Kapan Negeri ini Terbebas dari Praktik Korupsi?

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, seperti yang saya baca di Harian Pelita, menilai saat ini hanya ada tiga lembaga negara yang masih bersih dari praktik korupsi. Yakni MK, Komisi Yudisial (KY) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Mahfud MD juga menilai pasca 1998 (era repormasi) semua presiden Republik Indonesia gagal memperbaiki birokrasi, karena sampai saat ini kinerja aparat pemerintah masih buruk dan korupsi makin merajalela.

Benarkah begitu? Saya kira Mahfud MD takkan berkata seperti itu kalau memang tidak punya alasan kuat dan dapat dipertanggungjawabkan. Kita sendiri agaknya sulit membantah pernyataan Ketua MK itu. Sebab memang selama ini kita telah cukup mengetahui melalui media bahwa mayoritas lembaga negara masih berisi oknum-oknum yang “terbahak-bahak di atas mayat orang” alias koruptor.

Praktik korupsi itu juga terjadi di semua tingkatan mulai pusat hingga daerah, baik di lembaga/instansi yang mengurus penegakan hukum maupun lembaga/instansi yang mengurus pendidikan dan agama. Jadi agaknya di era reformasi, praktik korupsi telah mencapai “kesempurnaannya”.

Pertanyaannya sekarang, saya kira, bukan mengapa praktik korupsi kian merajalela, akan tapi kapan negeri kita akan terbebas dari praktik korupsi? Sebab soal mengapa praktif korupsi kian merajalela, kita sudah sering mendengar alasannya dari para pakar di bidang “perkorupsian”, bahkan kita juga kerap mendengar adanya seminar dan lokakarya menyangkut penegakan hukum dalam rangka pemberantasan korupsi. Tapi toh hasilnya tidak kelihatan. Yang ada justru praktik korupsi tetap tumbuh subur bagai jamur di musim hujan.

Makanya yang jadi pertanyaan kita, kapan negeri kita terbebas dari praktik korupsi? Untuk menjawab pertanyaan itu kita tidak membutuhkan seminar atau lokakarya yang menghadirkan pakar-pakar hebat di bidangnya.

Untuk menjawab pertanyaan itu hanya diperlukan adanya aksi atau tindakan. Sebab perangkat hukumnya sudah ada, termasuk penegak hukumnya (saya yakin seyakin-yakinnya di negeri ini masih banyak penegak hukum yang jujur dan kredibel). Sehingga seberapa cepat kita dapat menikmati hidup di negeri yang terbebas dari praktik korupsi, tergantung dari seberapa hebat tindakan aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi.

Sederhana kan? Itu kata saya yang awam hukum dan ketatanegaraan. Tapi tentu akan lain lagi di mata para pemimpin kita. Aksi untuk memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya, boleh jadi dianggap para pemimpin kita bukan perkara sederhana, apalagi dianggap mudah seperti membalikan telapak tangan. Apalagi pula praktik korupsi terkadang seperti kentut (maaf!) di tengah kerumunan orang. Baunya memang tercium di hidung, tapi siapa yang kentut tidak akan serta-merta bisa ditebak (kecuali dengan mendatangkan ahli, misalnya celana dalam orang-orang itu satu persatu diperiksa, pasti akhirnya ketahuan juga).

Bahkan ada pula anekdot, katanya ketika para ahli di bidang hukum dan adminitrasi negera (yang jujur tentu saja) telah menemukan formula jitu untuk mencegah terjadinya praktik korupsi, para calon koruptor pun berusaha keras mencari formula penawarnya, dan yang umumnya unggul adalah formula penawar itu.

Jadi, kapan dong negeri kita terbebas dari praktik korupsi? Saya tidak tahu. Mungkin 10 tahun lagi, mungkin 100 tahun lagi, atau malah boleh jadi negeri yang benar-benar bersih dari praktik korupsi itu hanya ada di negeri impian. Karena itu terkadang saya punya pikiran buruk: biarlah koruptor tetap ada di negeri ini asal saja mereka berperilaku seperti Robin Hood, mencuri uang negara tapi hasilnya lantas dibagi-bagikan kepada rakyat miskin, dan dia sendiri tidak menikmatinya.

Tentu saja pikiran semacam itu selain kacau, juga tidak mendukung upaya yang dilakukan para penggiat penegakan hukum. Makanya lebih baik kita berpikir seperti Mahfud MD saat mengomentari peninjauan kembali (PK) praperadilan perkara SKPP Bibit-Chandra oleh Kejaksaan Agung. Mahfud dalam Harian Pelita itu antara lain mengatakan, “…Komentar-komentar tentang itu sudah banyak, masyarakat tinggal menilai. Tuhan akan bekerja sesuai dengan hukum-Nya sendiri.”

Nah, di tengah ketidak-mengertian kita mengapa praktik korupsi makin merajalela, dan di tengah ketidak-tahuan kita kapan negeri ini akan terbebas dari praktik korupsi, maka kalimat “Tuhan akan bekerja sesuai dengan hukum-Nya sendiri” itu bisa membuat kita yakin bahwa praktik korupsi pun pada akhirnya akan berakhir, dan koruptor akan mendapat hukumannya, kalau tidak di dunia, ya diakhirat nanti.

6 komentar:

gatel band mengatakan...

selama masih ada harapan dan kemauan yg kuat, negri kita bisa bebas (90%) dari praktik korupsi, walaupun memerlukan waktu (proses) yg sangat panjang... insyaallah.

ah .. andai uang bisa bicara http://gatelband.cz.cc/2009/09/26/andai-uang-bisa-bicara/

atok mengatakan...

lebih baek yg terbukti korupsi jgn dipenjara, di karak dulu keliling kota sambil mukanya diperlihatkan... sambil diteriakkan "inilah wajah koruptor"

HB Seven mengatakan...

korupsi udah mendarah daging...

NENSA MOON mengatakan...

Benar sekali!! harapan kita sebagai umat beragama hanyalah kepada Tuhan Allah semata ... Biarlah Dia yang akan bekerja dgn kehendak-Nya... karena jika kita menggantungkan harapan pada para pemimpin negri ini... mungkin sampai matahari terbit dari barat pun negri ini tak akan pernah terbebas dari korupsi....!!

walau bagaimanapun...suatu saat negri ini mudah2an saja bs terbebas dr korupsi...
(harapan...atau mimpi...?!)

Unknown mengatakan...

Kami ibaratkan orang yang duduk dalam KPK, MK dan KY adalah orang yang berhati malaikat dan berbadan manusia dengan kemampuan diatas rata-rata. Sedangkan orang yang duduk di lembaga lainnya, kami ibaratkan orang yang berhati 'multi' dan berbadan manusia. Orang yang berhati 'multi' ini setiap harinya terus berperang melawan hawa nafsunya. Terkadang menang terkadang kalah. Bisa jujur, bisa tidak jujur. Bisa baik, bisa jelek. Kapan negeri ini bebas dari praktik korupsi ? Tentunya memerlukan perjuangan dan pengorbanan untuk dapat meraihnya. Ingat lagu kebangsaan Indonesia Raya. Bangunlah jiwanya bangunlah badannya untuk Indonesia Raya. Selama ini sepertinya pembangunan jiwa kita abaikan. Jarang sih diberi asupan yang bernilai gizi tinggi. Akhirnya jiwanya rapuh dan menjadi sarang berbagai macam penyakit hati.

Kjoed mengatakan...

udah jadi budaya kali ya.... mulai dari koropsi kecil-kecilan ampe gede-gedean, semua ada di negeri ini ... Undang-Undang buatan Tuhan aja dilanggar apalagi Udang-Udang...eet undang-undang maksudnya pake dibalik batu atau tidak terserah udangnya...

Posting Komentar