasi semakin bertambah seiring dengan pertumbuhan penduduk. Sehingga akan menjadi persoalan sangat serius bila nanti produksi beras tidak mencukupi kebutuhan masyarakat. Memang untuk itu bisa ditempuh jalan pintas, yakni mengimpor beras. Tapi impor beras ke negeri yang katanya subur makmur ini selalu menuai pro-kontra. Makanya, mungkin, dicari jalan terbaik, yakni dengan cara mengurangi konsumsi beras, yang langkahnya antara lain berupa kampanye One Day No Rice.

Tapi memang tidak mudah mengubah pola konsumsi masyarakat yang sudah mengakar. “Dari jaman purbakala, di khatulistiwa cocok dengan beras. Mengubah budaya tidak gampang. Ok dikurangi, tapi harus ada pengganti yang rasanya enak dan murah,” kata Ayong Suherman Dinata, pemilik PT Alam Makmur Sembada kepada detikfinance mengomentari kampanye One Day No Rice.

Ayong menyatakan pengalaman negara-negara seperti Jepang dan Hong Kong yang berhasil mengurangi konsumsi beras masyarakatnya tidak terlepas dari dukungan daya beli masyarakat di negera-negara tersebut yang memang sudah sejahtera.

Betul juga tuh. Singkong atau gaplek, memang bisa jadi makanan enak sebagai pengganti nasi, kalau diolah sedemikian rupa. Lalu sebagai temannya disajikan rendang daging sapi atau panggang ayam bakar, ditambah sayur cap-cay atau lodeh nangka. Pasti santapan seperti itu akan penuh gizi dan sehat. Tapi untuk itu memang perlu duit, sedangkan kondisi sekarang banyak masyarakat kita yang daya belinya rendah.

Jadi bagi mayoritas masyarakat kita makan nasi tetap pilihan utama. Nasi hangat dengan garam pun, terasa nikmat dan kenyang. Atau dengan sedikit variasi yakni nasi tutug oncom (nasi yang dicampur dengan bubuk oncom yang sebelumnya telah dipanggang di atas api alakadarnya), pasti lezat, sekalipun memang minus gizi. Yang penting nasinya ada.... every day to eat rice, dan bukan one day no rice.

Readmore »»