Ujian Nasional (UN) yang Menghantui Kita

Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) 2010 harus dilandasi kejujuran dan pengawasan yang ketat agar tidak terjadi kebocoran dan kecurangan, kata Mendiknas Mohammad Nuh. Untuk itu para kepala dinas pendidikan provinsi se Indonesia menandatangani fakta integritas guna membangun kesadaran kolektif agar UN berhasil dengan baik.

“Kriteria berhasil itu ada dua, yaitu berhasil dari sisi capaian nilainya atau orang sering menyebut prestasi, dan kriteria yang kedua adalah kejujuran didalam mencapai prestasi tadi itu,” kata Mendiknas seperti dilansir Harian Pelita, Jumat (5/3/2010).

Ya, dalam beberapa pekan ke depan, siswa SLTA dan SLTP di negeri kita akan melaksanakan UN – satu kegiatan terpenting dari rangkaian kegiatan belajar selama tiga tahun. Dikatakan terpenting karena memang hasil UN sangat begitu berpengaruh terhadap kelanjutan pendidikan seorang siswa ke jenjang pendidikan berikutnya.

Dan karena itu pula agaknya tak mengherankan bila banyak siswa terkadang merasa dirinya seperti sedang berhadapan dengan hantu genderewo ketika menghadapi pelaksanaan UN. Mereka kerap panas-dingin, panik, malah terkadang kalang-kabut, sama seperti halnya ketika kita ketemu hantu (eh, maaf saya sendiri belum pernah ketemu hantu, dan tak ingin ketamu, maklum saya panakut sih!).


Apalagi memang, UN terkesan seperti kartu mati. Bayangkan saja, pelaksanaan UN yang hanya berlangsung dua atau tiga hari bisa menghancurkan jerih-payah seorang siswa selama tiga tahun. Bahkan yang lebih luar biasa lagi, semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah akan menjadi tidak berarti apa-apa bila dalam hasil UN itu ada satu saja mata pelajaran yang nilainya dibawah angka standar kelulusan. Sebab itu artinya siswa tidak lulus UN.

Benar-benar luar biasa, dan bagi saya, sangat tidak masuk akal. Tapi begitulah dunia pendidikan kita. Pelaksanaan UN yang sejak awal menuai pro-kontra, menjadi bukti tak terbantahkan bahwa sekalipun kita telah merdeka lebih dari 65 tahun, tapi dunia pendidikan kita tampaknya masih diwarnai hal-hal yang bisa membunuh harapan siswa. Lihat saja siswa-siswa yang tidak lulus UN, mereka nyaris frustrasi.

Namun pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) tampaknya menganggap kasus-kasus yang terjadi dalam pelaksanaan UN tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya hanya sekedar riak kecil di atas gelombang samudera. Tak ada artinya. Sebab mungkin UN dianggap sebagai cara terbaik untuk mengukur hasil pendidikan, sekaligus mungkin untuk memacu meningkatkan kualitas pendidikan.

Sejauh tujuannnya seperti itu, kita tentu mendukung. Sebab pelaksanaan pendidikan nasional, yang begitu banyak mengeluarkan dana, seharusnya memang dievaluasi secara nasional pula, dan itu antara lain bisa dilakukan dengan UN.

Tapi seperti kerap disinggung para pakar pendidikan, apakah UN layak dilaksanakan di tengah kondisi sarana dan prasarana pendidikan yang tidak merata antara satu daerah dengan daerah lain? Apakah UN layak pula dijadikan standar evaluasi mutu pendidikan nasional, kalau mata pelajaran yang diujikan dalam UN sendiri tidak mencakup semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah? Dan karena itu, apakah UN layak jadi penentu “hidup-matinya” seorang siswa?

Apakah ada jaminan pula bahwa UN dilaksanakan dengan jujur-sejujurnya dan sangat kredibel, kalau semua pihak, mulai dari siswa, orang tua, guru, kepala dinas pendidikan serta gubernur, bupati dan wali kota, memandang lulus UN bukan sekedar prestasi tapi juga prestise?

Bukankah kita kerap membaca berita di surat khabar tentang adanya kepala daerah yang begitu bangga para peserta UN di daerahnya lulus 100 persen? Itu menunjukkan UN adalah juga prestise, dan prestise merupakan sebuah pencitraan. Kita kerap melihat bahwa orang bisa berbuat apa saja untuk meraih pencitraan dirinya itu, termasuk saya kira dalam mencapai hasil UN.

Bahkan kalau kita mau jujur, adanya penandatanganan fakta integritas para kepala dinas pendidikan provinsi, yang akan dilanjutkan penandatangan fakta serupa oleh kepala dinas pendidikan kabupaten/kota dan kepala sekolah, itu sebetulnya menunjukkan bahwa UN tahun sebelumnya dilaksanakan secara kurang jujur. Sebab kalau pelaksanaan UN sudah jujur, buat apa ada fakta integritas segala?

Kita, paling tidak saya pribadi, sebetulnya sangat setuju adanya UN, sekalipun belum semua sekolah memiliki sarana dan prasarana pendidikan yang memadai. Namun pelaksanaan UN itu harusnya mencakup semua mata pelajaran (kecuali mata pelajaran muatan lokal) yang diajarkan di sekolah selama tiga tahun.

Dan yang lebih penting lagi, UN harusnya hanya sekedar alat untuk mengukur kualitas pendidikan nasional, dan tidak menjadi kartu mati bagi siswa. Artinya UN tidak menjadi penentu lulus-tidaknya seorang siswa. Tapi kelulusan itu didasarkan atas capaian belajar siswa sepanjang tiga tahun. Termasuk di situ capaian siswa dalam hal moral dan mental. Ini artinya, kelulusan siswa tidak semata didasarkan atas angka-angka, tapi juga atas dasar sikap dan perilakunya.

Sayangnya hal itu cuma sekedar angan-angan saya – angan-angan yang didasarkan atas adanya kekhawatiran bahwa anak saya (termasuk mungkin putera-puteri anda) nanti tidak lulus UN, sekalipun kami, saya dan istri, terus mendorong malah memacu supaya sang anak rajin belajar.

Kekhawatiran saya seperti itu terus menghantui. Dan karena itu pula bagi saya dan mungkin bagi sebagian orang tua lainnya, menanti pelaksanaan UN agaknya sama seperti halnya kita sedang berjalan dimalam hari, menelusuri jalan gelap yang diisukan bahwa di situ ada hantu genderewo.

0 komentar:

Posting Komentar