Lalu Semuanya Berubah (3)


DALAM cerita sebelumnya dikisahkan perjalanan kepulangan Jaja ke desa tempat kelahirannya, setelah hampir sembilan tahun menjalani hukuman di Nusakambangan. Dia terperangah menyaksikan perubahan yang terjadi di tanah airnya yang kecil itu. Termasuk kepergian orang-orang yang amat dicintainya. Semua itu membangunkan kenangannya, dan itu terasa memilukan. Berikut kelanjutan novel “Lalu Semuanya Berubah”:

JAJA menjauh dari rumah yang pernah menyimpan sebagian besar masa kanak-kanaknya itu. Ia melangkah ke ujung kampung sebelah selatan. Di situ ada sebuah rumah, yang juga sama berartinya dalam hidup Jaja. Sama-sama menyimpan masa kanak-kanaknya. Di rumah itu ada seorang Nenek tempat Jaja bermanja-manja.

Ya. Kendati Jaja lahir dari rahim Emak lantaran Bapak, tapi ia lebih dekat kepada Nenek. Lebih sering tidur di rumah Nenek. Sebab Nenek sangat menyayangi Jaja. Bahkan Jaja merasa Nenek terlalu memanjakannya. Segala keinginan Jaja tak pernah ditolak Nenek. Sedangkan Bapak, terlalu keras. Jaja benci kalau Bapak sudah memarahinya. Padahal kesalahannya sering tak seberapa. Misalnya, Jaja lupa mencari rumput untuk kambing-kambingnya. Tapi Bapak tahu, Jaja bukan lupa. Jaja sengaja tidak mencari rumput. Alasannya, kambing-kambing itu telah Jaja gembalakan. Mereka telah kenyang. Mereka tak perlu makan lagi. Jadi Jaja merasa tidak perlu membawa rumput ke kandang.

Tapi pendapat Bapak lain. Katanya, meskipun kambing-kambng itu sudah merumput sekenyangnya, namun mereka masih harus dikasih makan. Malam pun mulut mereka masih harus mengunyah.

“Kau dengar lengkingan mereka? Itu pertanda mereka lapar lagi. Akan begitu seterusnya sebelum mereka dikasih rumput,” ujar Bapak waktu itu. Sebelumnya segenggam sapu lidi mendarat di kaki Jaja. Sebab Bapak menganggap Jaja terlalu banyak bermain-main, hingga lalai pada kewajibannya mengembalakan kambing dan menyabit rumput.

Bila Bapak sudah begitu, Jaja cuma bisa menangis. Dan Jaja tidak mungkin melawan Bapak. Jaja selalu ingat nasihat guru bahwa melawan orang tua itu, kualat. Dosa.
Mungkin begitu cara Bapak mendidik anaknya. Keras. Sekeras perjuangannya menghidupi keluarga. Emak pun tak dapat berbuat apa-apa bila Bapak sedang memarahi Jaja. Paling-paling kalau marah Bapak sudah reda, Emak baru menghampiri Jaja. Lalu membelai kepalanya dengan penuh cinta. Menasihati Jaja dengan suara lembut. Sampai Jaja tak ingat apa-apa lagi karena tertidur di pangkuan Emak.

Bagi Jaja, Emak adalah contoh wanita sejati. Ada kedamaian kalau Jaja berdekat-dekatan. Ia merasa terlindungi. Dan ucapan-ucapan Emak mampu meredakan kekesalan Jaja kepada Bapak. Toh begitu, bila Jaja terjaga tengah malam dan di sampingnya Emak tak ada, ia kembali benci kepada Bapak. Tentu Emak dan Bapak tidur di kamar lain, membiarkan Jaja tidur sendiri.

Pernah beberapa kali Jaja merajuk ingin tidur bersama mereka. Tapi Bapak bilang, “Kau harus berani tidur sendiri. Anak Bapak tidak boleh jadi penakut. Bukankah kau ingin jadi jawara?”

Biasanya ucapan Bapak seperti itu dibarengi belaian tangannya di punggung Jaja. Biasanya pula untuk sementara Jaja memahaminya. Jaja mau tidur sendiri. Tapi lama-lama Jaja takut tidur sendiri. Sebab Jaja sering mimpi yang aneh-aneh. Karena itulah sejak usia empat sampai sembilan tahun, Jaja sering tidur di rumah Nenek.

Masih hidupkah Nenek sekarang?

Rumah Nenek memang kecil. Sejak dulu, sejak Jaja mulai mengenal orang-orang selain Emak dan Bapak, rumah di ujung kampung itu, tetap demikian: di samping halaman sebelah timur terdapat pohon jengkol, yang hingga kini tetap kokoh. Daun-daunnya mencium genting. Tapi tampaknya tak serimbun dulu. Tiap pagi, sebelum pergi ke sawah, atau ke mana saja, Nenek selalu membersihkan daun-daun jengkol yang berserakan di halaman. Pekerjaan itu merupakan yang pertama dilakukan Nenek, sambil menanak nasi di dapur.

Tepas, yang merupakan bagian teras rumah, hanya berukuran satu kali dua meter. Di situ, kalau sore tiba, Jaja dapat melepas pandang ke sawah-sawah yang menyimpan harapan semua warga desa. Dari situ pula Jaja dapat melihat sawah Bapak yang terletak di tengah-tengah lembah.

Maksudnya, Jaja bisa menemukan letak sawah Bapak, berpatokan pada saung kecil yang atapnya terbuat dari ijuk. Mungkin tanpa saung itu Jaja sulit menemukan sawah Bapak. Sebab ukuran dan bentuk petak-petaknya hampir sama. Sukar membedakan sawah satu dengan lainnya. Dari kejauhan sawah-sawah itu membentuk hamparan hijau, kuning atau coklat, tergantung keadaan sawah saat itu. Pada musim menyiang, umpamanya, sawah-sawah itu tampak seperti permadani hijau yang lembut.

Kini tepas itu tanpa perubahan. Biliknya pun belum diganti. Karena itu Jaja merasa yakin Nenek masih tinggal di situ. Jaja bisa merasakan bahwa pagar kibeling di samping kiri rumah itu dirawat tangan Nenek. Jaja seolah mendengar bisikan pohon pepaya di samping kanannya bahwa dirinya ditanam oleh Nenek. Jaja dapat membaui bahwa halaman itu penuh dengan jejak kaki Nenek.

Jaja naik ke tepas. Perlahan mengetuk pintu papan. Suara lincak berderit tak lama kemudian. Jaja mendengar suara selot pintu ditarik. Sebuah kepala kecil nongol dari dalam. Lampu minyak samar-samar menerangi wajah mungil itu. Ia memandangi Jaja tak berkedip.

Kembali Jaja ragu, apakah rumah ini pun telah ditinggalkan pemiliknya. Pindah pulakah Nenek? Sesaat Jaja termangu. Tapi kemudian katanya seramah mungkin, “Nenek ada, Nak?”

Gadis cilik itu masih memandang Jaja. Tangannya siap menutup kembali pintu itu. Namun Jaja cepat menahannya seraya tersenyum. Jaja ingin tampak ramah. Pundak gadis cilik itu pun disentuhnya dengan lembut. Jaja ingin menunjukkan bahwa kedatangannya ke rumah itu bukan untuk mencelakakan Nenek atau dirinya.

“Nenek ada, Nak?”

“Nek, ada tamu!” Sambil memalingkan kepalanya ke dalam.

“Suruh masuk, Nah. Nenek salat Isya dulu.”

Suara Nenek. Jaja yakin itu suara Nenek. Jaja masih kenal betul suara Nenek. Sifatnya pun masih seperti dulu: Nenek selalu mempersilakan tamunya masuk, sekalipun itu orang asing. Nenek tidak pernah curiga, sekalipun tamu itu datang tengah malam. Mungkin karena Nenek merasa tak ada barang berharga yang pantas dibawa maling. Atau memang Nenek contoh keramahan masyarakat desa?

Gadis cilik itu membuka pintu lebar-lebar. Ia sendiri menyisih ke samping kanan. Tanpa kata. Tapi matanya tetap mengawasi Jaja. Boleh jadi ia sedang berpikir, mengingat satu demi satu penduduk desa yang pernah dikenalnya. Atau orang-orang dari kampung-kampung lain yang pernah dilihatnya. Namun rupanya terlalu banyak nama yang mesti diingat sehingga yang muncul di mulutnya hanya pertanyaan pendek.
“Perlu apa sama Nenek?”

Jaja tersenyum. Mungkin itulah senyum pertama yang lahir dari seluruh jiwanya. Senyum yang benar-benar tulus. Jaja terkesan oleh pertanyaan itu. Jaja menangkap makna, betapa bocah perempuan itu demikian khawatir atas keselamatan Nenek.

Jaja duduk bersila di atas tikar pandan. Di hadapannya lampu minyak menyala. Tampak tak jauh dari lampu itu, tiga buah buku berserakan. Yang satu terbuka. Tulisan-tulisan di halaman buku itu mengingatkan Jaja saat masih duduk di kelas dua sekolah dasar. Tulisan yang lebih merupakan cakar ayam, sukar dimengerti orang lain. Dua buku lagi tertutup.

Gadis cilik itu meraih buku-buku tersebut. Yang tadi terbuka disimpannya paling bawah. Seperti halnya Jaja dulu. Malu kalau tulisan cakar ayam dilihat orang. Hanya Bu Guru yang paling berhak membuka dan membaca tulisan seperti itu. Itu pun terpaksa. Sebab Jaja butuh nilai untuk disampaikan kepada Emak dan Bapak. Kalau dapat nilai sembilan atau sepuluh, Jaja cepat memperlihatkannya kepada mereka. Tapi kalau dapat lima atau kurang, Jaja tak bicara apa-apa. Bukunya pun tak diperlihatkan.

Bila Emak dan Bapak bertanya, Jaja cukup menjawab, belum diperiksa Bu Guru. Bila mereka memaksa ingin melihat hasil belajarnya, Jaja bergegas meninggalkan rumah. Pulangnya dipaksa menghapal.

“Teruskan saja, Nak! Sedang menghapal `kan?” ujar Jaja.

Gadis cilik itu membisu. Bahkan kemudian ia memindahkan lampu minyak itu pada paku di dinding kayu dekat pintu kamar. Sekarang cahaya lampu lebih terang menyirami wajahnya.

Giliran Jaja yang lekat-lekat menatap anak itu. Wajahnya bulat telur. Rambutnya yang lurus diikat ke belakang. Tanda-tanda cantik pada wajahnya mulai terlihat. Jaja merasa menemukan seraut wajah yang pernah dikenalnya; seraut wajah yang kini amat dirindukannya.

Jaja tercenung. Di wajah bocah itu ada garis-garis yang mirip dengan Mae. Mungkinkan ia adik Mae? Seingat Jaja, istrinya itu anak bontot. Bila benar anak itu ada hubungan darah, boleh jadi ia puteri saudaranya. Tapi dari saudara yang mana? Kakak Mae ada tiga: dua perempuan, satu laki-laki. Semuanya tidak tinggal di desa ini.

“Namamu siapa, Nak?”

“Inah,” jawabnya sambil menatap Jaja.

“Sudah lama tinggal di sini?”

Ia tak menjawab. Mungkin karena ia tidak mengerti pertanyaan semacam itu. Atau mungkin saja ada ketidaksenangan atas kunjungan Jaja malam-malam, dan ia menunjukkannya lewat diam.

“Nah, air minum untuk tamu mana?” Suara Nenek dari ambang pintu kamar. Lalu melangkah ke ruang tengah setelah membetulkan kain yang melilit pingganggnya.

Jaja menatap Nenek lekat-lekat. Ia bergumam mengucap syukur. Nenek ternyata masih hidup. Cuma tubuhnya yang tampak kian bongkok. Kelopak matanya kian cekung. Rambutnya kian memutih. Tapi Nenek tampak sehat diusianya yang kian renta.

Sementara anak itu, tanpa disuruh dua kali, melangkah ke dapur, dan kembali dengan segelas air. Ia meletakkan gelas itu di hadapan Jaja, kemudian beranjak ke kamar sebelah. Sesaat saja sudah lenyap di balik gorden kumal yang warna kembangnya sudah memudar. Tapi sekali-sekali gorden itu tersibakan jemari kecil. Jaja tahu gadis cilik itu mengintipnya dari sana.

“Nek,” ujar Jaja ketika perempuan tua itu sudah berada di hadapannya.

Nenek tampak terkejut.

Lampu minyak yang menempel di dinding, memperjelas keterkejutan Nenek. Mungkin Nenek masih mengenali suara Jaja. Tampak mata tuanya seperti sedang mencoba mengumpulkan potongan-potongan bayangan Jaja dimasa silam.

“Nek, aku Jaja!”

Perempuan tua itu bergumam. Entah apa.

“Nek, aku Jaja, cucumu!”

Bibir Nenek bergetar. Pelan sekali Jaja mendengar Nenek mengucapkan ayat-ayat al-Qur`an. Sepertinya perempuan itu sedang membaca ayat Qursi.

“Jaja, Nek! Tak dengarkah? Aku Jaja, Nek!”

“Jaja? Mustahil! Mustahil!”

“Nek!”

“Mustahil! Jaja sudah tiada! Cucuku sudah meninggal di Nusakambangan!” Kembali Jaja mendengar Nenek membaca ayat Qursi.

Jaja tercengang mendengar ucapan Nenek yang terakhir itu. Tapi tanpa banyak berpikir, Jaja memeluk perempuan tua itu. Jaja menangis. Kalimat terakhir Nenek serasa menghujam jantungnya. Lalu katanya dengan terbata-bata, “Aku Jaja, Nek. Jaja cucumu satu-satunya!”

Perempuan tua itu menatap tajam.

“Betulkah ini?” Matanya mengerjap-ngerjap.

“Benar, Nek! Aku Jaja!”

“Gusti! Jaja! Jaja!” Nenek memeluk Jaja erat-erat. Kata-kata yang keluar dari mulut keriputnya kemudian, tak begitu jelas. Jaja hanya mendengar Nenek beberapa kali berucap syukur kepada Alloh. Lalu terasa ubun-ubunnya dijatuhi titik-titik air hangat. Nenek menangis.

Lama mereka berangkulan.

“Kapan pulang, Ja?”

“Tadi sore, Nek.”

“Langsung ke sini?”

Jaja menggelengkan kepala. Cukup bagi Nenek untuk memahami maksudnya. Setidaknya Jaja berharap demikian.

“Ya, mereka sudah tidak di sini. Emak dan Bapakmu pergi ke tempat jauh. Entah apa namanya,” kata Nenek sambil menyeka kelopak matanya.

“Mae juga?”

Nenek menatap Jaja.

“Mae bagaimana, Nek. Pergi juga?”

Nenek menarik napas panjang.

“Minum dulu, Ja. Kau tentu cape.”

Jaja paham apa yang dimaksud Nenek. Ia mencoba mengalihkan pembicaraan. Nenek tampaknya tak ingin membuat Jaja lebih terkejut dengan cerita-cerita selanjutnya.
Jaja sendiri tampak tercenung. Ada rasa perih di hatinya. Jaja memang tak pernah membayangkan bahwa kepulangannya mendapat sambutan seperti itu. Kepulangannya ternyata tidak seperti yang selama ini diimpikan. Alam, orang-orang tercinta; apa gerangan yang telah terjadi?

Terlalu lamakah aku meninggalkan mereka? Begitu gampangkah waktu delapan atau sembilan tahun menjungkir-balikkan tanah airku yang kecil ini? Teramat cepat perubahan itu terjadi. Dan Jaja tampaknya belum siap menghadapi hal itu. Mungkin karena kegetiran penantiannya di pulau itu pun, belum cukup terobati hanya karena ia kini telah bebas.

Hukuman apa pula, kini, di tanah kelahiranku?

Jaja merasa dadanya sesak. (Bersambung)

2 komentar:

mas doyok mengatakan...

kalau lihat novel asanya ingin berhenti
pecinta sastar dan juga blogging :D

salam kenal mas

Anonim mengatakan...

Trims atas komentarnya mas. Salam kenal juga.

Posting Komentar