Pentingnya Sebuah Dokumen!

TEMAN saya, yang sekaligus juga kakak dan guru, sempat kelabakan ketika dia mencari-cari dokumen foto untuk mempercantik buku yang sedang disusunnya: sejarah singkat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

Di kantor sekretariat organisasi profesi itu, Jalan Siliwangi, Kota Cianjur, dia, Ruddy Asyarie, “membongkar” laci dan lemari arsif, dan berharap menemukan foto-foto lama kegiatan PWI. Tapi tak ada dokumentasi yang diperlukannya.



Dia pun mencoba meminta kepada rekan-rekan seprofesinya, yang dulu sama-sama atau paling tidak hampir berbarengan waktunya dalam berkiprah di dunia jurnalistik. “Lumayan,” katanya kepada saya sambil memperlihatkan beberapa lembar foto lama yang diperolehnya dari seorang wartawan senior.

“Sekalipun foto-foto ini bukan bentuk dokumentasi kelembagaan, tapi kegiatan wartawan anggota PWI Cianjur yang terekam di foto ini bisa menjadi bukti otentik adanya kiprah kewartawanan dalam 40 tahun terakhir,” kata Kang Rudi, begitu biasa saya menyapanya.

Akhirnya, catatan sejarah singkat tentang PWI Cianjur yang dia beri judul “40 Tahun Persatuan Wartawan Indonesia Kabupaten Cianjur, Jejak Langkah yang Tak Pernah Lelah” itu selesai juga disusun. “Buku ini jauh dari sempurna. Tapi paling tidak, buku ini bisa menjadi reperensi tambahan bagi masyarakat Cianjur, khususnya lagi bagi para wartawannya sendiri, tentang kiprah wartawan dan organisasinya di tingkat lokal,” ujar Kang Rudi.

Itulah barangkali contoh kecil betapa pentingnya sebuah dokumen. Bukunya Kang Rudi itu misalnya, mungkin takkan terlalu menarik bila di dalamnya tak banyak ditampilkan foto-foto lama.

Bahkan sangat mungkin buku itu sendiri takkan pernah ada seandainya Kang Rudi selama ini tidak pernah menyimpan dokumen, baik berupa foto, catatan lepas maupun berupa buku harian, tentang aktifitasnya sebagai wartawan dan anggota PWI. Sebab penulisan sejarah, sekecil apapun, butuh bukti-bukti dokumen otentik. Tanpa itu bukan sejarah namanya, tapi sebuah dongeng.

Kita pun sering menemukan buku popular tentang biografi seorang tokoh, atau penggalan suatu kejadian penting yang diangkat dari catatan harian. Sebut saja catatan harian Soe Hok Gie, yang pada 1983 dibukukan dengan judul Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demontran. Malah sutradara Riri Riza pada 2005 memfilmkannya dengan judul Gie dan Nicholas Saputra berperan sebagai Soe Hok Gie.

Catatan harian seorang aktivis tahun 60-an itu menjadi salah satu cacatan sejarah negeri ini menyangkut kejadian penting era 60-an.

Kita memang terkadang malas untuk mencatat kejadian-kejadian di sekitar kita, baik menyangkut kita sendiri maupun orang lain. Apalagi mendokumentasikannya ke dalam foto atau video. Itu karena kita merasa sebagai orang awam, bahkan punya pikiran bahwa kita takkan jadi orang penting kelak, sehingga kita beranggapan kejadian-kejadian di sekitar kita, terlebih lagi menyangkut kita sendiri, tidak akan menarik perhatian orang lain.

Boleh jadi kita memang seperti itu; tidak menjadi siapa-siapa. Tapi paling tidak, sebetulnya, dokumen yang yang kita simpan baik berupa foto, video, catatan lepas maupun buku harian, tetap memiliki nilai sejarah tinggi. Semuanya bisa mengingatkan kita akan suatu hal atau kejadian. Dan itu biasanya membuat kita semakin dewasa dan arif.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Dokumentasi sangat penting apalagi jika frofesinya wartawan, tentu dokumen baik tulisan foto dan gambar sangatlah banyak. Dokumen Foto merupakan cerpen tanpa teks!
Sukses PWI Kabupater Cianjur..

Posting Komentar