Lembah Kecil itu Kini Menjadi Pelabuhan Darat

Hingga awal tahun 80-an, Jangari hanyalah sebuah nama jembatan kecil di atas sebuah sungai kecil yang oleh warga setempat disebut Cirata. Percisnya terletak di Desa Bobojong, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Jembatan Jangari itu sendiri merupakan bagian dari ruas jalan Cianjur-Mande waktu itu, yang merupakan sebuah jalan kabupaten (istilah yang digunakan Dinas Bina Marga, dulu disebut PU).

Kata orang-orang di sana, tak ada yang berani lewat ke situ kalau malam sudah tiba. Serem, katanya. Mungkin karena lokasinya berada di lembah. Sedangkan keadaan di sekitarnya merupakan hutan rakyat dan perkebunan karet.

Malah ada juga yang mengatakan, di jaman perjuangan dulu, Jangari merupakan salah satu tempat strategis bagi para pejuang kita. Di situ para pejuang kita kerapkali adu-tembak dengan konvoy tentara KNIL ( Koninklijk Nederlands Indisch Leger) yang sedang menuju ke arah kota kecil Mande, atau sebaliknya sedang menuju ke arah kota Cianjur. Paling tidak, bukti adanya kontak senjata antarta para pejuang kita dengan KNIL itu ditandai dengan sebuah monument kecil yang khabarnya dibangun oleh Yayasan PETA (Pembela Tanah Air) pada tahun 70-an. Monumen itu terletak di Pasir Empul, beberapa puluh meter dari Jangari.

Itu dulu. Sekarang Jangari adalah sebuah pelabuhan darat yang cukup penting bagi roda perekonomian masyarakat Cianjur, dan itu terjadi sejak 1987, yakni ketika ribuan hektar lahan pertanian, perkebunan, pemukiman penduduk, fasilitas umum dan fasilitas sosial (termasuk jembatan kecil Jangari dan kota kecil Mande) yang berada di tiga kabupaten yakni Cianjur, Bandung dan Purwakarta, berubah menjadi sebuah danau buatan seiring selesainya pengerjaan mega proyek PLTA Cirata.

Memang Jangari tidak serta merta menjadi pelabuhan darat yang ramai, terlebih lagi dari sisi ekonomi. Karena ditahun-tahun awal, danau buatan yang kini popular disebut Danau Cirata itu lebih merupakan sebuah tempat baru untuk rekreasi keluarga. Barulah ketika budidaya perikanan darat sistim jaring apung diperkenalkan oleh dinas perikanan setempat, Danau Cirata “berubah” menjadi tempat usaha potensial. Orang berduit dari kota berlomba-lomba membuat kolam jaring apung, karena budidaya ikan air tawar di Cirata cukup menguntungkan.

Hal itu berbanding lurus dengan perkembangan Jangari. Tempat ini menjadi pelabuhan darat yang ramai seiring pesatnya pertumbuhan kolam-kolam jaring apung di Danau Cirata, yang menurut informasi terakhir kabarnya sudah mencapai sekitar 45 ribu kolam jaring apung.

Memang pelabuhan sejenis di Cirata bukan hanya Jangari, tapi juga ada Maleber, Calincing, Nusa Dua dan Kebon Coklat. Tapi Jangari merupakan pelabahuan paling ramai. Ini antara lain karena Jangari berdekatan dengan ruas jalan Jonggol (Bogor)-Tungturunan (Cianjur) dan jalan protokol Bandung-Jakarta.

Konon menurut informasi pula, puluhan ribu ton berbagai jenis ikan air tawar seperti ikan mas, nila, bandeng, patin dan bawal, yang dihasilkan petani kolam apung Cirata, diberangkatkan dari Jangari ke berbagai pasar ikan di Jawa dan Sumatera. Belum lagi adanya bongkar-muat pakan ikan dan benih (bibit ikan). Sehingga bolah jadi, Jangari saat ini bisa dibilang sebagai pelabuhan darat tersibuk di Jawa Barat.

Lalu imbasnya terhadap warga setempat? Memang perlu kajian yang agak ilmiah barangkali, apakah Jangari yang kian sibuk itu berdampak positif terhadap perkembangan ekonomi masyarakat setempat. Yang jelas, selintas bisa dilihat bahwa warung-warung kecil, para tukang ojek, para kuli pelabuhan, para tukang perahu dan semacamnya, umumnya merupakan warga setempat.

Itulah pembangunan. Ada yang memperoleh manfaat besar, ada pula yang memperoleh manfaat kecil, dan umumnya mereka yang memperoleh manfaat kecil itu, tak lain adalah masyarakat kecil juga.

0 komentar:

Posting Komentar