Sambil Tersenyum Dia Berdiri di Depan Pintu Rumahku

Cerpen Arus Rasyid


KETUKAN di pintu depan itu aku biarkan beberapa saat. Tanggung, aku tengah berpakaian. Bersiap-siap untuk menghadiri pembukaan diklat jurnalistik bagi wartawan-wartawan sebuah koran lokal, tepat pukul 20.00. Dan aku kebetulan sebagai salah seorang pembicaranya.

Lagi pula aku kira orang yang mengetuk pintu itu Pak RT yang akan menagih iuran bulanan. Sebab tadi pagi ketika mau berangkat ke kantor, aku ketemu dia di jalan. Dan aku menjanjinkan akan bayar iuran nanti malam.

Ketukan itu kembali kudengar. Berkali-kali. Tambah keras. Wah, tak sabaran juga nih Pak RT! Aku grasa-grusu merapikan pakaian dan menyisir rambut sekenanya.

Tok! Tok! Tok!

“Sebentar!” kataku. Anak kunci kuputar. Lalu kutarik daun pintu hingga pintu terbuka lebar. Tampak di luar, persis di depan pintu rumahku, seorang perempuan berdiri. Tersenyum manis. Menatapku dengan berbinar-binar.

Aku agak terpana, bukan karena perempuan yang usianya kutaksir sekitar 35 tahun itu cukup cantik, tapi karena semula kuduga tamu itu Pak RT. Dan aku sama sekali tidak mengenal perempuan yang berdiri hadapanku ini.

“Hei! Apa kabar, Sid?” sapanya seraya menjulurkan telapak tangan mengajak salaman. Bibirnya tetap tersenyum. Matanya kian berbinar-binar. Seakan-akan dia sudah lama ingin bertemu. Dan seakan-akan aku sudah amat dikenalnya luar-dalam.

Belum habis keterpanaanku, perempuan itu, setelah menyalamiku dengan amat erat, nyelonong masuk, hingga hampir ke ruang tengah. Di sana sesaat dia celingak-celinguk, seakan-akan ingin mengetahui ada siapa saja di rumahku. Lalu menjatuhkan pantanya di kursi tamu seraya menatapku dengan binar-binar ceria, dan katanya, “Kamu sendirian tinggal di sini?”

Bah! Berani benar perempuan itu. Sudah masuk begitu saja, eh nanya lagi yang bukan-bukan. Memangnya dia siapa? Aku sama sekali tidak mengenalnya.

“Tadi aku nanya sana-sini,” katanya tanpa ditanya. “Orang-orang yang kutanya, geleng-geleng kepala. Tak mengenal namamu. Ketika aku sebutkan postur tubuhmu, memang ada yang mirip. Tapi namamu lain. Aku hampir putus asa kalau saja tidak ketemu seorang perempuan tua di mulut gang. Saat kutanya, dia langsung menunjukkan letak rumahmu, dan katanya kepadaku bahwa di kampung ini kamu punya banyak nama. Kayak buronan aja kamu,” sambil tertawa kecil.

Bah! Berani-beraninya dia! Keterlaluan! Tapi anehnya aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku seperti terhipnotis atas keberaniannya.

Aku mencoba berpikir siapa perempuan yang sok akrab ini. Barangkali memang aku pernah mengenalnya, dulu, di suatu tempat. Tapi tetap sosok perempuan itu tak ada dalam lembaran-lembaran memoriku.

Atau barangkali aku pernah berjumpa dalam suatu impian? Tapi kapan aku mimpi ketemu dia? Lagipula, bukankah seseorang baru memimpikan sesuatu bila sebelumnya memang ada gambaran awal yang tersimpan dalam memori?

Atau jangan-jangan perempuan itu salah alamat? Dia sebetulnya bermaksud menjumpai pria lain, yang mungkin saja wajah dan postur tubuhnya mirip denganku. Soalnya ada beberapa kenalan baru yang bertanya kepadaku apakah aku punya saudara kembar. Mereka mengaku pernah ketemu dengan orang yang wajahnya mirip wajahku. Tapi selalu aku jawab, aku tak punya saudara kembar. Soal ada kemiripan wajah dengan yang lain, itu bisa saja terjadi, dan perempuan ini mungkin salah seorang yang keliru mengenali wajah kenalannya.

Atau jangan-jangan perempuan itu sebetulnya hanya pura-pura mengenalku dengan sangat baik. Niat sebetulnya adalah merampok isi rumah. Dan dia mungkin tidak sendiri. Di luar mungkin ada beberapa temannya yang siap melaksanakan aksi setelah si perempuan memberi kode tertentu.

Atau – ini yang membuat aku miris -- niat sebetulnya mungkin membunuhku. Karena dia merupakan seorang pembunuh bayaran, dan dia mendapat kontrak dari seseorang yang amat sangat membenciku. Tapi siapa yang menyuruhnya? Rasanya selama ini aku tak pernah berbuat sesuatu yang membuat orang sakit hati bukan kepalang.

“Aku rindu. Sudah lama aku ingin ketemu,” katanya. Kali ini suaranya agak perlahan. Dan tatapan matanya juga tak lagi berbinar-binar. Malah sepertinya lewat tatapannya itu dia bertanya-tanya kenapa aku juga tidak menunjukkan rasa rindu kepadanya.

Rindu? Mana mungkin aku rindu kepada perempuan yang tidak pernah aku kenal? Siapa namanya, aku tidak tahu. Siapa dia sebenarnya, aku juga tidak tahu. Apakah sudah punya suami atau belum, aku tidak tahu. Apakah sudah punya anak, aku tidak tahu. Di mana rumahnya, aku sama sekali tidak tahu.

Aku harus menanyakannya. Dan aku harus menjelaskannya bahwa mungkin aku bukan orang yang ingin dia temui. Tapi bagaimana kalau dia tetap bersikeras bahwa dia sangat mengenalku luar-dalam? Haruskah aku usir? Kalau tetap bersikeras, haruskah aku laporkan kepada Pak RT? Kalau terus ngotot juga, haruskah aku memanggil polisi? Tapi mungkinkah polisi merespon panggilanku hanya karena alasan ada seorang perempuan yang mengaku mengenalku dengan baik?

Perempuan itu kembali bicara. Tapi aku tak mau mendengarnya. Aku tengah berpikir apa yang harus aku lakukan.

0 komentar:

Posting Komentar