Lalu Semuanya Berubah (7)

Cerita sebelumnya mengisahkan mantan narapidana Nusakambangan yang kembali ke desanya. Berikut kelanjutan novel “Lalu Semuanya Berubah”:

Inah. Ya, Inah anak Jaja yang lahir tanpa ditunggui bapaknya. Inah puteri Mae yang tumbuh tanpa kehadiran emaknya. Ia dipaksa mengisi hari-hari bersama buyutnya, yang ia panggil sebagai Nenek.

“Nek, ini untuk Inah?”

“He-eh.”

“Kalau yang di piring itu?”

“Untuk bapakmu.”

“Eh, bapak masih tidur, ya?”

“Kau lihat sendiri di kamarnya.”

Sambil telentang di kamarnya, Jaja mendengar percakapan itu. Lalu menggeliat. Duduk memeluk lutut. Pandangnya tertuju ke pintu kamar yang hanya dihalangi kain gorden kumal. Dulu, kamar itu tempat Inah. Setelah Jaja tinggal di sana, Inah pindah ke kamar Nenek yang letaknya bersebelahan.

Jadi, kalau sebelum tidur Inah bertanya apa saja seputar kehadiran Jaja, terutama pada hari-hari pertama kedatangannya, semua tak lepas dari pendengaran Jaja.

“Nek.”

Tak ada jawaaban.

“Nek, waktu bapak pergi jauh, di sana bapak… U-huk! U-huk!”

“Tuh, begitu kalau makan sambil ngomong!”

“Air, Nek! Air!”

“Tuh `kan…!”

Jaja tersenyum. Anaknya keselek.

Jaja memasang kuping, menunggu apa yang akan diucapkan Inah seterusnya. Tapi sepi. Yang terdengar cuma suara ceplak-cepluk mulut yang tengah mengunyah. Lalu suara glek-glek air yang memasuki tenggorokan. Tak lama kemudian suara langkah kaki yang menjauh. Jaja tahu anak itu pergi ke dapur, menyimpan piring.

Pada hari pertama Jaja tinggal di rumah Nenek, gadis cilik itu sepert tak berani dekat-dekat dengannya. Apalagi bercakap-cakap. Untuk mengambil buku-buku sekolahnya yang tersimpan di kamar yang kini ditempati Jaja saja, ia mesti menunggu penghuninya keluar. Kalau kebetulan Jaja memergokinya, ia cepat masuk ke kamar Nenek, atau pergi entah ke mana.

Bila misalnya Jaja bertanya, Inah mejawab seperlunya saja. Jaja lalu menyadari, antara dirinya dan anak itu masih terentang jarak. Jaja, bagaimana pun, dianggap orang baru di rumah Nenek. Malah mungkin tamu, yang tak berhak bertanya ini itu kepada penghuninya. Jaja saat itu memang belum diterima sebagaimana layaknya seorang bapak.

Bahkan tampaknya bagi Inah, lelaki brewok itu merupakan perusak hubungannya dengan Nenek. Sebab Nenek lebih sering bertutur kata dengan Jaja. Nenek seolah-olah tak lagi memperhatikannya.

Tapi kemudian, atas usaha dan bujukan Nenek yang meyakinkan bahwa Jaja adalah bapaknya, Jaja akhirnya mendapat tempat di hati gadis cilik itu. Dan Jaja merasa segala malapetaka yang menghimpit dada, untuk sementara, lenyap ketika Inah memeluknya; ketika air mata anak itu membasahi dadanya.

Hanya sayang pengalaman Jaja sebagai sosok seorang bapak, lebih tepatnya seorang ayah, sama sekali nol. Jaja menjadi seorang ayah begitu tiba-tiba, dan langsung dihadapkan pada seorang anak berusia delapan tahun. Nalurinya sebagai ayah, dipaksa matang seketika. Apalagi hari-hari yang dijalaninya di pulau pengasingan itu, menerpa Jaja untuk menjadi seorang lelaki; bukan ayah.

Karena itulah Jaja sebetulnya tidak dapat menangkap dengan sempurna apakah pengakuan Inah kepadanya sebagai bapak itu benar sebagai bapak dalam pengertian di tubuhnya mengalir darah daging Jaja? Atau sekedar pengakuan semata, karena Inah butuh seseorang yang lebih tua, yang bisa diharapkan perlindungannya? Bagaimana pun Nenek, Mae, Bapak, Emak dan para tetangga, telah menjejali anak itu dengan berita pergi jauhnya Jaja. Atau mungkin lebih jelasnya berita tewasnya Jaja di Samudera Selatan.

Tentu akan berbeda bila saja nalurinya sebagai ayah, berkembang secara perlahan. Bermula dari kehamilan Mae, lalu lahir sang bayi, terus tumbuh sampai menginjak usia delapan tahun. Sangat mungkin Jaja bisa menangkap pengakuan bapak itu atas dasar pengalaman tadi.

Inah sendiri tentunya tak butuh pemaksaan pengakuan itu. Penjelasan sekecil apapun, rasanya tidak perlu. Sejak ia mulai mengenal orang, Jaja terus-menerus berada di dekatnya. Lewat itu saja Inah sudah pasti mengaku bapak kepada Jaja dengan sebenar-benarnya. Ikatan batin antara Jaja dan Inah, terus-menerus dipupuk lewat kehadiran Jaja di sisinya.

Tapi lantaran alur hidup Jaja menyimpang, maka ikatan batin antara Jaja dan anaknya, seolah-olah baru terjalin dua minggu saja. Dua minggu jelas bukan delapan tahun!

“Pak, Inah berangkat sekolah!”

Jaja tersentak. Jaja tak mendengar ada langkah kaki mendekat. Tahu-tahu kepala mungil itu sudah muncul di ambang pintu kamar. Jaja menatapnya dalam keremangan ruang kamar. Inah tersenyum di antara kain gorden yang terkuak.

“Inah berangkat, Pak!”

Jaja mengangguk. Kain gorden bergeletar. Inah membalikkan tubuhnya, diikuti deret-deret lincak dan derit daun pintu yang terbuka dan tertutup. Lalu terdengar langkah-langkah kaki di atas kerikil. Sebentar saja lenyap. Sunyi kembali.

Jaja turun dari bale-bale. Membuka jendela papan. Sinar matahari seketika membunuh keremangan kamar. Dari bingkai jendela yang ukurannya tak lebih dari setengah meter persegi itu, Jaja melepas pandang ke lembah.

Lenggang. Belum terlihat mahluk-mahluk hidup di sana. Kecuali beberapa burung pipit yang bertengger di atas jerami-jerami kering. Ada juga sekelompok burung bondol yang mencoba mencari biji-biji padi, yang mungkin masih tersisa di antara jerami. Tapi panen telah berlangsung berbulan-bulan lalu.

Seekor burung seupah meloncat dari ilalang ke ilalang. Paruhnya mematuk-matuk sesuatu. Mungkin ia menemuka seekor ulat. Kemudian ia terbang ke atas ketika seekor ayam betina krasak-krusuk di dekatnya. Kedua kakinya yang sedang mencakar-cakar tanah kering, menggoyang-goyangkan ilalang. Burung-burung pipit itu pun, hampir bersamaan meloncat ke udara ketika seorang gembala kecil menghalau kambing-kambingnya ke sawah gersang itu.

Sampai pukul tujuh ini, cuma gembala kecil itu yang terlihat oleh Jaja. Tidak seperti dulu, sejak matahari terbit, lembah itu mulai hidup. Petani-petani berangkat ke sawahnya masing-masing. Apa saja bisa dikerjakan. Lembah yang subur dengan air yang melimpah, membuat petani bergairah. Alam masih bermurah hati. Dan hidup menjadi lebih bermakna.

Tapi kini yang Jaja saksikan cuma kelenggangan. Orang-orang enggan turun ke sawah, karena memang tak ada yang mesti dikerjakan. Beberapa kebun singkong di sudut-sudut lembah, tampaknya pula tidak membuat warga harus gesit. Singkong tak harus diurus seteliti mereka menanam padi.

Bapak dan Emak pun, pikir Jaja, akan sama malasnya seperti halnya semua penduduk desa seandainya mereka tetap tinggal di sini. Beruntunglah Bapak cepat mengambil keputusan berangkat transmigrasi ketika tanda-tanda kerusakan alam belum separah sekarang. Di Sumatera itu, Bapak dan Emak tentunya dapat mempertahankan semangat bertani. Mereka bisa memberi napas pada parang, cangkul, golok, garpu dan mungkin juga luku.

Eh, punya kerbaukah mereka? Lembu, mungkin? Kalau saja selama tiga tahun ini Bapak dan Emak berhasil mengolah tanah yang menjadi jatahnya, sangat boleh jadi mereka bisa membeli seekor kerbau atau sapi.

Mengolah sawah dengan luku, dulu menjadi impian Bapak. Tapi tidak kesampaian lantaran kerbaunya tidak terbeli. Harganya sangat mahal. Mungkn di tanah perawan itu Bapak sudah berhasil mengumpulkan sejumlah uang dari penjualan hasil taninya. Lalu membeli seekor kerbau atau mungkin sapi.

Tapi bagaimana bila selama ini Bapak dan Emak masih hidup dalam kesusahan? Misalnya saja karena tanah jatahnya itu belum bisa ditanami dengan baik? Atau masih banyak hama perusak seperti babi hutan, monyet dan burung-burung pemakan biji-bijian? Ditambah hama padi lainnya sehingga setiap kali sawah akan dipanen Bapak dan Emak kecewa? Mereka cuma mendapatkan sisanya?

Dan Bapak pasti menyesal. Bapak pasti ingin pulang kembali ke tanah Jawa. Pasti itu pula penyebab mengapa Inah belum juga dijemput. Janji Bapak sebelum berangkat, katanya, dua atau tiga tahun kemudian Inah akan diboyong ke sana. Namun sampai sekarang mereka belum juga muncul. Surat pun, kata Nenek, belum pernah ada.

Ah, jangan-jangan Bapak dan Emak celaka. Misalnya karena dipatuk ular kobra ketika mereka sedang membersihkan rumput di kebun. Atau mungkin diterkam harimau. Bukankan di sana masih banyak binatang buas? Teman-temannya di situ, yang sama-sama transmigran, tidak merasa perlu menyampaikan kematian Bapak dan Emak kepada Nenek di kampung ini dengan pertimbangan: Nenek pun sudah meninggal. Jadi kabar kematian Bapak dan Emak, cukuplah diketahui sesama kaum transmigran saja.

Pikiran-pikiran demikian terasa menyakitkan Jaja.

“Mungkin sebaiknya aku anggap Emak dan Bapak masih hidup. Di sana mereka menemukan arti hidup yang sebenarnya: tanah pertanian yang subur sehingga membuat Emak dan Bapak merasa takkan mati.

“Sebaiknya sekarang aku membuang bayangan mereka. Mungkn inilah hidupku yang sebenarnya. Tanpa kehadiran mereka pun aku mesti bisa bertahan. Aku sudah tiga-puluh sekarang. Aku mesti segera melepaskan ketergantungan, dalam angan sekalipun. Toh aku pernah mendapat cinta kasih yang teramat tulus. Sepenggal dari usiaku pernah dipenuhi cinta Emak dan Bapak.

“Adalah penting aku bisa menjawab pertanyaan orang tentang ayah dan ibu. Aku tidak lahir dari belahan batu. Kalau perlu aku bisa menggambarkan bentuk tubuh mereka sampai pada ciri-ciri paling kecil sekalipun. Dan ini merupakan citra abadi tentang mereka dalam diriku. Selama aku masih bisa bernapas, citra tersebut akan selalu melekat.

“Boleh jadi pula aku merupakan salah satu dari sekian banyak anak yang beruntung pernah mengenal ayah dan ibu. Tidak sepert Sukri, kawan sepermainanku dulu. Ia tidak pernah tahu bagaimana rupa bapaknya sampai umurnya yang kini tiga-puluh-lima. Kata orang bapaknya Sukri itu meninggal dunia semasa Sukri masih dalam kandungan emaknya.

“Kalau saja aku mati tenggelam di laut sekitar Nusakambangan, tentu Inah pun akan kehilangan gambaranku sebagai ayahnya. Sepanjang hidup, anakku pasti takkan pernah tahu bagaimana rupa bapaknya. Kalau pun Inah pernah melihat gambarku, mungkin cuma lewat foto-foto yang terdapat pada ijasah sekolah-dasarku, surat nikahku dengan Mae, atau lewat koran-koran yang memuat peristiwa pembunuhan itu. Tapi gambaranku lewat foto, tentu takkan membuat sempurna citraku sebagai ayah dalam hati anakku.

“Syukurlah. Aku bisa pulang dengan tubuh utuh, sekalipun hatiku harus porak-poranda. Inah bisa melihat bapaknya, sekalipun mungkn masih disekat keragu-raguan. Ya, aku kira keragu-raguan Inah itu masih ada. Bagaimanapun, kabar kematianku telah lebih lama melekat di hatinya ketimbang kehadiranku yang baru beberapa minggu ini. Atau boleh jadi tak cuma berita kematianku itu saja.

“Tidak mustahil muncul orang-orang yang sangat menyesalkan kenapa Inah harus menjadi anak Jaja; kenapa mahluk kecil tak berdosa itu harus menjadi anak seorang bedebah.

“Mungkin saja dengan jahilnya mereka itu bilang kepada anakku, `Nah, bila nanti datang seorang bapak bernama Jaja yang mengaku kau adalah anaknya, jangan percaya itu. Kampung ini tak pernah dihuni manusa macam dia. Emakmu tak pernah kawin dengan dia.`

“Bila Inah bertanya, `Jadi, bapakku siapa?`, pasti dengan lebih jahil mereka bilang lagi, `Ya, yang kawin dengan emakmu itu. Bapak Juru Penerang, yang sekarang membawa emakmu itu. Tapi dikarenakan pekerjaannya selalu berpindah-pindah, ya baru belakangan ini ia menjemputmu. Hebat `kan bapakmu itu.`

“Dengan begitu saja, anakku pasti terpengaruh. Jiwanya yang masih suci, dengan gampang dijungkir-balikkan, dicekoki ucapan-ucapan busuk hingga akhirnya Inah percaya aku bukan bapaknya. Ia pasti berpikir, bila aku ini benar-benar bapaknya tentu harus tinggal bersama emaknya.

“Beruntunglah Si Bujang Lapuk itu tidak mencintai anakku. Jadi suatu saat aku berharap Inah meragukan ucapan-ucapan jahil itu. Seperti halnya aku berharap, Inah benar-benar tidak mempercayai berita tentang kematianku.

“Malah bila dipikir lebih jauh lagi, Si Bujang Lapuk itu mungkin tidak hanya tidak mencintai anakku, namun juga secara langsung telah membuat serangkaian kesengsaraan. Buktinya Inah kehilangan cinta kasih seorang ibu. Inah kehilangan pelindung paling lembut. Si Bujang Lapuk itu telah merenggut semua milik Inah yang paling berharga, yang mungkin tak bisa digantikan perempuan lain, kendatipun sebagai ibunya.

“Pasti pula dengan kejinya dia mempengaruhi Mae supaya tidak menengok anaknya. Buktinya sudah dua atau tiga tahun ini, sejak ia dinikahi Si Bujang Lapuk, tak sekalipun Mae menengok darah-dagingnya sendiri. Induk kambing pun, aku kira takkan berbuat begitu.

“Pasti Si Bujang Lapuk itu telah meracuni Mae, `Me, tak usahlah kau mengingat-ingat Si Inah. Apalagi ingin menengoknya. Kau kan tahu, seluruh penduduk tahu, siapa itu Si Jaja. Aku malu kalau aku harus ikut memelihara anaknya.`

“Bila misalnya Mae bersikeras memohon agar Inah bisa hidup bersamanya, pasti Si Bujang Lapuk itu menghardik, `He, memaksa ya? Sana pulang lagi ke desamu!` Tentu saja Mae tidak mau. Mae tentu tak ingin menjadi janda untuk kedua-kalinya.

“Aku kadang berpikir, kenapa Mae mau manikah dengan Si Bujang Lapuk itu. Apakah tak ada lagi lelaki lain di desa ini? Aku lihat Acim, Maja, Suha, Karna dan Elan, kawan-kawan sepermainanku, masih sendiri. Mereka pasti mau menikah dengan Mae. Tubuh Mae masih segar. Wajahnya manis. Tentu tidak akan mengecewakan. Tapi kenapa Mae tidak memilih satu di antara mereka?

“Apakah lantaran Si Bujang Lapuk itu baik? Besar perhatiannya? Bisa memenuhi segala kebutuhan perempuan? Boleh jadi demikian. Namun lihatlah akibatnya: anakku tumbuh tanpa kehadiran seorang ibu! Aku sungguh sakit. Kenapa Inah mesti menghadapi satu sisi dari sosok orang tua? Kenapa hidupnya mesti diisi kepincangan? Disaat aku tak ada, Mae pernah hadir. Lalu disaat aku pulang, Inah kembali dihadapkan pada orang tua tunggal. Bahkan pula pernah kosong, tanpa sosok ayah dan ibu.

“Aku khawatir anakku merasa hidupnya tidak wajar. Sebab anak-anak lain memiliki keduanya: emak dan bapak. Bagaimana nanti aku harus menjelaskannya bila ia bertanya soal itu?

“Sunggung Si Bujang Lapuk itu telah membuat anakku sengsara,” geram Jaja seakan ingin menelan bulat-bulat lelaki yang telah menikahi perempuan yang amat dicintainya itu. (bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar