Lalu Semuanya Berubah (6)

Cerita sebelumnya mengisahkan kepulangan Jaja ke desa tempat kelahirannya setelah hampir sembilan tahun menjalani hukuman di Nusakambangan sebagai penebus dari perbuatan nekadnya membunuh orang. Berikut kelanjutan novel “Lalu Semuanya Berubah”:

Catatan yang disusun Jaja berdasarkan cerita Nenek itu tampaknya tidak sekedar pelengkap perjalanan hidup seorang anak desa hingga usia tiga-puluhan. Namun juga tampaknya akan menjadi semacam muara yang kembali membias pada perjalanan berikutnya. Bahkan sisa-sisa masa lalu yang kini kerap ia temukan, sering membuat Jaja terombang-ambing seperti layangan putus.

Sejumlah kenangan, yang terkadang tanpa ia sadari bermain-main kembali di pelupuk matanya, tidaklah melahirkan seulas senyum kecil sekalipun. Bagi Jaja semua kenangan adalah buruk, sekalipun peristiwanya itu sendiri teramat manis. Sebab kenangan itu memaksa Jaja terjerembab pada situasi yang kelam. Bahkan nyaris hitam pekat manakala Jaja sadari bahwa semua kenyataan yang kini berada di hadapannya, sama sekali tak pernah ia bayangkan.

Jaja sama sekali tak pernah melihat tanda-tanda, isyarat-isyarat atau pun tabir-tabir yang akan membawa dirinya pada keadaan seperti sekarang ini: Desanya merintih kesakitan; Emak dan Bapak berangkat ke negeri seberang; Mae dinikahi Si Bujang Lapuk, dan Inah mesti tenggelam dalam penantian tak berujung.

Semua itu hadir di hadapan Jaja begitu tiba-tiba. Tanpa pesan awal yang memungkinkan bisa bersiap diri. Sedangkan kematian Usin – ia mau menggagahi Mae sehingga Jaja terpaksa membunuhnya – bagi Jaja bukanlah pertanda kelahiran semua malapetaka itu. Jaja memang tidak pernah bermimpi jadi pembunuh. Pun ketika pembunuhan itu terpaksa terjadi, yang kemudian melemparkannya ke pulau pengasingan itu, ia tidak pernah membayangkan bahwa hal itu mengakibatkan lenyapnya orang-orang tercinta.

Kelahiran Inah sendiri tak pernah Jaja impikan. Jaja sama sekali tidak berpikir bahwa ketika ia meninggalkan Mae, benih-benih yang ia tanamkan di tubuh istrinya akan menjadi buah. Mae memang tidak mengatakan apa-apa waktu itu. Atau Mae pun ketika itu belum menyadarinya?

Juga Nenek, pikir Jaja, tidak memahami isi hatnya. Nenek tidak mengerti bahwa parang yang terselip di dapur itu membuat Jaja gelisah. Cangkul yang tergantung di kaso-kaso itu membuat hatinya teriris. Posong-posong yang tergantung di belakang rumah itu membuat dirinya terasa sesak.

Benda-benda itu, dulu, memang diletakkan Jaja di sana, dan sekarang belum berubah. Seinci pun letaknya tidak berubah. Kenapa pula Nenek masih membiarkan joran pancing itu terselip di bilik tepas?

Jaja takkan pernah lupa. Ia-lah yang menyimpan joran itu sembilan tahun silam. Jaja ingat ketika itu ia kesal kepada Mae, yang memaksa Jaja agar kambing satu-satunya dijual. Uangnya mau dibelikan kain brukat dari pedagang keliling. Jaja tidak setuju. Jaja lalu pergi memancing. Malamnya tidur di rumah Nenek. Joran pancing itu ia selipkan di bilik kanan tepas.

Paginya Jaja pun tidak pulang. Ia terus ke sawah. Baru siangnya Mae muncul membawa nasi. Mae minta maaf sambil mengisak. Kekesalan Jaja, bila sudah begitu, luruh seketika.

“Bukannya aku tak ingin membelikan kain itu, Me,” ujar Jaja saat itu, “Memang sudah menjadi tanggung jawabku untuk memberimu pakaian, makanan dan kebutuhan hidup lain. Tapi aku ingin kau mengerti bahwa kambing itu satu-satunya milik kita. Satu-satunya harta benda yang tersisa setelah kita menikah. Bukankah kau sendiri yang mula-mula menghendaki agar kambing itu beranak-pinak?”

Mae mengangguk. Perlahan.

“Nah, kenapa sekarang berubah pikiran?”

Tak ada jawaban.

“Kalau kau memang sangat menginginkan kain brukat itu, setelah panen nanti, ayu kita ke kota. Di sana harganya lebih murah, lebih banyak pula pilihannya.”

“Betul, Kang?” Matanya berbinar. Bibirnya tersenyum kecil, malu-malu. Tapi tampak kegembiraan. Jaja menatapnya lekat-lekat. Mae memang cantik. Bulatan hitam di matanya begitu jernih. Pipi-pipinya yang montok, yang kemerahan disengat matahari, tampak segar.

Tapi pakaian yang membungkus tubuhnya, kurang pantas. Lebaran kemarin Jaja tidak sempat membelikan kain baru. Yang kini dikenakannya pun adalah kebaya bawaan sebelum ia sah menjadi istri Jaja. Sudah lusuh dan menitis.

Kadang-kadang timbul pikiran di benak Jaja bahwa ia berdosa menikahinya. Sebab ia merasa belum bisa memberi banyak. Sawah beberapa petak milik Bapak, hanya diserahkan sebagian. Yang lain masih dikerjakan Bapak. Ditambah sawah mertua yang Jaja kelola, hasilnya hanya cukup untuk makan berdua selama semusim.

Memang diakui dari setiap panen, Jaja menjual sedikt padi. Uangnya Jaja belikan kayu, genting, bilik dan semacamnya. Jaja ingin sedikit demi sedikit mengumpulkan bahan-bahan untuk membangun rumah.

Sering pula Jaja merenung, seanadainya Mae jadi menikah dengan Wak Duriat -- menjadi istri ke empatnya --, mungkin Mae akan mendapatkan apa yang diinginkan perempuan. Seperti yang dialami Suti, teman sepermainannya. Tubuh Suti kian hari kian montok. Jaja tidak menemukan adanya kesusahan atau pun kekurangan. Mulai pakaian sampai bedak, tercukupi.

Tidak demikian dengan Mae, pikir Jaja. Ia memberi Mae serba kekurangan. Tapi untuk melepaskan Mae, ia merasa tidak mungkin. Jaja teramat mencintainya.

“Me, menyesalkah kau hidup bersamaku?” Pernah suatu kali Jaja bertanya konyol seperti itu. Mae yang saat itu sedang menjahit kain sarung, terperangah. Ia menatap Jaja penuh tanda tanya.

“Apa maksudmu, Kang?”

“Kau menyesal telah aku-nikahi?”

“Kalau ya,” Mae cepat menukas, “kau akan menceraikanku? Kemudian membiarkan aku direnggut si Tua Bangka itu? Begitu?”

“E-e… bukan! Bukan begitu maksudku!” Jaja tampak gelagapan melihat sikap Mae sepeti itu. “Maksudku… Begini, Me. Selama kau hidup bersamaku, aku belum bisa memberi apa-apa. Tidak seperti suami lain. Pakaiannya, rumahnya, segalanya tercukupi. Mungkin kau sebetulnya menyesal nikah denganku, begitu!”

“Kang!” seraya memeluk Jaja, “jangan mengatakan itu. Aku sudah cukup senang. Aku tak ingin berpisah. Malah kalau Akang pergi sehari dua saja, aku selalu ketakutan. Wak Duriat itu, Kang, bila aku berpapasan di jalan atau di sawah, dia selalu menatapku. Juga Si Usin, duda itu, sering mengawasiku. Aku takut, Kang. Mereka seperti ingin menelanku.”

Itulah saat-saat Jaja merasa jadi suami paling bahagia. Tapi kini kebahagiaan serupa itu menjadi sejuta jarum yang menusuk-nusuk jantungnya. Jaja merasa Mae telah berhianat. Mae tidak setia menanti kepulangannya. Atau lantaran berita kematian itu?

Jaja mengeluh.

Mungkin tanah-tanah yang membatu, bukit-bukit yang gundul dan sinar matahari yang terasa membakar, kini sedang mengejek Jaja. Mentertawakan kecengengannnya.
Mungkin tanah, bukit dan matahari sebetulnya lebih menghendaki Jaja sesegera mungkin mengambil sikap; segera berpikir apa yang seharusnya ia lakukan dihari-hari mendatang.

“Ya, semestinya aku segera menyusun rencana,” pikr Jaja, “Selama dua minggu kehadiranku di sini, seharusnya cukup bagiku untuk bertindak: tetap di desa atau secepatnya pergi ke kota, mengadu nasib.”

Tapi ternyata tak gampang Jaja memilih.

“Seandainya aku mengambil pilihan kedua,” renung Jaja, “aku harus membawa Inah. Lantaran aku bapaknya. Juga Nenek, tentunya harus ikut. Sebab Nenek terlalu tua untuk hidup sendiri. Tapi mau apa nanti aku di kota? Bisa apa?”

Jaja mengurut dada.

“Lalu kalau aku sekarang memilih yang pertama,” pikir Jaja, “aku tetap tinggal di desa ini. Sungguh, aku tidak mampu membayangkan kehidupan bagaimana yang mesti aku jalani di tengah keadaan tanah kelahiranku yang porak-poranda ini?

“Sawah warisan Bapak -- aku anggap begitu – mungkin hanya bisa diolah, ditanami padi, pada saat musim hujan saja. Hasilnya belum tentu mencukupi sampai musim tanam berikutnya.

“Bagi banyak warga desaku, pada saat musim paceklik datang, mengadu nasib di kota adalah pilihan terbaik. Jadi pedagang rokok atau penjual asongan di terminal-terminal. Itu kalau ada sedikit modal. Kalau tak berduit sama sekali, dan umumnya memang demikian, bisa jadi kuli kasar yang hanya mengandalkan kekuatan otot. Hal semacam itu menurut cerita Nenek, banyak ditempuh warga desaku. Terutama mereka yang hidupnya dari upah tani, atau mereka yang hanya memiliki beberapa puluh meter sawah.

“Seandainya aku menempuh cara seperti itu, bagaimana dengan sawah warisan Bapak? Mestikah aku biarkan ditumbuhi ilalang? Atau barangkali dijual saja? Rasanya mustahil. Sawah itu kekayaan keluargaku satu-satunya. Bapak dan Emak saja ketika mau berangkat transmigrasi, tak tega melepaskan sawah itu.

“Atau mungkin disewakan saja kepada petani lain? Ini pun rasanya tak gampang. Nenek mungkin tidak setuju. Nenek justru menghendaki aku mengelola sawah itu tanpa mau tahu bagaimana porak-porandanya lembah itu.

“Atau begini: ketika musim kemarau aku pergi ke kota. Ketika musim hujan aku kembali ke desa. Mengolah sawah Bapak sampai waktunya panen. Pilihan itu tampaknya baik. Tapi bagaimana dengan Inah, haruskah aku kembali meninggalkannya sementara ia begitu membutuhkan kasih-sayang orang tua? Atau dibawa ke sana ke ke mari? Aku ke kota, ia ikut. Aku pulang, ia pun pulang.

“Ya, bisa saja begitu. Dan tidak sukar lagi. Asal aku benar-benar jadi ayah yang bebal. Rela membiarkan Inah tidak sekolah. Inilah yang tak mudah bagiku. Sebab sekalipun aku dibesarkan di pedesaan dengan wawasan dan pendidikan yang sempit, tapi aku ingin anakku dapat sekolah. Paling tidak tamat sekolah dasar, seperti aku dan emaknya. Aku tak mau Inah bodoh, yang lantas dibodohi orang.

“Ah. Anak itu, ternyata mengganggu pikiranku pula.”

Jaja menerawang. Entah ke mana. (Bersambung)

3 komentar:

ya karena waktu juga akan terus berjalan. .

jaka mengatakan...

terimakasih bos tentang infonya dan semoga bermanfaat

tejo mengatakan...

makasih gan infonya dan salam sukses

Posting Komentar