Mengapa Begitu Banyak SMA/Sederajat yang 100 pCt Muridnya tidak Lulus UN?

Ada dua hal yang sangat menarik pasca diumumkannya Ujian Nasional (UN) tingkat SMA/sederajat, akhir April lalu. Pertama, dan ini cukup luar biasa, kasus-kasus pelanggaran pelaksanaan UN 2010 di tanah air, nyaris tak terdengar, kecuali yang bersifat teknis seperti tertukarnya lembaran-lembaran soal bidang study yang diujikan.

Apakah hal itu karena efektifnya penandatanganan fakta integritas kejujuran pelaksanaan UN 2010 yang ditandatangani Mendiknas, Gubernur, Bupati, Walikota dan seterusnya perangkat ke kebawahnya? Atau, sebetulnya ketidak-jujuran pelaksanaan UN itu masih ada, hanya saja tidak terungkap? Kita tidak tahu. Yang jelas, iklim pelaksanaan UN kali ini relatif kondusif, sekalipun tetap kontroversial.

Kedua, dan ini cukup luar biasa memprihatinkan kita semua, yakni terdapatnya 267 SMA/sederajat di tanah air yang semua siswanya 100 persen tidak lulus. Padahal dalam UN tahun lalu, sekolah yang 100 persen siswanya tidak lulus itu, sangat sedikit. Kenapa hal itu sampai terjadi? Kurang pandaikah siswa-siswi di sekolah-sekolah tersebut? Burukkah kinerja para guru di 267 SMA/sederajat itu hingga para muridnya tak mampu menguasai mata pelajaran dan menjawab soal-soal UN dengan benar?

Sebagai “orang luar”, kita memang belum tahu pasti apa penyebab bertambah-banyaknya sekolah yang 100 persen muridnya tidak lulus UN. Jangankan kita, Mendiknas Mohammad Nuh sendiri, belum mengetahuinya. Beliau baru akan mengkajinya, mencari pangkal penyebabnya untuk kemudian melakukan intervensi.

Apa dan bagaimana bentuk intervensi dari Kementrian Pendidikan itu nanti, kita juga belum tahu. Hanya saja akan cukup membingungkan kalau kemudian ditemukan ternyata pangkal penyebabnya itu adalah stress.

Artinya siswa-siswi di 267 SMA/sederajat itu sebetulnya mayoritas pandai-pandai, tak beda dengan para murid di SMA/sederajat lainnya. Tapi ketika mereka menghadapi soal-soal UN, mereka merasa tertekan khawatir tidak lulus. Dan perasaan tertekan merupakan bentuk stress juga, yang pada kondisi tertentu membuat kita kehilangan akal sehat. Stres ibarat virus komputer, yang bisa mengacaukan semua program. Akibatnya semua materi dari mata pelajaran yang di-UN-kan yang telah dihapal siswa hingga hapal di luar kepala sekalipun, jadi lupa. Hasil UN pun jeblok.

Kalau akar masalahnya seperti itu, apa coba intervensi dari Kementerian Pendidikan terhadap 267 SMA/sederajat itu? Apakah cukup dengan nasihat, “jangan khawatir menghadapi UN; tenang-tenang saja; berkonsentrasi saja; dst.dst.dst….”?

Lho, bagaimana tidak khawatir, UN menentukan masa depan kok! UN yang hanya berlangsung beberapa hari dan mengujikan beberapa bidang study saja, bisa “menghancurkan” perjalanan seorang siswa selama tiga tahun! UN malah juga menjadi semacam justifikasi: yang lulus adalah pintar dan berhak melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi, sedangkan yang tidak lulus ya sudah berhenti saja sekolah karena kemampuan anda menyerap mata pelajaran di sekolah, rendah.

Apalagi Mendiknas Mohammad Nuh mengatakan standar kelulusan UN SMA/sederajat tahun ini masih rendah, hanya 3,1, dan tak ada negara-negara di dunia ini yang menerapkan standar kelulusan serendah itu (Pelita, 29/4/10).

Itu artinya, kalau masih ada murid yang tidak lulus UN dengan standar kelulusan serendah itu, maka ia termasuk murid yang daya serapnya terhadap mata pelajaran sekolah, amat rendah, kalau pun tidak dikatakan bodoh. Begitu logikanya. Padahal mereka belum tentu bodoh. Kita kerap mendengar kisah memilukan dari murid yang sehari-harinya berprestasi, tapi ternyata tidak lulus UN. Penyebabnya sangat mungkin karena itu tadi, stress akibat besarnya kekhawatiran tidak lulus.

Tapi mudah-mudahan penyebab ke-tidak-lulusan-100-persen para murid di 267 SMA/sederajat itu bukan karena siswanya dihinggapi perasaan khawatir tidak lulus secara berlebihan, bukan pula karena mereka tidak pandai dan juga bukan karena kualitas guru di sekolah-sekolah itu kurang bagus (kepala sekolah dan guru di sekolah-sekolah itu seperti saya baca di surat kabar mengaku sudah bekerja keras mempersiapkan para muridnya dalam menghadapi UN), akan tetapi mungkin karena ada hal lain yang belum kita ketahui.

Atau, haruskah kita katakan mereka tidak lulus UN karena nasib? Sebagai mahluk beragama, kita memang tidak tabu untuk mengatakan kegagalan bisa karena nasib. Namun menyerahkan semua kegagalan karena nasib, rasanya juga kurang baik.

Karena itu, saya rasa, tak ada yang lebih baik kecuali mendorong para siswa di 267 SMA/sederajat itu, dan juga teman-teman kita di sekolah-sekolah lain yang kebetulan belum lulus UN, untuk terus berjuang dan bekerja keras. Karena kesempatan masih terbuka. Dan bagi mereka yang telah lulus, kita layak mengucapkan selamat.

Lebih dari itu, kita berharap juga Kementerian Pendidikan dapat menjadikan kasus 267 SMA/sederajat yang semua siswanya tidak lulus UN itu sebagai titik evaluasi pelaksanaan UN secara menyeluruh, khususnya menyangkut perlu-tidaknya hasil UN sebagai penentu lulus-tidaknya seorang siswa. Sebab ada kemungkinan hasil UN akan lebih jeblok bila UN tidak menjadi penentu lulus-tidaknya seorang siswa.

Mengapa? Dengan tiadanya ketentuan UN menjadi penentu kelulusan, semua pihak, khususnya siswa dan guru, akan melaksanakan UN secara alamiah. Siswa akan mengisi lembar jawaban UN secara apa-adanya sesuai dengan ilmu pengetahuan yang selama ini diperolehnya. Bahkan mungkin tak perlu ada persiapan khusus untuk menghadapi UN, toh soal-soal yang di-UN-kan merupakan materi pelajaran yang selama ini diterima mereka dari sekolah.

Dengan pelaksanaan UN seperti itu, boleh jadi hasil UN akan “mengecewakan” pihak tertentu, karena mungkin hasilnya jeblok. Tapi saya kira dengan begitu justru akan terlihat seberapa bagus sebenarnya kualitas pendidikan kita.

Selama ini ada dugaan kuat bahwa ketidak-jujuran pelaksanaan UN antara lain disebabkan adanya tekanan takut tidak lulus, sehingga siswa dan guru terpaksa melakukan berbagai cara agar hasil UN di atas nilai standar kelulusan. Cara itu saya pandang wajar. Sebab siapa yang tidak kecewa bila tidak lulus? Guru mana yang tega melihat anak-didiknya tidak lulus?

Akibatnya hasil UN menjadi semu. Betulkah angka-angka tentang hasil UN itu menunjukkan realitas kualitas pendidikan kita selama ini, bila dalam pelaksanaannya siswa sebagai obyek UN berada dalam tekanan dan kekhawatiran tidak lulus? Inilah pertanyaan besar, yang jawabannya saya kira berada di Kementerian Pendidikan.

1 komentar:

NENSA MOON mengatakan...

Menurut saya sebaiknya UN itu dihapuskan saja, atau kalu tidak bisa tetap dilakukan tetapi tidak untuk menentukan kelulusan siswa, tetapi hanya untuk pemetaan pendidikan saja...
Masalah kelulusan siswa biarlah otoritas sekolah masing2 yg menentukan... sehingga jika demikian saya yakin setiap sekolah bisa berlaku jujur pada setiap pelaksanaan UN.

Saya melihat terlalu banyak kejanggalan pada pelaksanaan UN saat ini...
Bayangkan saja... bagaimana mungkin dalam 1 sekolah (dan ini terjadi di bukan hanya satu sekolah saja) bisa terjadi ketidaklulusan sampai 100%... sementara di sekolah lainnya sebaliknya ...
ketimpangan yang sangat jauh bagai bumi dan langit ini sesungguhnya mencerminkan apa....???
Pendidikan di negeri ini memang sungguh sangat memprihatinkan...

Posting Komentar