Lalu Semuanya Berubah (2)


Cerita Sebelumnya:
Jaja kembali ke desanya setelah menjalani hukuman di Nusakambangan. Tapi kondisi desanya sungguh membuat dia terpana. Desanya dilanda kemarau panjang. Sementara kenangan manis terhadap sang istri mulai muncul. Berikut kelanjutannya:

“BETULKAH, Ja, kita akan menikah?”

“Ya,” katanya seraya meraih kembali jemari gadis itu. “Aku akan membawamu ke Penghulu. Tapi tidak sekarang. Tunggu satu atau dua tahun lagi. Kita ‘kan perlu uang. Rumah tangga kita kelak butuh bekal.”

Pemuda itu lantas berbisik, “Aku menunggu kambing-kambing itu beranak-pinak. Bapakmu ‘kan punya kambing jantan. Kita kawinkan dengan kambing-kambing betinaku di sini. Setelah beranak dan besar-besar, aku akan menjualnya ke pasar. Uangnya untuk bayar Penghulu dan hajatan alakadarnya. Kau setuju?”

Di antara senyum manisnya, Mae mengangguk. Pemuda itu lalu mengajaknya berdiri. Kemudian melangkah ke arah kambing-kambing itu. Memperhatikan mereka dengan asyik. Angin bukit membelai sejoli itu.

Ah. Cuma kenangan.

Entah berapa lama Jaja berdiri sambil memandangi batu besar di bawah pohon jambu air itu. Batu yang pernah menjadi saksi janji setia. Masih setiakah Mae sekarang?



KEREMANGAN mulai menyergap pohon-pohon dan rumah-rumah di lembah itu. Tak lama kemudian adzan bergema. Jaja kembali melangkah menuruni bukit, diiringi nyanyian jangkrik, tonggeret, gangsir, dan binatang malam lain. Rumah pertama menyambutnya dengan kebisuan.

Jaja sempat berpapasan dengan satu dua orang penduduk desa. Namun dalam keremangan senja, Jaja tak dapat mengenali mereka. Begitu pula mereka, tampaknya tak mengenal Jaja.

“Ke masjid, Wak?” sapa Jaja pada seorang kakek. Jaja masih mengenalnya ketika lentera dari sebuah rumah menerangi wajah orang tua itu. Beliau Wak Duriat. Di desa itu Wak Duriat terbilang orang terpandang, dulu. Entah sekarang. Jaja sebetulnya kurang suka kepada kakek itu. Dia pelit dan tukang kawin. Penduduk lain pun akan sependapat dengan Jaja. Malah Jaja sendiri pernah bertarung memperebutkan Mae. Dan kakek itu kalah.

Sesaat Wak Duriat menatap Jaja. Lalu melengos. Pemuda itu cuma menarik napas. Ia terus melangkah. Sampai di ujung kampung, Jaja memandang ke sekeliling. Mencari tempat tinggal orang-orang yang amat dicintainya. Kemudian melangkah ke sebelah kanan.

Jaja menatap rumah itu. Sunyi. Tapi kerlap-kelip pelita yang mengintip lewat celah-celah bilik, menandakan rumah itu hidup. Tapi Jaja tak segera masuk. Ia mencoba meyakinkan bahwa rumah itu benar tempat tinggal orang tuanya. Di rumah itu pula, dulu, Jaja menitipkan Mae.

Samar-samar telinganya menangkap alunan suara wanita yang sedang mengaji Qur`an. Jaja mempertajam pendengarannya. Suara Emakkah? Seusai salat Magrib, Emak memang selalu mengaji Qur`an. Tapi itu bukan suara Emak! Jaja hapal benar suara Emak. Mungkinkah suara Emak berubah, sejalan perubahan tubuhnya yang tentu kian tua digerogoti usia?

Pintu pagar berderit ketika Jaja mendorongnya. Tapi langkah Jaja seperti mengawang. Jaja ragu rumah itu masih ditempati orang tuanya. Tapi kerinduan juga yang memaksa Jaja mengetuk pintu seraya berucap, “Assalamu`alaikum!”

Sesaat alunan ayat-ayat suci itu lenyap.

“Assalamu`alaikum!” ulang Jaja.

Sepi.

“Mak! Pak!”

Ada langkah mendekat, diiringi suara derit-derit lantai bambu. Lalu pintu itu terkuak. Sesosok tubuh wanita setengah baya berdiri di hadapan Jaja. Wajahnya yang masih bermukena tersiram sinar lentera yang tergantung di tiang tepas.

Benar! Itu bukan Emak!

Jaja clingak-clinguk. Mencoba meyakinkan kembali jangan-jangan salah alamat. Tapi Jaja yakin itu rumah Emak dan Bapak. Di situ dulu Jaja menitipkan istrinya. Di situ pula kali pertama ia mengenal dunia. Mengenal Emak dan Bapak.

“Ini rumahku. Emak dan Bapak akan mewariskannya kepadaku. Sebab aku anak tunggal. Begitu janji mereka. Tapi wanita ini siapa?” bisik Jaja sambil menatap wanita itu.

“Cari siapa, Nak?”

“Anu… betulkah ini rumah Pak Marna?”

“Pak Marna?” Wanita itu mengernyitkan keningnya.

“Iya. Pak Marna, Mak.”

“Maksudmu Sumarna, suaminya Ibu Juju?”

“Benar, Mak.”

“Oh itu! Ya memang, dulu. Tapi sekarang sudah pindah.”

“Pindah? Ke mana, Mak?”

“Nak siapa?” seraya menatap Jaja dari ujung rambut hingga telapak kaki. Lalu pandangnya hinggap pada tas plastik yang tersandang di pundak Jaja. Wanita itu mengerutkan keningnya.

“Saya puteranya, Mak.”

“Puteranya?” Wanita itu kembali mengernyitkan dahinya. Ia tidak tahu bahwa Sumarna dan Juju mempunyai anak. Waktu membeli rumah itu beberapa tahun silam, Sumarna dan Juju tak menyebut-nyebut soal anak lelaki. Lagi pula wanita itu bukan penduduk asli kampung itu.

“Tak apa, Mak, kalau mereka sudah pindah.” Jaja permisi tanpa menunggu kata-kata wanita itu lebih lanjut. Tapi di luar pagar, sambil menutup pintu pagar itu, Jaja sempat berpaling. Dilihatnya wanita itu masih berdiri di ambang pintu, tengah memperhatikan Jaja dengan sejuta tanya.

Benak Jaja sendiri penuh beragam tanya. Siapakah wanita itu? Ke mana Emak dan Bapak pergi? Mengapa? Pergi jugakah Nenek? Ikut-sertakah Mae? (Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar