Dunia Pers Kita Masih Penuh Problematika

Beberapa waktu lalu, sahabat saya, Nensa Moon memberikan komentar atas postingan
Julius Rusticus Tewas di Tiang Gantung di blog ini. Nensa antara lain bilang "... Sunguh beruntung wartawan di era kini, bahkan bisa mengobok2 orang nomor satu di negri ini lewat karyanya.... Mungkin si Julius Rusticus sekarang sedang tersenyum dibalik kuburnya melihat kebebasan wartawan yang tidak pernah dirasakannya dulu namun bisa dinikmati oleh para penerusnya kini..."

Saat saya membaca komentar sahabat saya itu, saya tersenyum. Sebab bagi saya, komentar itu bermakna luas, bahwa kebebasan yang dimiliki wartawan sekarang ini cenderung bebas tanpa kendali sehingga orang nomor satu di negeri ini saja bisa diobok-obok melalui karyanya. Begitu kira-kira maknanya (Maaf ya Bu Nensa bila saya salah memaknai komentar ibu itu...).

Tapi kecenderungan wartawan kita seperti itu, diakui Ketua Dewan Pers Prof.Dr.Bagir Manan. Sebagian wartawan kita, katanya, memaknai kebebasan pers sebagai kebebasan semata tanpa tanggung jawab dan disipliin. Bahkan Ketua Dewan Pers mengakui pers nasional kita masih penuh permasalahan.

Hal itu diungkapkan Bagir Manan dalam Diskusi Kompetensi Wartawan di Laut Biru Resort, Pangandaran, Ciamis selatan, Jawa Barat. Diskusi itu sendiri merupakan rangkaian kegiatan Konferensi Kerja Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Jawa Barat yang berlangsung selama dua hari, Jumat-Sabtu, 9-10 April 2010 di tempat yang sama.

Ketua Dewan Pers, dalam diskusi yang dipandu Ketua Dewan Kehormatan Daerah PWI Cabang Jawa Barat, H.Naungan Harahap itu, menyebutkan dua belas problematika pers nasional dewasa ini, beberapa di antaranya bersangkutan langsung dengan wartawan.

“Sebagian wartawan kita tidak memiliki bekal pendidikan khusus,” kata Bagir Manan. Itu artinya, kemampuan jurnalistik yang menjadi bekalnya dalam melakukan kegiatan kewartawanan diperoleh dari pengalaman kerja atau secara learning by doing. Namun mereka sebetulnya masih bisa meningkatkan kemampuan jurnalistiknya asal saja mau mengikuti diklat-diklat dan diskusi jurnalistik.

“Sebagian wartawan kita juga tidak mentaati kode etik jurnalistik, seperti mengabaikan ceck and receck atas suatu pemberitaan. Malah tak jarang kita mendapatkan wartawan yang justru tidak memperlihatkan perilaku wartawan. Mereka kerap melanggar hukum dan kode etik. Akibatnya citra wartawan menjadi rusak,” kata Bagir Manan yang mantan Ketua Mahkamah Agung.

Kita pun, lanjut dosen Unpad Bandung itu, masih melihat adanya wartawan yang memaknai kebebasan pers sebagai kebebasan semata tanpa tanggung jawab dan disiplin. Sehingga pers terkadang sewenang-wenang. Begitu juga dalam hal wawancara, sebagian wartawan bertindak sebagai polisi penyelidik ketika mewawancarai obyek berita. Dan perlakuan mereka terhadap obyek berita itu terkesan tidak menghargai orang dan jabatannya.

“Sebagian wartawan kita tidak mendapat imbalan yang layak dari penerbitan tempatnya bekerja. Akibatnya wartawan bersangkutan terpaksa mencari tambahan pendapatan sendiri yang terkadang dilakukan dengan cara yang justru melanggar kode etik, bahkan melanggar hukum,” katanya.

Di samping itu, lanjut Ketua Dewan Pers, perlakukan kasar dan kekerasan terhadap wartawan, juga masih sering terjadi tanpa alasan yang jelas. Sementara pemerintah yang mengeluarkan regulasi transparansi informasi, pada prakteknya seringkali mendua ketika berhadapan dengan wartawan. Pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, masih menganggap perlu mengendalikan pers. Bahkan untuk konfirmasi saja, wartawan kerap kesulitan. Sehingga yang disebut transparansi informasi, masih belum dipahami benar oleh sebagian pejabat pemerintahan.

Itulah beberapa permasalahan dari dua-belas problematika pers nasional, dan Ketua Dewan Pers mengajak semua pihak untuk secara serius mencari solusinya. Sebab tantangan dalam dunia pers, semakin hari semakin berat, sehingga dibutuhkan wartawan-wartawan yang profesional. Untuk itu diperlukan standar kompetensi wartawan.

Ketua Dewan Pers lalu menyebutkan bahwa wartawan yang memiliki kompetensi adalah wartawan yang mentaati kode etik, patuh pada hukum, berperilaku sopan dan santun serta memiliki integritas terhadap profesinya. “Integritas merupakan cerminan atas tanggung jawab wartawan terhadap pekerjaannya. Sehingga wartawan yang memiliki integritas bisa disebut sebagai orang yang bekerja sekeras-kerasnya dengan cara yang sebaik-baiknya dengan tujuan menghasilkan yang terbaik,” katanya.

2 komentar:

Eci si Cami mengatakan...

Greetings from me and my family!
As I think I know http://nensa-catatanku.blogspot.com/ blog was included among the top 10 readers in November. That for us means seriously and I decided to read and comment the 9 blogs that have been exposed.
Congratulations you beautiful and interesting blog you have and we will watch with great pleasure. We have added the Google Friend Connect.
If you want to do the same, please leave us a comment and tell us exactly where in the public language that we use Google transducer, and put on automatic.
Greetings once again respectfully!

NENSA MOON mengatakan...

Sebelumnya saya ucapkan terimaksih banyak sdh memasukkan komentar sy dalam postingan pa asep kali ini...
benar2 satu kehormatan buatku.

Sebagai orang yg awam akan dunia pers dan segala problematikanya saya tdk bisa berkomentar apa2... hanya bisa berharap semoga dunia pers kita bisa segera terbebas dari segala problematikannya... entah bagaimana caranya ...semoga saja bisa....

Posting Komentar