Lalu Semuanya Berubah (4)

Catatan:
Cerita sebelumnya mengisahkan kepulangan Jaja ke desa tempat kelahirannya setelah hampir sembilan tahun menjalani hukuman di Nusakambangan. Betapa hatinya terpukul ketika dia tahu yang tersisa di desanya hanya tinggal seorang nenek renta. Kemana orang-orang yang amat dicintainya? Berikut kelanjutan novel “Lalu Semuanya Berubah”:


Cerita Nenek tentang kepergian orang-orang yang sangat dicintainya, berikut perubahan tanah kelahirannya yang demikian drastis, tak cukup Jaja simak sekali-dua. Ada rintangan yang membuat penghayatan Jaja terhadap cerita Nenek, menjadi timpang. Sebab bagian-bagian dari cerita itu hampir seluruhnya bermuara pada dirinya semasa di Nusakambangan. Seperti luka yang kembali nanahan.

Pada saat seperti itu, Jaja seolah tak punya telinga. Bahkan cerita Nenek selanjutnya tak dapat ia pahami. Itulah sebabnya Jaja butuh ulangan dan ulangan cerita Nenek, agar penyimakkannya terhadap cerita itu benar-benar sempurna sehingga menjadi sebuah perjalanan lengkap seorang anak desa.

Bagi Jaja, kepergian Emak, Bapak dan Mae berikut perubahan status kepemilikan rumah yang dulu pernah dijanjikan akan diwariskan kepadanya, tidaklah berdiri sendiri. Ketidak-hadiran Jaja selama delapan atau mungkin sembilan tahun, justru menjadi penyebab semua itu.

Demikianlah.

Ketika Jaja benar-benar lenyap dari kampung, digiring petugas berseragam dan entah kapan akan kembali, Emak jatuh sakit. Jiwanya terlalu rapuh untuk menerima kenyataan bahwa anaknya seorang pembunuh. Emak sangat terguncang menghadapi aib yang diperbuat Jaja.

Juga desa itu. Pohon-pohon, sawah-sawah, rumput-rumput dan kambing-kambing, ikut murung atas apa yang terjadi. Hampir seluruh warga desa menunjukkan keterkejutan yang hebat, sekalipun peristiwa pembunuhan di sana bukan sekali itu terjadi. Dulu, keterkejutan seperti itu pernah muncul, sesaat setelah Samin merenggut nyawa Danu dengan goloknya.

Tapi kali ini -- karena pelakunya Jaja -- keterkejutan itu menjadi guncangan yang bergema panjang serta melahirkan tanda tanya besar di benak warga desa. Kenapa Jaja bisa begitu? Mungkin pertanyaan itu takkan lahir seandainya Jaja adalah Kasim atau Sukri yang suka mencuri ayam penduduk, atau Akam yang pernah disekap di Kantor Desa lantaran tertangkap basah loncat dari jendela kamar seorang janda muda.

Jaja bukanlah jenis manusia seperti itu. Jaja seorang yang cukup terpuji. Bahkan tanpa cela. Ucapan dan tindakannya sopan. Kemauannya keras. Kerjanya gesit. Dengan satu ungkapan: Jaja punya nilai bagus di mata hampir semua penduduk desa. Kalau pun ada yang kurang suka kepadanya, itu disebabkan Jaja berhasil meminang gadis manis Mae.

Jaja pun jadi bahan obrolan.

“Kenapa ya, dia tega menghabisi nyawa orang?”

“Hampir aku tak percaya Usin mati dibunuh Jaja.”

“Terlalu kesetanan mungkin.”

“Aku pun, kalau istriku mau diperkosa orang, mungkin akan berbuat sama. Hanya saja istriku tak secantik Mae. Jadi takkan ada yang mau memperkosanya.”

“Kalau aku, nyembelih ayam saja tak sampai hati. Apalagi menghilangkan nyawa orang. Tak dapat aku bayangkan. Tapi Si Jaja? Bisa juga begitu, ya?”

“Kemasukan iblis mungkin.”

Benar. Jaja jadi perbincangan di mana-mana. Di warung, di kebun, di sawah, di tegalan sambil mengembalakan kambing dan kerbau, kasus Jaja seolah-olah sarapan paling nikmat. Mulut terasa masam kalau mereka tak membahas kasus pembunuhan itu.

“Siapa tahu, dia memang pembunuh tulen. Siapa tahu kelakuannya yang selama ini tampak baik, cuma kedok. Siapa tahu? Baik luarnya belum tentu baik pula dalamnya,” ujar lelaki setengah baya di sela-sela istirahat mencangkul sawah.

“Begitu?” tanya petani muda.

“Aku kira memang begitu.”

“Ya. Pasti begitu,” tukas petani lainnya.

Petani-petani kuli itu lalu saling pandang. Seakan-akan mereka tengah mencari kesepakatan lantaran apa Jaja sampai tega membunuh orang. Dan jawaban yang mereka setujui adalah Jaja jadi pembunuh lantaran akhlaknya memang buruk. Selama ini Jaja cuma pura-pura baik.

Tapi bagi Emak, pertanyaan serupa itu tak pernah mendapat jawaban yang jelas. Emak teramat percaya bahwa puteranya seorang yang baik. Bagi Emak, mencari penyebab lantaran apa Jaja sampai tega menghabisi nyawa Usin, malah kian membuat batinnya merintih. Luka ini kemudian menjadi borok yang penuh nanah manakala sikap tetangga mulai mengambil jarak pemisah. Emak tertekan ini itu.

Lalu Bapak?

Bapak menjadi pemurung. Wajahnya yang selama ini memancarkan kekerasan dan keteguhan hati, lenyap seketika. Mendung seolah selalu membentengi ketegarannya. Ternyata, terpaan panas matahari ketika Bapak di sawah atau di tegalan, tak membuat hatinya ikut membaja. Bapak luluh dalam duka.

Pada minggu-minggu pertama setelah peristiwa berdarah itu, Bapak tidak turun ke sawah. Padahal saat itu sawah sedang menanti jamahan tangannya. Bapak membiarkan cangkul tergantung di dapur. Bapak hampir tak peduli kepiting-kepiting kecil nan jahat itu mencabik-cabik pematang sawah. Pun panggilan kambing-kambing yang lapar, tak mampu menggugah semangat kerjanya. Bapak malah menitipkan kambing-kambing itu kepada anak tetangga untuk digembalakan.

Bapak kehilangan gairah hidup.

Hanya karena Bapak seorang lelaki, ia tidak jatuh sakit. Tidak seperti Emak, yang selama beberapa minggu tak bisa meninggalkan tempat tidurnya. Bapak hanya murung. Tapi akibatnya sama saja: rumah panggung yang dulu terasa hangat itu, sunyi seketika. Jaja seakan-akan telah membawa kebahagian Emak dan Bapak. Jaja telah merenggut kebahagiaan mereka dengan kejam.

Tirai yang amat halus telah memisahkan Emak dan Bapak. Mereka jarang bercengkerama lagi. Keduanya seolah-olah telah kehilangan bahan obrolon. Bila malam tiba, mereka langsung merebahkan tubuhnya, kendati baru terlelap setelah jauh tengah malam.

Kamar berukuran tiga kali empat meter itu, kini senyap. Tak terdengar lagi percakapan tentang rencana hari esok. Lampu tempel pun, tak lagi mendengar bisik-bisik mereka.

Cicak, nyamuk, kecoa dan tikus, cuma disuguhi kesunyian. Mungkin kalau mereka bisa bicara dengan bahasa manusia, mereka akan bertutur bahwa kepergian Jaja hanyalah sepenggal dari rangkaian perjalan hidup yang tak harus menjadi beban pikiran. Setiap orang bisa mengalaminya. Tinggal bagaimana perstiwa seperti itu bisa dihadapi hingga menjadi langkah awal perjalanan berikutnya.

Tetapi bagi Emak dan Bapak, Jaja bukan semata anak. Jaja adalah masa depan. Kepergian Jaja, dengan demikian, berarti kehilangan masa depan itu.

Mae, istrinya, sekalipun mungkin bisa diharapkan perlindungannya ketika mereka sudah renta, tapi tidak akan sebaik perlindungan anak kandung sendiri. Hanya Jaja yang bisa diharapkan mereka. Namun kini Emak dan Bapak tidak tahu apakah Jaja akan kembali, kelak. Seandainya kembali ke desa pun, Emak dan Bapak tidak tahu apakah Jaja masih akan memiliki jiwa kedesaannya; masih penuh cinta kepada sawah dan kambing-kambing.

Sangat mungkin oleh karena terpaan nasib di tempat pembuangan itu Jaja kelak menjadi seorang yang menganggap asing tanah kelahirannya sendiri; menganggap aneh kepada sawah dan kambing-kambing.

Tapi pikiran yang lebih menyakitkan Emak dan Bapak adalah, bagaimana bila benar Jaja takkan pernah kembali. Itu tidak beda dengan musnahnya sebuah generasi. Sebuah turunan. Mungkin bagi orang lain pikiran demikian dianggap naif. Tapi tidak bagi Emak dan Bapak. Mereka selalu berharap tetes-tetes darahnya terus berkembang-biak, lalu mengolah tanah dan sawah di desa itu.

Lalu bagaimana dengan Nenek?

Ia kembali kesepian. Rumahnya yang kecil kembali sunyi. Di tepas tak terdengar lagi percakapan Jaja dan Mae, yang numpang istirahat sepulang mereka dari sawah.

Bila Nenek menebang pisang ambong di belakang rumah, tak jarang pisang itu membusuk. Sebab orang yang paling menyukainya tak lagi datang meminta. Bila pohon jengkol di halaman rumahnya berbuah, tak terlihat lagi seseorang memanjat memetiknya.

Mae? Bagaimana dengan Mae?
Tampaknya tak jauh berbeda dengan Emak. Perempuan berusia dua-puluhan itu tiba-tiba kehilangan senyum manisnya. Gairah hidup Mae sepertinya tenggelam.

Emak sering mendapatkan Mae mengisak di tengah malam. Atau termenung sendiri di tepas, seperti sedang menantikan seseorang. Lalu akan terdengar keluhannya yang panjang bila penantiannya ternyata cuma kesia-siaan.

Dari hari ke hari tubuhnya yang semula padat berisi, mulai melorot. Mae tampak lebih kurus. Wajahnya pun tak lagi memancarkan sinar-sinar kehidupan. Kemudian pada bulan kedua, kepedihannya terasa semakin berat manakala penyakit bulanannya tak kunjung datang. Rasa mual di perutnya, yang lalu diikuti muntah-muntah, disadari benar oleh wanita itu bahwa dirinya tengah ngidam.

Semua orang pun merasakan kebahagiaan yang aneh. Emak dan Bapak bahagia di antara kepedihannya. Nenek dan orang tua Mae, tersenyum di antara tangisnya. Mereka gembira karena kehamilan Mae membersitkan harapan-harapan indah.

Matahari datang dan pergi.

Delapan bulan kemudian Mae melahirkan. Oroknya perempuan. Cantik seperti biangnya. Bibir, hidung dan alis matanya persis seperti milik Mae.

Emak, Bapak, Nenek dan mertua, termasuk beberapa kerabat dekat menyambut kehadiran penghuni baru itu, juga dengan kebahagiaan yang aneh. Kebahagiaan yang muncul tidak sekedar terlontar lewat kata-kata “He, mirip siapa ya, emaknya atau bapaknya”, akan tetapi juga gumam lirih “Seandainya Jaja ada di sini”.

Mae sendiri tersenyum di antara tangisnya. Tapi Mae tak mampu lama-lama menatap bayi itu. Sebab membuat hatinya kian teriris. Membuat ia terpaksa membayangkan betapa Jaja yang merindukan kelahiran anak itu sekarang mungkin sedang tersiksa di tempat pengasingan.

Terdengarkah tangis si kecil ke pulau itu? Adakah burung atau angin yang berbaik hati menyampaikan kabar kelahirannya? Sampai pulakah erangan kesakitan Mae lewat tali batin yang tak berujung itu?

“Kelak ketika kau sedang melahirkan, aku akan berada di sisimu. Aku ingin mendengar erangan kesakitanmu. Aku ingin melihat bayi kita keluar dari rahimmu.” Begitu dulu Jaja pernah berkata.

“Kau tidak takut?”

“Tidak!”

“Tidak akan gugup?”

Jaja menggelengkan kepala. Mantap.

“Tapi… aku belum hamil juga ya?”

Keduanya lalu saling pandang. Saling senyum, untuk kemudian saling berpelukan. Diintip angin malam yang menerobos celah-celah bilik. Cicak, tikus dan kecoa menjadi saksi bisu atas cinta kasih mereka.

Tapi takdir ternyata punya alurnya sendiri. (Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar