Guru Kita Tercinta

Catata Arus Rasyid



MASIH ingat tembang “Umar Bakri” yang dilantunkan Iwan Fals? Lagu itu amat ngetop ditahun 80-an, bahkan menjadi sebutan populer untuk mereka yang bekerja sebagai guru. Iwan memang menyanyikannya secara jenaka. Tapi syairnya sendiri menyiratkan kondisi sosial ekonomi umumnya para guru waktu itu yang boleh dibilang tidak seberuntung pegawai negeri lainnya.

Sekarang lain lagi. Masa-masa “Umar Bakri” telah lewat. Gaji guru sekarang sangat besar. Guru dengan pangkat terendah saja minimal berpenghasilan Rp2 juta/bulan. Apalagi bagi guru yang bersertifikat, gajinya bisa berlipat dari yang diterimanya selama ini. Karena selain gaji pokok, mereka juga mendapatkan tunjangan fungsional dan profesi.

Mungkin karena itu pula sebutan “guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa” kurang relevan lagi saat ini, khususnya bagi guru PNS. Sebab pengertian pahlawan merujuk pada perbuatan atau pekerjaan yang penuh pengorbanan. Seperti guru-guru dimasa lalu, yang relatif pasrah, tidak banyak menuntut adanya peningkatan kesejahteraan. Sebab kalau hal itu dilakukan, boleh jadi akan mengurangi makna pengorbanannya.

Berbeda dengan sekarang, tuntutan peningkatan kesejahteraan itu sudah tak bisa ditawar-tawar lagi. Atau lebih tepatnya barangkali harus ada kesesuaian antara tingkat kesejahteraan guru dengan aspek kemuliaan yang melekat pada tugas-tugasnya. Dalam bahasa kita sehari-hari, mulia itu mahal. Kalau memang kita sepakat tugas guru itu mulia, maka konsekwensinya mereka harus dibayar mahal. Itulah kenapa guru-guru kita, dalam beberapa tahun terakhir, bersuara lantang, malah untuk memperjuangkan kesejahteraannya mereka tak sungkan berunjuk rasa di DPR. Dan itu berhasil!

Pertanyaannya sekarang, apakah dengan tingkat kesejahteraan yang lebih baik itu akan menjamin lahirnya guru-guru berkualitas serta memiliki semangat tinggi untuk mendidik murid-muridnya? Atau lebih khususnya lagi, apakah guru-guru yang telah bersertifikat itu akan benar-benar terbukti sebagai guru profesional dan akan terus menjunjung tinggi profesionalismenya hingga mereka purnabhakti?

Tanpa perlu meragukan niat dan tekad mereka untuk menjadi guru yang baik dan profesional, semua pihak terutama masyarakat dan pemerintah tetap masih dituntut untuk ikut menciptakan suatu kondisi yang bisa menjaga iklim profesionalisme para guru. Sebab profesionalisme tidak akan berjalan baik hanya karena para guru mendapat tunjangan atau gaji besar. Profesionalisme juga dipengaruhi kondisi lingkungan kerja, baik berupa infrastruktur maupun hubungan antarsesama.

Infrastruktur atau sarana dan prasarana belajar yang memadai, ditambah adanya jalinan komunikasi yang baik di antara semua perangkat sekolah, diyakini dapat menjaga iklim profesionalisme tersebut. Bahkan sebetulnya iklim profesionalisme juga akan terjaga dengan baik jika para guru dihindarkan dari “tugas-tugas” yang tidak berkaitan langsung dengan profesinya, sekalipun tugas itu hanya berupa keterlibatannya dalam pengadaan alat peraga dan buku pelajaran, misalnya.

Sebab “tugas-tugas” semacam itu, selain bisa mengganggu konsentrasinya dalam mendidik, juga bisa mengurangi jatah waktunya untuk mengajar. Mereka seharusnya hanya sebagai pengguna manfaat dari buku dan alat kelengkapan belajar yang sampai ke sekolahnya. Sehingga tidak ada dalih bahwa dengan melibatkan sekolah (kepala dan guru), pengadaan buku dan alat-alat kelengkapan belajar akan menjadi lebih tepat sasaran. Itu hanya dalih, yang dalam kondisi tertentu justru menggoda guru untuk korupsi.

Lalu, pengawasan internal juga harus lebih inten, khususnya oleh pejabat pengawas dari instansi terkait. Mereka harus lebih sering terjun ke sekolah-sekolah untuk menilai sejauh mana profesionalisme para guru yang bersertifikat. Kalau ternyata guru yang bersertifikat itu, menurut penilaiannya, tidak mampu menunjukkan profesionalismenya, sang pengawas harus merekomendasikan agar guru itu di-diklat-kan kembali. Kalau upaya itu juga gagal, apa salahnya bila guru semacam itu diusulkan agar hak tunjangan profesinya dicabut..

Memang hal itu terdengar “jahat”. Tapi, bukankah pemerintah sendiri ketika melaksanakan “proyek” sertifikasi guru itu didasarkan atas tawar-menawar antara tuntutan peningkatan kesejahteraan guru disatu pihak, dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan di pihak lain? Sebab kalau memang pemerintah “hanya” ingin meningkatkan kesejahteraan guru, tentu harus semua guru, tanpa kecuali, mendapatkan tunjangan profesi sebesar 100% dari gaji pokoknya. Tapi yang dilakukan pemerintah adalah sertifikasi dengan syarat antara lain sarjana (S-1) dan telah lima tahun menjadi guru.

Makanya menjadi hal yang wajar kalau kemudian ada guru yang bersertifikat tapi tidak mampu menunjukan profesionalismenya, pemerintah menghapuskan hak tunjangan profesinya. Ini juga bagus untuk menjaga moral para guru yang benar-benar profesional.

0 komentar:

Posting Komentar