Museum Bahari yang Memprihatinkan Jangan-jangan Jadi Gambaran Kita Lupa Terhadap Sejarah

Biasa, sarapan pagi berikutnya, setelah sarapan sepiring nasi dan telor goreng ceplok, adalah baca-baca surat kabar. Sebuah berita menarik saya temukan di Harian Pelita, halaman dua, kolom kiri bawah. Judulnya “Pemerintah akan Gandeng Unesco Buat Museum”.

Otak saya langsung tergelitik, kok hanya untuk membuat sebuah museum saja pemerintah kita harus menggandeng (baca: minta bantuan dana) Unesco Unesco (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization atau Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan), sebuah lembaga di bawah otoritas PBB; apakah kita gak panya duit?

Saya jadi penasaran. Saya baca berita itu. Isinya tentang rencana semula Kementerian Kelautan dan Perikanan (KPP) untuk memajang artefak bawah laut Barang Muatan Asal Kapal Tenggelam (BMKT) yang berusia lebih dari seribu tahun di Museum Bahari, Jakarta Utara. Artefak bawah laut itu sendiri merupakan penemuan terbesar di tanah air, yang diangkat dari perairan Laut Jawa, Cirebon utara.

Rencana itu batal. Sebabnya sederhana, tapi sungguh membuat batin kita menangis. Museum Bahari, yang dalam pelajaran sekolah tingkat SD pun sudah disebut-sebut, ternyata kondisinya sangat menyedihkan. Sehingga dianggap tidak layak untuk dijadikan tempat memajang artefak bawah laut yang bernilai tinggi.

Sejak dibuka pada 1977, museum yang berlokasi di Jl.Pasar Ikan No.1, Pelabuhan Sunda Kepala, Jakarta Utara itu, tidak terawat. Dinding dan atapnya sudah rapuh dan bocor. Padahal dilihat dari gedungnya sendiri sudah merupakan peninggalan bersejarah yang amat berharga, yakni bekas gudang rempah-rempah milik VOC (Vereenigde Oost indische Compagnie, Perserikatan Perusahaan Hindia Timur, berdiri pada 20 Maret 1602, yang merupakan perusahaan Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia, yang juga disebut Hindia Timur). VOC membangun gudang rempah-rempah itu pada 1652.

Lalu koleksi museumnya sendiri sangat sedikit dan kurang menarik. “Menyedihkan. Kondisinya tidak layak dikatakan sebagai sebuah museum dan tak menunjukkan bahwa negara kita adalah negara bahari. Pantas tidak ada wisatawan yang datang. Jangankan wisatawan asing, lokal pun saya pikir tidak tertarik untuk datang ke sini karena tidak ada yang menarik yang bisa mereka lihat,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad ketika meninjau Museum Bahari (Pelita, Selasa, 18/5/2010).

Fadel yang bekas Gubernur Gorontola itu punya opsi yang akan disampaikan kepada Presiden SBY terkait Museum Bahari dan artefak bawah laut. Opsi itu antara lain memperbaiki Museum Bahari atau memimdahkan Museum Bahari ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Dananya dibutuhkan sekitar Rp400 miliar. Inilah yang jadi persoalan. Sehingga Fadel pun berucap, “Pertanyaannya, mau atau tidak pemerintah mengeluarkan dana sebesar itu hanya untuk membangun sebuah museum?”

Fadel punya gagasan. Katanya pemerintah perlu menggandeng Unesco untuk membangun museum tersebut.

Boleh jadi kita agak setuju pemerintah kita minta bantuan Unesco untuk membangun sebuah museum. Karena dana yang dibutuhkan sangat besar, sementara dana yang kita miliki terbatas. Apalagi memang sangat banyak yang harus didanai pemerintah, khususnya dalam memberantas kemiskinan, yang jumlahnya gak turun-turun sejak reformasi bergulir lebih dari sepuluh tahun lalu.

Namun yang terasa mengganjal, kenapa Museum Bahari yang sebetulnya dapat menjadi identitas negara kita sebagai negara bahari (negara kepulauan), ternyata kondisinya sangat menyedihkan. Untuk merawatnya saja, pemerintah ternyata tidak mampu. Padahal bila museum itu terawat dengan baik, serta di dalamnya terdapat koleksi yang lengkap dan mencerminkan kebaharian negara kita, museum itu tentu akan menghasilkan uang juga.

Persoalannya kemudian merembet kepada hal mendasar: jangan-jangan benar sinyalemen sebagian ahli bahwa kita merupakan bangsa yang mudah melupakan sejarah. Kalau benar begitu, kita berarti bangsa yang kecil. Sebab orang bijak bilang, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai dan menjunjung tinggi sejarahnya.

Karena itulah, kalau kita memang merasa sebagai bangsa yang besar, pemerintah harus menguatkannya dengan cara lebih peduli terhadap Museum Bahari, cagar budaya dan hal-hal lain yang mengandung nilai sejarah tinggi.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

ya kalau ,memang belum ada biaya yang cukup , caranya beli paku dulu , trus cat , pokoknya nyicil gitu lho he he ,

NENSA MOON mengatakan...

Sah-sah saja jika pemerintah ingin meminta bantuan dana dari Unesco ataupun organisasi dunia manapun... Masalahnya adakah yg harus kita gadaikan untuk mendapatkan semua bantuan itu...
Hari gini... mustahil ada peri turun dari langit mengucurkan bantuan yg begitu besar secara gratis.. tis..tis...?!!!
Hmmm... kalo memang benar2 ada... sungguh beruntung negara ini!! semoga saja...

Posting Komentar