Cara Sederhana Menulis Sebuah Feature

Catatan:
Tulisan ini merupakan “materi pengantar tentang menulis feature” yang saya sampaikan dalam kegiatan Pendidikan dan Latihan (Diklat) Jurnalistik yang diselenggarakan Skm.Metro Puncak (sebuah koran mingguan yang terbit di Cianjur, Jawa Barat) bekerja sama dengan PWI Perwakilan setempat. Diklat berlangsung di sebuah hotel di Cipanas, Puncak, Rabu (27/10 lalu, dan diikuti sekitar 70 wartawan mingguan tersebut.
Mungkin akan ada manfaatnya juga bagi orang lain bila naskah diklat yang amat sederhana itu, diterbitkan di blog ini, setelah sebelumnya diedit di sana-sini, karena selain naskah aslinya relatif panjang, juga disesuaikan dengan segmen pembaca yang lebih umum, bukan hanya wartawan. Sebab banyak media cetak, baik koran maupun majalah, yang mau menerima kiriman tulisan dari luar (bukan dari wartawan media bersangkutan), dan tulisan itu biasanya berbentuk opini dan feature. Begitu pun webside dan blog berita, di situ banyak juga tampil tulisan feature yang merupakan kiriman orang luar.


***

Para ahli jurnalistik di tanah air membagi karya jurnalistik ke dalam beberapa jenis. Antara lain straight news, spot news, soft news, in-dept reporting, investigative reporting serta feature news dan feature. Tapi secara garis besar karya jurnlistik dibagi dua, yakni straight news dan feature. Sebab perbedaan itu dilihat dari cara penyajiannya saja. In-dept reporting dan investigative reporting misalnya, bisa disajikan baik dalam bentuk straight news, maupun feature.

Lalu, apa bedanya straight news dan feature? Secara umum, barangkali, perbedaan straight news dan feature dapat kita simak dari pendapat wartawan senior Asep Setiawan dalam blognya,Journalist`Aadventure

“Jika dalam menyusun laporan langsung yang sifatnya lugas, prinsip 5W-1H menonjol, maka dalam laporan bersifat feature kaidah itu tidak selalu pas,” tulis Solihin dalam blog-nya. “Feature berbeda dengan berita biasa. Di dalam penulisan feature faktor manusiawi lebih menonjol dibandingkan berita yang sifatnya lugas. Berita yang sudah terlambat tetapi layak diangkat lagi, misalnya tingkat pembunuhan di Jakarta, bisa menjadi feature menarik akhir pekan misalnya berdasarkan sedikit riset.”

Perbedaan itu juga dapat dilihat dari “anatominya”. Straight news atau berita/laporan langsung yang lugas, seperti sering kita dengar, berbentuk piramid terbalik. Materi berita yang penting dan paling penting diletakkan di atas (lead), yang kurang penting berada pada alinea-alinea berikutnya. Sehingga kalau redaksi mengedit naskah straight news, misalnya dengan membuang beberapa alinea dari bawah, maka substansi beritanya tetap utuh.

Berbeda dengan feature; bentuknya bukan piramid terbalik, tapi sebuah balok. Ini artinya, mulai dari alinea pertama (lead) sampai alinea terakhir, sama-sama penting. Bahkan tak jarang, kalimat-kalimat yang menyentuh perasaan diletakkan dalam alinea terakhir sebagai penutup tulisan, dengan harapan pembaca akan terus mengenang kejadian yang disajikan dalam feature tersebut. Inilah salah satu alasan kenapa tulisan berbentuk feature umumnya lebih panjang ketimbang tulisan berita biasa.

Kalau begitu, apa pengertian feature? Hingga saat ini sebetulnya belum ada definisi tunggal menyangkut pengertian feature sebagai sebuah karya jurnalitik. Ada yang menyebut feature sebagai berita yang “berwarna-warni”. Mungkin karena ditulis dengan gaya sastra, dan lekat dengan opini penulisnya.

Ada juga yang menyebut feature sebagai karangan khas yang berisi human interest. Tapi hal ini mengesankan feature hanya menyajikan materi seputar kejadian-kejadian yang menimpa manusia. Padahal, penggundulan hutan, misalnya, bisa ditulis dalam bentuk feature. Kepariwisataan dan profil sebuah perusahaan juga umumnya ditulis dalam bentuk feature. Ini artinya fokus tulisan bentuk feature tidak hanya menyangkut orang atau masyarakat saja. Tapi juga bisa menyangkut hal lain sepanjang memang memiliki daya tarik.

Karena itu, bagi saya, feature merupakan sebuah karya jurnalistik yang disajikan secara bebas, mendalam dan menyentuh dengan tidak mengabaikan kaidah-kaidah jurnalistik. Ini penting karena tanpa koridor kaidah-kaidah jurnalistik, yang terkenal dengan rumus 5W-1H (what, where, when, who, why dan how) feature bukan lagi karya jurnalistik, tapi sebuah dongeng alias cerita fiktif. Hanya saja penempatan 5W-1H dalam sebuah feature bisa menyebar di beberapa alinea, tidak seperti dalam sebuah straight news yang dalam lead-nya saja sudah terangkum kaidah 5W-1H tersebut.

Kita ambil contoh kecelakaan lalu-lintas, dengan materi perumpamaan yakni bis Burung Pipit jurusan Jakarta-Bandung terjun ke jurang di tikungan maut Tapal Kuda, Cugenang, Cianjur. Penumpangnya berjumlah 26 orang, 25 orang tewas seketika, seorang lagi, bayi berumur 8 bulan, selamat. Kejadiannya, Selasa malam, 24 Januari. Kecelakaan diduga akibat sopir bis ngantuk.

Kalau kecelakaan itu ditulis untuk sebuah straight news, maka bentuknya kira-kira seperti ini: Bis Burung Pipit jurusan Jakarta-Bandung yang membawa 26 penumpang, terjun bebas ke sebuah jurang di betulan tikungan maut Tapal Kuda, Cugenang, Cianjur, Selasa (24/1) malam. Semua penumpangnya tewas seketika, kecuali seorang bayi berumur 8 bulan. Kecelakaan itu diduga akibat sopir bis ngantuk.

Kalau kecelakaan itu ditulis dalam bentuk feature, setelah sebelumnya kita mencari materi tambahan dari rumah sakit, misalnya, maka kira-kira leadnya seperti ini: Bayi berusia sekitar 8 bulan itu tak henti menangis. Sebentar-sebantar menekankan mulutnya ke dada perawat yang sedang memangkunya. Dia sepertinya tengah mencari-cari puting susu sang bunda yang tewas dalam kecelakaan maut di Tapal Kuda, Cugenang, Cianjur, Selasa kemarin.

Itu kalau feature yang kita buat angel-nya sisi kemanusian alias human interest. Tapi kecelakaan maut di Tapal Kuda tersebut bisa juga dibuat feature dengan substansi materi kecelakaan-kecelakaan yang selama ini terjadi di Tapal Kuda. Sebab kalau suatu tikungan sudah disebut tikungan maut, itu berarti sudah banyak kecelakaan yang terjadi di tempat itu.

Maka setelah kita mengumpulkan bahan-bahan berupa peristiwa kecelakaan di Tapal Kuda dalam kurun waktu satu tahun misalnya, featurenya kira-kira seperti ini: Tapal Kuda, Cugenang, Cianjur kembali menelan korban jiwa. Seakan-akan daftar kecelakaan lalu-lintas di tikungan maut itu, belum akan berakhir. Catatan terbaru, kecelakaan bis Burung Pipit, Selasa lalu, yang menewaskan semua penumpangnya, kecuali bayi berusia sekitar 8 bulan, yang kini tengah dalam perawatan di Rumah Sakit Cianjur.

Dari contoh tiga tulisan itu, kita bisa melihat kaidah-kaidah jurnalistiknya. Contoh pertama, yang merupakan straight news, sudah mengandung kaidah 5W-1H (“apa”, “siapa”, “mengapa”, “kapan”, “di mana” dan “bagaimana”) dalam alinea pertama alias lead-nya. Sedangkan pada contoh kedua dan ketiga, kaidah 5W-1H itu belum terlihat. Kaidah itu baru akan kelihatan utuh setelah feature tersebut selesai ditulis.

Namun tentu saja, bahan-bahan untuk tulisan feature, tidak hanya kecelakaan lalu-lintas atau peristiwa/kejadian besar seperti bencana alam, kebakaran hebat, pembunuhan dan semacamnya. Sesuatu yang bukan kejadian pun, yang berada di sekitar kita, bisa dijadikan bahan tulisan feature. Contohnya, kepariwisataan, profil band, profil artis, profil pejabat, kesenian tradisional, tukang becak dan pedagang cilok yang mampu menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi, pengrajin sangkar burung, pembuat pupuk kompos atau organik, kehidupan anak jalanan, kondisi kependidikan di suatu daerah dan sebagainya. Yang penting, materi yang akan kita tulis, menarik perhatian khalayak.

Yang lebih penting lagi, apa yang akan kita tulis, lebih dulu kita harus mengumpulkan bahan-bahannya selengkap mungkin. Misalnya kita mau menulis feature tentang sebuah obyek wisata alam yang belum dikenal masyarakat luas. Selain harus datang ke lokasi wisatanya seraya melihat-melihat (dan mencatat) segala hal yang ada di situ, juga perlu mencari bahan tambahan. Misalnya dengan cara mewawancarai pengelola obyek wisata itu, atau kalau memungkinkan minta pendapat pejabat dari instansi terkait.

Atau barangkali kita ingin menulis feature tentang seorang tukang becak yang berhasil menyekolahkan anak-anaknya hingga ke perguruan tinggi? Kalau itu pilihannya, maka tentu saja kita harus ngobrol dengan tukang becak tersebut, datang ke rumahnya, melihat kondisi rumah tangganya, menemui anaknya yang berhasil menjadi sarjana, dan melihat langsung bagaimana si tukang becak itu saat bekerja.

Barulah setelah itu kita memilih angel (sudut pandang) untuk ditulis dalam alenea pertama atau lead. Isinya harus menarik. Karena lead bisa menentukan seorang pembaca apakah ia akan terus membaca feature yang kita buat hingga tuntas, atau cukup hanya lead-nya saja. Makanya tak heran bila ahli-ahli jurnalistik, membagi lead ini ke dalam beberapa jenis. Antara lain lead desktiptif (penggambaran), deduktif (kesimpulan) dan induktif (penjelasan). Tapi kita untuk sementara agaknya perlu “menunda” dulu berbagai jenis lead. Karena yang penting, lead yang kita buat, menurut ukuran kita, menarik perhatian masyarakat. Dan lead yang kita buat, boleh jadi akan berbeda dengan lead yang dibuat penulis lain, sekalipun bahan tulisannya sama, misalnya tentang kepariwisataan atau profil tukang becak tersebut.

Lalu bagaimana menuliskannya? Bagi yang belum terbiasa menulis feature memang diakui tidak mudah, sekalipun bahan-bahan yang kita siapkan telah lengkap. Namun ada petunjuk dari para ahli jurnalistik, bahwa untuk memulai menulis sebuah feature kita sebaiknya membuat sebuah out-line atau kerangka tulisan. Kerangka ini berisi bahan-bahan yang akan kita sajikan secara per-alinea, atau per-dua alinea, atau mungkin per-tiga alinea dan seterusnya.

Misalnya kita ingin menulis profil seorang tukang becak yang berhasil menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi. Alinea pertama, kita isi dengan penggambaran si tukang becak yang tengah menyeka keringatnya setelah mengantarkan seorang penumpang. Alinea kedua, pernyataan-pernyataan si tukang becak yang merasa bersyukur bisa menyekolahkan anaknya sekalipun hanya menjadi tukang becak. Alinea ketiga, kiat-kiat si tukang becak bagaimana dia bisa menyisihkan penghasilannya yang sedikit untuk biaya sekolah. Alinea keempat dan seterusnya, (kalau ada) hasil wawancara kita dengan si anak tukang becak yang berhasil itu.

Tentu saja, penggambaran antara satu alinea dengan alinea berikutnya harus nyambung. Kalau tidak, maka feature yang kita buat akan terkesan menjadi sebuah feature yang berisi beberapa feature yang tidak tuntas.

Itulah barangkali cara sederhana menulis sebuah feature dengan panduan out-line. Kalau dengan itu saja belum bisa, maka seran terbaik adalah rajin-rajinlah membaca karya feature orang lain yang sudah ada di surat kabar, majalah, webside, blog dan sebagainya. Selain akan mendorong kita untuk “meniru” – dalam pengetian baik, tentu saja --, juga akan menambah wawasan dan pengetahuan kita.

0 komentar:

Posting Komentar