Lalu Semuanya Berubah (1)


PENGANTAR

BEBERAPA buah pikir saya, yang saya buat sekitar 10 tahun lalu, belum sempat dipublikasikan. Satu di antaranya novel LALU SEMUANYA BERUBAH.

Novel yang awalnya berjudul PULANG itu, memang sebagian kecil pernah muncul sebagai cerita bersambung di sebuah surat kabar mingguan lokal, yang kebetulan pengelolanya adalah teman saya. Tapi kemudian terjadi perubahan menejemen yang berimbas pada dihentikannya pemuatan cerber tersebut.

Saya pikir, ketimbang tersimpan begitu saja di arsif computer, lebih baik saya tampilkan di blog ini, secara bersambung. Barangkali ada orang yang berminat membacanya.

Sebagai gambaran singkat, LALU SEMUANYA BERUBAH berkisah tentang Jaja, seorang mantan narapidana Nusakambangan. Bagi Jaja, penderitaan sesungguhnya seorang napi bukanlah terkurung dalam penjara. Tapi penjara sesungguhnya adalah kehidupan itu sendiri dihari-hari kemudian. Desa tempat tinggalnya menjadi belenggu yang membatasi langkah. Orang-orang yang amat dicintainya, satu demi satu pergi. Mae, sang istri, ternyata juga telah menikah lagi.

Begitu sinopsisnya.

Arus Rasyid.




BAGIAN KESATU

BEGITU turun dari bis antar provinsi, Jaja langsung menengadahkan wajahnya yang brewok. Ia bersyukur karena tak lama lagi akan kembali berkumpul bersama orang-orang yang amat dicintainya.

Jaja memutar kepala. Melihat ke sekeliling. Bau tanah tercium. Tapi rasanya sangat asing. “Mungkin karena aku terlalu lama meninggalkan tanah ini,” gumamnya seraya melangkahkan kaki di jalan kecil, menjauhi jalan raya beraspal.

Tapi kemudian Jaja terhenyak. Jaja menyaksikan alam di sepanjang jalan desa berliku yang dilaluinya, seakan-akan tak lagi bernyawa. Bukit-bukit terkelupas. Tanahnya merah, menantang matahari. Pohon-pohon yang tersisa pun tampak meranggas. Batu-batu di sungai bagai bara api. Airnya gemericik bak tangisan bayi.

“Kemarau bagaimana yang telah melanda desa ini?”

Jaja tercengang.

“Lalu desaku?”

Jaja terbelalak.

Dari bukit itu ia saksikan tanah airnya yang kecil, hampir menyerupai padang pasir. Masih adakah di sana sebuah kehidupan? Masih adakah kubangan-kubangan air di hamparan pesawahan, di tegal-tegal berumput, tempat kerbau-kerbau mandi lumpur? Mana suara ayam hutan di pematang, di antara ilalang-ilalang di ujung kampung? Mana bocah-bocah kumal yang menghalau kambingnya saat senja tiba?

Dengan mata nanar ia pandangi lembah itu. Jaja berharap pada kerimbunan pepohonan yang masih tersisa di pinggir desa, masih ada desah napas orang-orang yang amat dicintainya. Emak dan Bapak. Masih bertanikah mereka? Nenek. Masih hidupkah Nenek? Dan Mae. Entah kenapa, selalu saja Jaja gelisah bila nama itu muncul tiba-tiba.

Jaja termangu. Hatinya terkoyak melihat desanya seperti itu. Impian dan harapannya seolah tercabik-cabik. Lembah yang dulu menyimpan kesuburan, menjanjikan ketentraman, mungkin saja sekarang sedang menunggu kehancurannya.

Lama Jaja termangu.

Kemudian pandangannya beralih pada sebongkah batu d bawah pohon jambu air di kaki bukit itu. Jaja menerawang. Di hadapannya lalu muncul kembali sosok gadis belasan tahun. Ia tersenyum manis, malu-malu, menyambut kedatangan seorang jejaka, yang usianya tak jauh terpaut. Di belakangnya tampak tiga ekor kambing. Satu jantan, dua betina. Tambangnya lalu ia tambatkan pada sebatang pohon sadagori, yang tumbuh di antara rumput-rumput hijau.

Gadis itu, Mae. Ia tak henti tersenyum. Matanya yang bening lekat menatap sang jejaka. Mae menggeser pantatnya ke kiri ketika pemuda itu melangkah mendekati batu yang didudukinya. Lalu seperti sudah hapal benar apa yang mesti dilakukannya, sang jejaka duduk di samping si dara. Keringat dingin tampak mulai menetes dari dahinya. Terlebih lagi saat lengannya saling bersentuhan.

“Sudah lama?” tanya sang jejaka, nyaris berbisik.

Gadis mungil itu mengangguk. Perlahan.

“Aku memandikan Si Jantan dulu. Bapak mau membawanya ke pasar, besok. Aku sebetulnya tidak setuju Bapak menjual Si Jantan,” ujar pemuda itu. Tanpa diminta, ia menjelaskan keterlambatannya menemui Mae di kaki bukit itu.

Keduanya melirik kambing-kambing yang tengah merumput.

“Kau `kan tahu Si jantan kesayanganku.”

“Jadi?” Mae kembali menatap pemuda itu.

“Terpaksa aku relakan. Bapak butuh pupuk untuk sawahnya. Aku sebenarnya ikhlas bila yang akan dijual itu Si Betina. Tapi pendapat Bapak lain. Katanya Si Jantan takkan bertambah banyak. Si Betina-lah yang akan beranak-pinak.”

“Betul pendapat Bapakmu,” Mae menyela, “Si Betina nanti yang akan menambah kambing-kambingmu. Siapa tahu dari kedua kambing betina-mu itu, lahir kambing jantan. Kau bisa mengurusnya seperti kepada Si Jantan itu. Mudah `kan?”

“Tak bisa begitu. Bagaimana kalau semua anaknya betina?”

Mae terdiam. Tapi dari kedua bola matanya yang bening itu, tampak binar-binar. Mae seperti ingin tertawa lepas. Kata-kata pemuda di sampingnya itu benar-benar menggelitik.

“Jantan atau betina, aku pikir tak ada bedanya. Mereka tetap kambing. Mereka telah dtakdirkan untuk disembelih, lalu daging dan jeroannya dimakan.” Mae tersenyum. Mencoba melepas rasa geli.

“Bagiku tidak. Kambing jantan lebih hebat.”

“Kalau manusia, apa anak lelaki lebih hebat?”

Pemuda itu kelabakan.

“Eee…” Jawabannya tergagap-gagap. Tidak jelas apa yang diucapkan.

Mae tak tahan. Derai tawanya kemudian terdengar merdu di telinga jejaka itu. Jaja pun tersenyum. Pandangannya lekat ke wajah sang gadis. Lalu ujarnya, “Tapi aku pikir, untuk anak kita yang pertama, aku ingin laki-laki.”

“Anak kita?” Mae terperangah. Tekanan pada kata ‘kita’ terasa jelas. Bola matanya mengandung banyak tanya. “Maksudmu, anakmu yang lahir dari rahimku?”

Pemuda itu mengangguk, meski malu-malu.

Soal kambing atau pun Si Jantan yang sangat disayanginya, hilang begitu saja. Terdesak rasa lain. Pemuda itu ingin membicarakan masa depan mereka, dan karena itu pula sebetulnya Jaja mengundang Mae ke kaki bukit itu.

“Kita akan menikah.”

Mae kian terperangah.

“Kau mau?”

Matanya berbinar-binar.

Keduanya lekat saling memandang.

“Betulkah, Ja?”

“Kapan aku berbohong?

Pemuda itu meraih tangan si gadis. Tapi sesaat kemudian dilepaskan kembali. Ia baru sadar bahwa menikah tidak sama dengan membeli pecel. Makan isinya, buang bungkusnya. Pemuda itu sadar menikah tidak sama dengan memelihara kambing: membiarkan mereka merumput sendiri, untuk akhirnya disembelih atau dijual ke pasar. (Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar