Lalu Semuanya Berubah (11)

Lanjutan novel “Lalu Semuanya Berubah”:

Lengkung langit tak lagi berwarna biru. Karena noda-noda kelabu mulai muncul di sana sini. Matahari pun cuma samar-samar. Cahayanya dihadang kabut hitam. Alam sekan-akan berkabung seiring berlalunya kemarau panjang. Ia berhasil menjalankan tugasnya: membakar sawah-sawah hingga membatu; memanggang ilalang dan rerumputan hingga mengering.

Ya. Kemarin hujan pertama jatuh di desa itu. Menciumi lembah gersang. Menggetarkan daun-daun yang tersisa. Bunyi tak-tik-taknya pada atap-atap rumah, seolah nyanyian merdu yang telah lama dinantikan. Suara gemuruh di langit, seolah pawai tambur yang mengabarkan berita bahagia. Debu-debu yang mengepul, seolah asap putih dari dapur-dapur penduduk.

Kodok-kodok berpesta pora. Gelak tawanya berlomba dengan deru angin yang mengantarkan hujan ke bumi. Burung-burung kuntul bersenandung di atas batu-batu besar. Tubuhnya dibiarkan basah kuyup. Cacing-cacing berkeliaran. Berlari dari tempat persembunyiannya di dalam tanah. Mereka menari-nari di atas lumppur.

Ayam-ayam di samping rumah menekuk lehernya. Tapi kemudian matanya jelalatan ketika mereka melihat cacicng-cacing itu. Seekor cacing kalung menari-nari, hingga ia tak sadar mendekati seekor ayam betina. Tubuhnya yang merah kehitaman cuma bisa meronta sesaat setelah paruh ayam betina itu menyambarnya. Sedetik kemudian, setelah ia berkotek-kotek, menghamburlah lima ekor anak ayam dari tubuh induknya itu. Mereka bersuka-ria. Mereka saling membagi makanan.

Hanya beberapa detik saja pembunuhan itu berlangsung. Anak-anak ayam kembali ke tubuh induknya. Berlindung dalam kehangatan bulu-bulu sang induk.

Bocah-bocah telanjang berlarian. Tubuhnya yang kurus-kurus dan kehitaman, berkilat-kilat dalam guyuran air hujan deras. Seseorang di antara mereka menyepak genangan air, menerpa tubuh kawan-kawannya yang sedang berkumpul berhompimpah. Air coklat bercampur kotoran kambing, ayam dan mungkin juga kotoran manusia, menyirami tubuh-tubuh itu.

Serentak mereka berpaling, meninggalkan hompimpahnya. Lalu beramai-ramai mereka membalas. Dari segala sudut, tubuh itu diguyur. Tapi dengan tawa berderai-derai, ia kembali membalas. Sesaat kemudian semuanya berlarian ke pinggir sebuah rumah. Berdiri di bawah talang. Berebutan mereka mendapatkan guyuran air talang. Kotoran kambing, ayam dan mungkin juga kotoran manusia, tersapukan.

Namun rupanya mereka belum puas. Mereka kembali ke pelataran tadi. Saling menyerang dengan air komberan. Masing-masing adalah musuh. Derai tawa berbaur dengan gemuruh hujan. Lantas semuanya menceburkan diri pada sungai kecil yang airnya melimpah. Warnanya coklat.

Sepasang katak hijau bercumbu di balik sebuah batu di sisi kolam kecil. Tuntutan alam hendak dipenuhinya. Sementara seekor ular sawah mengawasi perkawinan itu. Bersamaan dengan meloncatnya katak jantan dari atas punggung betina, pertanda perkawinan usai, ular itu menyambarnya.

Sayang kalah gesit. Si jantan meloncat lagi, lebih jauh seraya mengejek, “Wek!” Dengan marah ular itu mengejarnya. Sesaat, dua mahluk itu saling kejar di sisi kolam. Lalu dengan sisa tenaganya katak jantan itu meloncat ke atas dahan jambu rendah yang tumbuh di pematang kolam. Namun sedetik sebelum kakinya menyentuh dahan tersebut, paruh ayam jago menyambarnya dengan suka cita. Hanya sekali terdengar teriakannya, lantas mati di paruh si jago itu.

Nasib ular sawah pun tak berbeda ketika bocah-bocah tadi melihatnya, lalu menghujaninya dengan batu dan kayu. Seorang di antara mereka akhirnya mengangkat ular yang sudah tak bernyawa itu dengan sebatang ranting. Ramai-ramai mereka melemparkannya ke kali kecil. Air lalu menariknya ke hilir.

Tiba-tiba kilat menoreh langit. Disusul geledak petir. Sebuah pohon kelapa paling tinggi di pinggir kampung, menjadi sasarannya. Seketika api berkobar-kobar. Deras hujan pun tak dapat membunuhnya.

Orang-orang memandang pohon kelapa itu dengan meringgis-ringgis. Sementara bocah-bocah telanjang berlarian ke rumah masing-masing, tanpa membersihkan tubuhnya. Mereka mengambil kain sarung, lalu menyelimuti dirinya mulai ujung kaki hingga leher. Kemudian jongkok di tepas sambil memeluk dada. Matanya nanar memandang kobaran api di pucuk pohon kelapa itu.

Sekali-sekali mereka tampak meringgis. Mungkin mereka teringat bagaimana tubuh Ustam gosong disambar petir ketika ia sedang mengembalakan kambingnya di tegalan saat hujan rintik-rintik.

Desa itu kembali hidup. Derai tawa, gemuruh hujan dan nyanyian tak-tik-tak di atap-atap rumah, telah membangunkan desa dari tidur lelapnya. Semua menggeliat. Semua mata tak berkedip menatap hujan. Semua menyimpan harapan pada tanah-tanah yang mulai melembek; pada alam yang kembali tersenyum; pada kolam-kolam yang airnya kembali penuh; pada petak-petak sawah yang mulai tergenang.
“Alhamdulillah, hujan telah turun,” gumam Nenek. Sepasang mata tuanya dipicingkan, seperti sedang menajamkan pandangannya pada sawah-sawah di lembah itu. “Besok, cabutilah ketela itu, Ja.”

“Belum cukup besar, Nek. Sebaiknya kita tunggu satu atau dua bulan lagi.” Jaja menukas seraya mengikuti pandangan Nenek, menatap pesawahan yang lenggang namun terasa ada denyut-denyut kehidupan.

”Tidak, Ja. Besok pun kau segera cabuti ketela itu. Tidak apa ubinya masih kecil-kecil. Bisa kita buat getuk. Sawah-sawah itu yang lebih penting, Ja. Kau harus mulai mencangkulnya. Sawah-sawah itu pasti merindukanmu, Ja.”

Begitu keputusan Nenek. Itu rencana hari esok yang mesti Jaja jalankan. Tak dapat ditunda-tunda lagi. Kehendak Nenek sukar dirubah. Misalnya membiarkan tanaman singkong itu beberapa bulan lagi. Hujan yang mulai turun, tentu akan mempercepat petumbuhannya.

Mungkin bukan cuma Nenek yang bersikap begitu. Hampir semua penduduk desa tidak mustahil berpikiran seperti Nenek. Sebab pesawahan itu terlalu lama dibiarkan lenggang, tanpa cucuran keringat. Parang, cangkul, garpu, garu dan teplakan sudah terlalu lama tidak menciumi lumpur.

Dari sebuah tepas Jaja mendengar percakapan tetangga dekat, yang suaranya hilang-timbul ditelan gemuruh hujan.

“Pinjam cangkul? Memangnya kau tak punya? Masa? Setiap orang sini, punya,” ujar seseorang dari tepas rumah itu. Jaja tidak tahu siapa. Tapi itu jelas suara laki-laki, “Wah, pasti! Pasti! Kau sudah meninggalkan warisan leluhur. Kau bukan lagi bulu taneuh, sekarang.”

“Bukan begitu, Kang! Daging, urat dan tulangku masih berbau lumpur. Tulen, Kang, aku masih tukang tani! Aku terpaksa pinjam cangkulmu karena….” Kalimatnya tak berlanjut. Mungkin orang ini sedang berpikir, atau mungkin juga malu menjelaskan alasannya. Orang itu, Ukar, kawan sepermainan Jaja.

“He, karena apa, Kar?” tanya yang lain, suaranya mirip perempuan. Gemuruh hujan menyamarkan pendengaran Jaja.

“Cangkul punyaku, terpaksa Kang, terpaksa aku tukarkan dengan beberapa liter beras sewaktu kemarau mulai menyengat. Lagi pula saat itu aku terus ke kota, cari kerjaan. Pikirku, nanti sepulang dari kota, aku akan membeli cangkul baru. Tak tahunya, tak terbeli, Kang,” ujar Ukar. Pasti ucapanya itu disertai senyam-senyum.

Percakapan di tepas itu, untuk beberapa saat mengabur. Ditelan gemuruh hujan. Angin mengencang. Pohon kelapa dan pinang, meliuk-liuk seakan-akan mau tercabut dari akar-akarnya. Rantinng-ranting kecil dan dedaunan beterbangan.

“Susahlah orang macam Wak Duriat itu.”
Kembali Jaja medengar percakapan di tepas itu.
“Pinjam kecil-kecilan saja harus pakai boreh, pakai rente. Berapa tadi, Kar? Seperapat liter untuk sebulan? Tuh, selama sepuluh bulan ini rentenya saja sudah dua liter setengah.” Entah siapa yang berkata itu. Jaja tidak mengenalnya. Mungkin karena suara itu terlalu pelan.

“Ya. Tapi tidak bisa dibayar dengan padi gogo atau IR. Harus sama dengan beras yang aku pinjam, pandanwangi. Kebanyakan orang-orang di sini ‘kan makan beras IR.”

“Kau makan pandanwangi, Kar?” Suara perempuan. Kedengarannya seperti Ceu Juhi, “Wah wah! Kau jadi orang besar, Kar! Kau jadi menak sehari, ya?”

“Bukan aku, Ceu. Hanya Yayah saja. Kasihan, isteriku sedang hamil besar. Tak tega aku memberi Yayah rebus ketela. Kasihan jabang bayinya, Ceu.”

“Itu juga bagus. Siapa tahu anakmu kelak mendapat jodoh seorang menak dari kota. Seperti Mae. Hidupnya senang sekarang.”

“Mae memang beruntung, menjadi isteri Bapak Juru Penerang.” Itu suara Kang Mali. Jaja mengenalnya. Ia pandai membuat pikatan burung. Semasa Jaja remaja, pernah belajar soal itu pada Kang Mali. Namun pikatan buatan Jaja bukannya didekati burung-burung, malah dijauhi. Kata Kang Mali, jeruji-jeruji bambunya terlalu kasar dan besar-besar. Tapi sekalipun Jaja mencoba melaksankan petunjuk Kang Mali, tetap saja pikatan buatanya tak mau didekati seekor burung pun.

“Eh, apa Mae sudah tahu kalau Si Jaja ternyata tidak meninggal di Nusakambangan? Apa Mae tahu ia sekarang ada di sini? Kasihan juga tuh anak Sumarna! Si Inah lagi, belum pernah ditengok emaknya,” lanjut Kang Mali.

“Laaahh, Kang! Kasihan-kasihan!” Suara perempuan. Tapi kedengarannya bukan Ceu Juhi. Mungkin perempuan yang tadi bertanya kepada Ukar. “Itu ‘kan akibat perbuatanya sendiri. Gusti Allah menghukum Si Jaja dengan rupa-rupa penderitaan. Seperti isterinya yang dinikahi Bapak Juru Penerang, ya lantaran ia membunuh Kang Us...”

Tiba-tiba kilat berpencar. Disusul bunyi gemuruh, seperti suara drum yang sedang digelindingkan di atas jalan berbatu. Bunyinya sambung-menyambung. Kata perempuan itu tak dapat Jaja dengar kelanjutannya. Bahkan untuk beberapa saat, percakapan di tepas itu pun, tak sampai ke telinga Jaja.

Kemudian setelah hujan mereda, obrolan itu kembali terdengar.
“Eh, Kang, berapa harga kambing yang akan kau jual itu?” Suara lelaki, “Saya bisa membawanya ke pasar Kemisan di Kota Kecamatan. Kebetulan besok aku akan ke sana, menjual beberapa perkutut, tangkapan minggu lalu. Sekalian saja, Kang.” Mungkin orang itu tukang pikat burung, seperti Kang Mali, dulu.

“Syukur, Jang, kalau besok mau ke pasar,” ujar Kang Juhi. Terdengar ia menyebutkan harga kambing yang diinginkannya. “Sekalian, Jang, tolong belikan bako mole di tokonya Haji Jamhur.”

Obrolan orang-orang di tepas tetangga itu selanjutnya tak Jaja perhatikan. Sebab Nenek memanggilnya dari dapur. Nenek menyuruh Jaja membelah kayu bakar. Untunglah sebelum musim hujan datang, ia telah menebang satu-satunya pohon suren di belakang rumah. Sebagian telah mengering, tapi masih berupa belahan-belahan besar. Tentu tidak akan muat dimasukkan ke dalam tungku api.

Jaja membelahi kayu itu hingga menjadi serpihan-serpihan yang sekiranya bakal muat dimasukkan ke dalam tungku api. Kemudian sambil menghangatkan tubuh, Jaja menemani Nenek menanak nasi. (Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar