Lalu Semuanya Berubah (10)

Lanjutan Novel Bersambung “Lalu Semuanya Berubah”:

Disatu sisi, kehadiran perempuan itu di saung Bapak, benar-benar membuat hatinya kecewa. Sebab keinginan bahwa Nenek dan Inah yang mestinya pertama kali menikmati saung baru itu, ternyata telah diserobot istri keempat Si Tua Bangka. Tapi disisi lain, menggeliat rasa suka, yang kemudian membangunkan segala angan.

Mungkin angan-angan itu lahir terlalu dini. Sebab kepulangan Jaja ke desa, yang dibuntuti bias-bias pertiwa masa silam, belumlah lama. Perempuan itu pun bukanlah lajang yang bisa dibolak-balik sesuka hati. Keduanya menjadi alasan yang kurang menguntungkan bila saat ini Jaja memiliki semacam angan-angan terhadap istri keempat Wak Duriat itu.

Namun apakah salah bila angan-angan itu terdorong karena kekosongan hatinya akan makna perempuan secara pribadi, yang telah terentang bertahun-tahun? Itulah, ketika kerinduannya terhadap Mae yang kini disekap Si Bujang Lapuk terasa tak tertahankan, Jaja merasa menemukan penggantinya lewat perempuan itu, dengan segala ulahnya yang menggoda. Jaja benar-benar tak bisa mengelak.

“Hey, seperti orang jantungan!” serunya lagi bernada riang.
Genderang telinga Jaja terasa dielus-elus, yang kemudian menggeletar-geletarkan syaraf kelelakiannya; mengaburkan pertimbangan bahwa perempuan itu bersuami. Suaranya yang merdu mengandung kekuatan sihir sehingga Jaja tak mampu menahan kedua kakinya untuk mendekati saung Bapak.

“Kau tak suka aku duduk di sini?”
Jaja masih terpaku.
“Ayo, duduklah!”

Jaja seperti kerbau yang dicocok hidung. Bahkan mungkin ia tidak sadar bahwa saung itu adalah miliknya. Namun ucapan perempuan itu jelas menunjukkan Jaja sebagai tamu di saungnya sendiri.

“Lebih seminggu, ya, kau tak melihatku.”
Jaja cuma menatap.
“Kau selalu menantiku, kan?”
Ucapan perempuan itu benar-benar menelanjanginya.
“Maklumlah, Ja, aku `kan punya suami!” Tawanya berderai.

Entah karena ucapannya yang terakhir itu, entah karena Jaja tak tahu apa yang mesti dilakukannya, ia lalu melepas pandang pada lembah yang masih lenggang. Bola matanya bergulir-gulir ke sekeliling. Di beberapa sudut tampak tiga empat ekor kambing tengah mencari-cari rumput di antara ilalang kering.

Jauh di atas langit, tampak melayang-layang sepasang bangau. Mereka sepertinya tengah mengelilingi pesawahan itu. Kadang mereka menukik, lalu melayang rendah, dan kembali mengepakkan sayapnya meniti angin. Entah apa yang dicari mereka. Mungkin air atau sedikit makanan. Tapi lembah itu terlalu gersang. Air yang masih tersedia, hanyalah di sepanjang sungai. Itu pun tak banyak, hanya sekedar pertanda bahwa sungai yang membelah pesawahan itu masih pantas disebut sebagai sungai.

Dari tempat yang jauh, mungkin di sekitar bukit-bukit gundul itu samar-samar terdengar burung perkutut. Nyanyiannya terbawa angin, menebar ke sudut-sudut lembah. Di atas tanaman ketela di depan saung Bapak hinggap empat ekor burung pipit. Cericit suaranya untuk beberapa saat menghidupkan keheningan. Kemudian mereka terbang kembali menakala makanan yang dicarinya tak ada.

Bagi seekor burung seupah, yang muncul berikutnya seraya berputar-putar di atas daun-daun ketela yang bergelombang tertiup angin, burung-burung pipit itu mungkin dianggapnya kurang teliti. Sebab sesaat setelah menclok pada pucuk ketela, ia menemukan ulat kecil yang bersembunyi di balik dedaunan. Ulat itu menggeliat-geliat ketika paruh burung si seupah mematuknya. Hanya beberapa detik, lenyaplah ulat tak berdosa itu ke perut si seupah.

Entah dari mana datangnya, seekor seupah lain hinggap di dahan ketela yang sama. Mungkin pendatang ini, jantan. Karena segera saja ia mencium si seupah yang pertama. Mereka bergelut sambil mengepakkan sayapnya. Kemudian si jantan itu terbang kembali. Sementara si betina tampak mengais-ngaiskan paruhnya pada bulu-bulu tubuhnya. Boleh jadi ia sedang membetulkan pakaiannya yang tadi telah diacak-acak si jantan.

“Enak ya kalau jadi burung,” ujar perempuan itu. Nada suaranya masih terdengar riang, “Bebas melakukan apa saja. Bebas terbang kemana saja. Kau mau jadi seekor burung?”

Jaja berpaling, kembali menatap perempuan itu. Di sudut hatinya Jaja tertawa. Pertanyaan perempuan itu benar-benar menggelitik Atau tidakkah itu bermakna ajakan halus? Jaja tidak mau berpikir ke sana. Jaja hanya melihat bahwa bibir perempuan itu merekah. Bola matanya bercahaya. Lekat menerpa Jaja.

Batas-batas memudar.
Jaja menangkap pergelangan tangan perempuan itu. Menariknya perlahan, Pandangannya menembus bola mata perempuan itu, yang kian lama kian mendekat. Namun seiring dengan hembusan hawa panas di seputar wajahnya, Jaja melihat bola mata itu berubah menjadi layar kecil. Lalu tampak Si Tua Bangka.

Matanya yang rabun terbeliak-beliak penuh kecemburuan. Gigi-giginya yang tinggal beberapa buah, menyeringai. Seakan-akan mau mengoyak tubuh Jaja. Lalu menelannya sepotong demi sepotong.

Gambar Si Tua Bangka perlahan mengabur. Akhirnya lenyap. Tapi bersamaan dengan hembusan hawa panas di wajahnya, Jaja melihat layar itu berubah menjadi bulatan putih dengan titik hitam di tengahnya.

“Ja, lepaskan tanganku!”
Jaja tak mendengar suara perempuan itu. Jaja tengah memperhatikan bulatan putih dengan titik hitam. Ia tengah menunggu wajah siapa lagi yang akan muncul. Tapi sebelum Jaja melihat seraut wajah lain, tubuhnya terasa ada yang mendorong dengan kuat. Jaja nyaris terjungkal, kalau saja tidak terhalangi bilik saung.

“Ja, tidak baik berbuat begitu.”
Jaja terperangah. Berkali-kali ia menggisik kelopak matanya. Tapi jelas perempuan itu duduk tak jauh dari tempatnya. Rona merah tiba-tiba menebar di kulit wajah lelaki itu. Jaja tak berani beradu pandang. Ia malah berpaling ke arah lain. Emak dan Bapak sepertinya terluka melihat Jaja tidak mampu mengendalikan diri.

“Kita `kan bukan burung, Ja,” ujar perempuan itu. Suaranya masih bernada riang, “Mungkn pada kesempatan lain aku mau, Ja. Maksudku, nanti bila kita ditakdirkan bisa menikah.”

Kembali Jaja menatap perempuan itu. Kembali ia melihat bibirnya merekah; bola matanya berbinar-binar; keseluruhan wajahnya menyemburatkan keceriaan. Semua membuat rasa kelelakiannya meronta-ronta. Namun perempuan itu sekarang yang mempertegas batas-batas. (Bersambung)

1 komentar:

Sungai Awan mengatakan...

Wah aku harus baca dari awal ni.
Ketinggalan

Posting Komentar