Rustamaji Tewas Diinjak-injak di Kolam Pemancingan


SEBETULNYA Rustamaji bukan macam orang yang betah bersabar diri. Bahkan rekan-rekan kantornya mencap Rustamaji sebagai Si Tergesa-gesa. Segala macam persoalan selalu ingin diselesaikan segera. Bagi kepentingan perusahaan di mana ia bekerja, hal itu tentu saja menguntungkan. Sehingga wajar bila Rustamaji menjadi pegawai kepercayaan bos. Karirnya demikian pesat. Baru dua tahun ia bekerja di situ, sudah menduduki jabatan yang cukup menyenangkan, sebagai kepala bagian.

Tapi sudah tentu, karir yang maju pesat itu lumrah melahirkan ketidaksenangan rekan-rekannya, terutama yang telah bertahun-tahun bekerja di perusahaan itu,
namun pangkatnya belum juga naik. Hanya saja sampai sejauh ini, belum ada seorang pun rekan-rekannya yang iri hati itu bisa menjatuhkan Rustamaji sampai kedudukannya diturunkan, apalagi sampai di-pe-ha-ka. Rustamaji selalu bisa menangkap setiap kali ada rekannya yang memandang sinis atau bersikap acuh tak acuh. Ia akan menanyakan mengapa rekan itu bersikap demikian. Bila jawabannya tak puguh arah, Rustamaji terus mendesak, sampai akhirnya terbuka apa pangkal kesinisan itu.

Rustamaji tak pernah mau menunda suatu persoalan. Baik tugas kantor, maupun sesuatu yang bagi dirinya terasa tidak beres, seperti pandangan sinis rekan-rekannya itu, senantiasa secepatnya dituntaskan. Kalau belum beres, maka Rustamaji merasa seakan-akan dikejar hantu. Itu membuat dirinya tidak tenang, tidak enak makan, tidak nyenyak tidur; pokoknya segelanya terasa mengganggu. Malahan bila hal itu terpaksa terjadi, untuk tertawa saja Rustamaji rasanya tak bisa.

Dan begitulah suatu hari Rustamaji baru saja tiba di rumah jam lima sore – pulang dari kantor. Setelah senyum manis istrinya yang menyambut kedatangannya di ambang pintu, yang lalu ia pergi ke dapur untuk menyediakan minum buat suaminya itu, Rustamaji tiba-tiba menghentikan tangannya yang sedang membuka tali sepatu. Ada kegelisahan yang seketika muncul – suatu kegelisan yang khas bila nalurinya diingatkan bahwa ada suatu pekerjaan atau suatu masalah yang mesti segera diselesaikan. Rustamaji tercenung. Ia mengingat-ingat, kalau-kalau ada tugas kantor yang lupa diselesaikan tadi.

Rustamaji berdiri. Sepatu kanannya sudah dicopot. Sedangkan sepatu kirinya baru dibuka talinya. Ia mondar-mandir di sekitar ruangan tengah sambil menggigit-gigit kuku-kuku jarinya. Otaknya berpikir keras. Nalurinya mengatakan ada sesuatu yang mesti secepatnya dikerjakan. Dan tanpa pikir panjang Rustamaji mengenakan kembali sepatu kanannya. Dan tepat ketika istrinya muncul dari dapur membawa gelas minum, Rustamaji pamitan, “Aku ke kantor dulu, Bu. Ada yang ketinggalan!”

Rustamaji membiarkan istrinya terbengong-bengong, dan tidak memberikan kesempatan untuk mengucapkan sepatah kata pun. Rustamaji cepat ke luar dari rumah, disaksikan istrinya yang cuma bisa geleng-geleng kepala. Dan sikap semecam itu pula yang ia lakukan ketika Rustamaji pulang kembali kira-kira jam setengah tujuh, dengan wajah kusut dan lesu. Bahkan nampak gelisah sekali. Pertanyaan-pertanyaan istrinya, baik tentang alasan keberangkatannya kembali ke kantor, maupun ajakan-ajakan makan bersama, tak mendapat jawaban dari Rustamaji. Ia cuma tercenung yang diakhiri desahan panjang.

Di kantornya tadi memang tak ada sesuatu yang mesti diselesaikan. Semua tugasnya hari itu telah dikerjakan dengan baik. Bahkan ketika ia menanyakan kepada rekan-rekannya yang kerja lembur, kalau-kalau bos meninggalkan beberapa pesan untuknya, jawabannya adalah “tidak”. Tapi mengapa Rustamaji merasa ada sesuatu yang mesti dikerjakan segera? Ketika ia mencoba menanyakan kepada istrinya, kalau-kalau ia pernah menyimpan janji hari itu dengan seseorang atau dengan istrinya sendiri, jawabannya adalah “tidak” juga.

Dibukanya pula buku agendanya. “Semua sudah aku kerjakan,” gumamnya. Ia pun lalu tercenung lagi. Berpikir keras apa sebetulnya pangkal kegelisahannya itu. Catatan dalam map di dalam lemari bukunya, juga diobrak-abrik. Namun tetap tak ada sesuatu yang mesti dikerjakan.

“Besok saja pikirkan lagi, Kang. Mungkin sekarang lupa,” hibur istri tercintanya. “Mendingan kita makan. Atau Akang ingin mandi air hangat? Biar aku panaskan air…”

Tapi Rustamaji tak memberikan reaksi apa-apa. Malahan tersenyum pun, tidak. Kehadiran istrinya seakan-akan sebuah patung yang tak mesti diperhatikan benar. Sampai mereka berangkat tidur, sampai esok paginya, Rustamaji nampak masih gelisah.

Buku agenda dibuka dan dibuka kembali. Istrinya ditanya tentang suatu pesan yang mungkin lupa disampaikan kepadanya. Di kantor pun Rustramaji kembali menanyai rekan-rekannya, kalau-kalau mereka lupa menyampaikan pesan bos. Tapi jawabannya tetap “tidak”. Bos sendiri ketika ditanya barangkali kemarin ia menitipkan pesan kepada karyawannya, juga menjawab “tidak”.

Namun Rustamaji tetap merasa ada sesuatu yang mesti dikerjakan, selain tugas-tugasnya hari ini. Dan mungkin karena pikirannya yang sedang dikejar-kejar sesuatu yang tidak ia ketahui apa, maka kerjanya hari ini agak tersendat-sendat. Rustamaji sering kelihatan tercenung, kadang ngomong sendiri, kadang berjalan-jalan di sekitar ruang kerjanya. Mondar-mandir. Sehingga mengganggu karyawan lain yang satu ruangan.

Sepulang kantor Rustamaji kembali bertanya kepada istrinya tentang sesuatu yang mungkin ia lupa mengerjakannya. Dan pertanyaan itu diulanginya kembali setelah ia selesai mandi. Diulangnya lagi ketika ia akan makan. Pun ketika tubuhnya sudah terbaring di ranjang. Rustamaji kembali bertanya, “ Katakanlah terus-terang, Minah. Kau pasti mendapat pesan dari seseorang untukku, agar aku mengerjakan sesuatu. Tapi kau takut aku celaka atau bagaimana saja, hingga pesan itu kau genggam sendiri. Begitu kan?”

“Tidak! Sama sekali aku tak pernah mendapat pesan dua hari belakangan ini. Aku tidak berbohong, Kang. Bukankah seperti sering Akang katakan padaku bahwa berbohong itu pekerjaan yang amat buruk, lebih-lebih kepada suaminya sendiri?”

Rustamaji tak menjuawab. Ia hanya mendesah. Semalaman itu Rustamaji tak dapat memicingkan mata sekejap pun. Dan hal ini berlangsung sampai empat hari berikutnya. Orang-orang di kantor sudah muak dengan pertanyaan-pertanyaan Rustamaji yang itu-itu juga, tentang pesan bos yang mungkin lupa disampaikan. Bos pun pernah membentak, karena Rustamaji mengajukan pertanyaan yang sama seperti yang diajukannya pada hari-hari sebelumnya. Tak ketinggalan istrinya beberapa kali geleng-geleng kepala tanda ia bosan ditanya soal yang itu-itu juga. Tapi di sudut hatinya ia sebetulnya khawatir jangan-jangan suaminya sakit ingatan. Mungkin yang membuatnya sedikit bangga adalah bahwa selama enam hari enam malam ini secara fisik Rustamaji nampak sehat-sehat saja, sekalipun ia tidak pernah tidur.

Di kantornya bos pun merasa heran dengan sikap Rustamaji belakangan ini. Malahan nampak menjengkelkan. Tapi untuk mem-pe-ha-ka-kannya, bos merasa sayang. Sebab sekalipun menjengkelkan, tapi pekerjaannya masih dapat dikatakan baik, walau agak sedikit menurun. Itu pun tetap masih lebih baik dibandingkan kebanyakan pegawai di perusahaan tersebut. Karena itu bos lalu menghubungi istrinya. Ia menyuruh Minah agar membawa suaminya ke psikiater, dengan tanggungan biaya perusahaan.

Tak mudah memang mengajak Rustamaji menemui dokter jiwa. Terutama karena ia meresa dirinya sehat, tak kurang suatu apa. Tapi setelah didesak (“Demi kepentingan Akang, aku dan keluarga kita, Kang. Ayo ke psikiater!” Minah memberi alasan), akhirnya Rustamaji mau juga berangkat ke psikiater, dengan syarat: “Kau juga harus ikut aku ke ruang psikiater itu, Minah. Supaya apa yang disarankan dokter, kau juga mendengarnya.”

Saran-saran sang psikiater memang banyak dan mendetail. Namun yang dapat dimengerti Rustamaji cuma, “Anda harus banyak menenangkan pikiran. Jangan memperbesar masalah-masalah yang sebenarnya sepele. Kerjakanlah sesuatu apa adanya. Saya sarankan Anda untuk memancing. Percayalah di situ Anda akan mendapatkan ketenangan dan kesenangan.”

Sekalipun Rustamaji tidak senang memancing, terutama karena memancing butuh kesabaran, sedangkan dirinya bukan orang yang mudah bersabar diri. Toh demi kesehatan jiwa, Rustamaji membeli joran tiga buah berikut benang nilon dan kailnya satu set. Dan pada hari Minggu berangkatlah Rustamaji ke kolam pemancingan. Di situ sudah ada lima belas pemancing.

Dan betul Rustamaji bukan orang sabar. Setelah sekian lama pancingnya belum disentuh ikan-ikan, Rustamaji mulai kesal. Bahkan mulai dongkol ketika orang-orang di sisi kiri-kanannya, dengan riang gembira, berkali-kali menarik tali pancingnya yang disantap ikan. Mereka mendapat banyak, sedangkan Rustamaji belum satu pun. Umpan yang dipakainya memang cuma cacing-cacing. Sementara yang lain memakai umpan buatan yang hebat, yang tidak diketahui dengan pasti apa oleh Rustamaji.

Kesabaran Rustamaji yang cuma sedikit itu, akhirnya habis. Mula-mula ia melemparkan cacing-cacing dari kantung plastik ke tengah kolam. Orang-orang cuma melirik. Kemudian Rustamaji melemparkan joran-jorannya juga ke tengah kolam. Orang-orang menatapnya sejenak, lalu kembali ke pancingannya masing-masing. Berikutnya, Rustamaji clingak-clinguk ke sekitar tempat duduknya, mencari sesuatu. Ia menemukan beberapa batu besar, lalu melemparkannya ke tengah kolam, hingga menimbulkan bunyi “byaarrr”. Orang-orang terkejut. Mereka melotot. Tapi Rustamaji belum sadar. Ia kembali melemparkan batu yang lebih besar ke tengah kolam. Airnya muncrat ke orang-orang itu.

Rustamaji tetap belum menyadari perbuatannya. Ia juga tidak sadar bahwa seorang dari para pemancing itu, berdiri, melangkah mendekat kepadanya, lantas mendorong punggung Rustamaji ke kolam. Bahkan ia juga belum sadar ketika orang-orang lalu beramai-ramai menginjak-injak tubuh Rustamaji hingga kelelep. Rontaan-rontaan tubuhnya di dalam air tak dihiraukan pemancing-pemancing yang dongkol akibat ulah Rustamaji itu. Mereka teramat marah karena Rustamaji mengganggu kesenangannya. Mereka baru puas ketika tubuh Rustamaji di dalam air sudah tidak meronta-ronta lagi. Tapi kepuasan itu seketika berubah, mereka jadi terkejut waktu melihat tubuh Rustamaji mengambang dan sudah tidak bernapas lagi.

Sementara itu pada saat yang sama, di rumahnya, istri Rustamaji menemukan sepucuk surat di bawah kursi. Kebetulan waktu itu Minah sedang mengepel lantai. Sampul surat itu sudah agak lembab. Ketika cap posnya diamati, ternyata bertanggal tujuh hari lalu, tepat waktu kalipertama Rustamaji gelisah dan merasa ada sesuatu yang mesti dikerjakannya segera.

Dan Minah lebih terkejut lagi manakala surat itu dibaca dan isinya menunjukkan pesan agar Rustamaji datang ke kantor TV-XYZ secepatnya, paling lambat tanggal 10 pada jam 17.00, untuk seleksi peserta Kuis Suami Istri (Sebulan yang lalu Rustamaji memang mengajukan surat permohonan kepada TV-XYZ untuk mengikuti Kuis Suami Istri. Ia dan istrinya amat tertarik dengan acara televisi itu).

Dengan hati deg-degan antara harapan dan cemas, istri Rustamji berlari ke kalender yang tergantung di dinding. Ia melihat tanggal hari ini, tanggal 10. Dan kebetulan saat itu jam dinding berdentang sebelas kali. “Masih ada waktu untuk bersiap-siap. Aku harus segera menjemput Rustamaji. Kalau tidak ia pasti pulang sore,” gumamnya.

Dan tanpa pikir panjang lagi, dengan membiarkan kursi-kursi berantakan, berikut lap dan ember di tengah rumah, istri Rustamaji segera masuk ke kamarnya. Ganti pakaian dan berbedak akadarnya. Lalu berangkat ke tempat pemancingan suaminya yang memang ia ketahui. Sementara pikiranhya sudah ke TV-XYZ, dan ia dan suaminya muncul di layar televisi. “Suamiku selalu betul. Ia selalu tahu kalau ada sesuatu yang mesti dilakukannya segera. Panggilan sseleksi ini pula tentunya yang membuat ia gelisah. Hebat pikirannya begitu tajam. Semakin cinta saja aku kepadanya,” pikir istri Rustami sepanjang perjalanan ke kolam pemancingan.

(Catatan: Cerpen ini pernah dimuat di Harian Umum Bandung Pos sekitar tahun 90-an awal. Saat itu saya menggunakan nama A.Ruslih Rasyid --- sebuah nama yang saya gunakan untuk karya tulis saya baik berupa fiksi maupun opini yang pernah dimuat di sejumlah media cetak).

0 komentar:

Posting Komentar