Pendidikan Murah SMA/Sederajat, Berharap pada Wajar 12 Tahun

APA yang bisa dilakukan seseorang yang hanya lulusan SMP, saat ini? Dunia kerja macam apa pula yang layak dia terjeni?

Tentu sulit dibayangkan seseorang yang hanya tamatan SMP atau MTS, dijaman serba iptek ini, dapat memperoleh pekerjaan dengan penghasilan yang memadai. Malah yang ada sebaliknya, mereka yang hanya lulusan SMP nyaris tak punya tempat. Lihat saja iklan-iklan lowongan kerja, tak pernah ada penawaran dengan kualifikasi ijazah SMP, sekalipun misalnya cuma untuk menjadi sales sabun mandi.

Ironisnya, di sisi lain, saat ini begitu banyak anak-anak di negeri ini yang hanya memiliki bekal pendidikan formal setingkat SMP/sederajat. Mereka tidak mampu melanjutkan sekolah ke SMA/sederajat, karena -- seperti sudah menjadi rahasia umum -- pendidikan setingkat SMA terbilang mahal, sementara kondisi ekonomi keluarganya pas-pasan, kalau pun tidak dikatakan di bawah garis kemiskinan.

Hal itu terlihat dari angka partisipasi kasar (APK) tingkat SMA/sederajat. Pada 2008 misalnya, pemerintah mentargetkan APK nasional untuk tingkat SMA itu 68,02%. Target ini dihampir semua provinsi tidak tercapai. Begitu juga tahun lalu, sami mawon.

Karena itulah seharusnya saat ini kita sudah menginjak Wajib Belajar Pendidikan 12 Tahun. Sebab logikanya, dengan Wajar 12 tahun, semua anak di negeri ini baik dari kalangan kaum berada maupun kaum papa, bisa mengenyam pendidikan formal minimal hingga tamat SMA/sederajat.

Tentu dengan bekal pendidikan menengah mereka bisa memasuki dunia kerja dengan penghasilan relatif memadai. Atau kalau pun bekerja secara mandiri (wiraswasta) mereka telah memiliki bekal ilmu pengetahuan yang bisa diandalkan. Hal ini pada gilirannya, bagi mereka yang berasal dari keluarga miskin misalnya, akan mampu memutus tali kemiskinan yang selama ini menjerat keluarganya.

Tapi yang terjadi sekarang, pemerintah masih berkutat dengan Wajar Dikdas 9 Tahun, dan entah sampai kapan. Padahal, harus diakui, pelaksanaan Wajar 9 Tahun telah cukup berhasil. APK-nya secara nasional telah mencapai 93%. Ini karena memang dengan wajib belajar, semua biaya operasional sekolah ditanggung negara, sehingga biaya pendidikan dasar menjadi sangat murah.

Masalahnya bagi masyarakat miskin: apa yang harus dilakukan setelah mereka bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga lulus SMP? Membiarkan mereka menjadi pengangguran? Atau, untuk anak perempuan, haruskah mereka disuruh menikah, sekalipun bertentangan dengan UU Perkawinan karena usianya belum cukup dewasa?

Itulah persoalannya. Sehingga pertanyaan ke mana setelah lulus SMP, bagi anak dari keluarga kurang mampu, bisa berimplikasi pada persoalan sosial yang lebih kompleks.

Memang diakui, dalam beberapa tahun belakangan ini pemerintah telah berupaya meningkatkan program beasiswa agar anak-anak dari keluarga miskin tetap bisa melanjutkan pendidikannya ke SMA/sederajat. Juga beberapa institusi kemasyarakan dan perusahaan-perusahaan besar, kerap memberikan bantuan pendidikan semacam itu. Tapi program beasiswa tampaknya kurang efektif, karena hanya terbatas pada siswa yang dianggap pintar atau berprestasi.

Bagi yang tidak pintar -- sekalipun tidak bodoh -- akan sulit mendapatkan bantuan biaya. Kalau kebetulan mereka berasal dari keluarga miskin, tentu tak bisa melanjutkan sekolah. Sebab biaya pendidikan SMA/sederajat sangat mahal. Biaya yang harus dikeluarkan, bukan saja iuran bulanan, tapi juga iuran OSIS, kursus komputer, uang bangunan dan iuran lain yang seluruhannya bisa mencapai jutaan rupiah.

Sekolah setingkat SMA mana saat ini yang tidak memungut dana bangunan? Untuk swasta dimaklumi, karena penyelenggaraan pendidikan di sekolah swasta tergantung masyarakat. Tapi untuk sekolah negeri, sangat aneh bila biaya pendidikan sangat mahal.

Karena itulah Wajar Pendidikan 12 Tahun perlu segera dilaksanakan. Di beberapa daerah sudah ada kebijakan gubernur yang “mendahului” pemerintah pusat. Sebutlah Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo, yang kini sudah mencanangkan Wajar 12 Tahun. Di Jawa Barat juga mulai dirintis, sekalipun belum berupa Wajar 12 Tahun. Gubernurnya, Ahmad Heriawan, mulai 2009, mengucurkan bantuan semacam BOS kepada setiap siswa SMA/sederajat Rp180.000,00/tahun.

Bagaimana dengan pemerintah pusat? Apakah dengan anggaran pendidikan yang mencapai 20% dari total APBN, Wajar 12 Tahun belum bisa dilaksanakan? Memang Wajar 12 Tahun butuh dana sangat besar. Sebab dengan mewajibkan semua lulusan SMP/sederajat melanjutkan ke SMA/sederajat, dibutuhkan ruang kelas baru, tambahan guru, buku paket, alat peraga dan hal lain yang menunjang proses pembelajaran. Tapi apakah dengan dalih keterbatasan anggaran, Wajar 12 Tahun belum bisa mulai?

Agaknya bukan karena persoalan anggaran bila pemerintah belum berniat melaksanakan Wajar 12 Tahun secara nasional. Tapi karena pemerintah “ketelikung” oleh undang-undang yang dibuatnya sendiri, kalau pun tidak dikatakan “sengaja”. Seperti Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang telah disahkan DPR, beberapa pekan lalu.

Pemerintah melalui UU itu menguatkan “keinginannya” bahwa hanya pendidikan dasar yang seluruh biayanya ditanggung negara (Pasal 41, ayat 1). Sedangkan untuk pendidikan menengah, yang ditanggung negara hanyalah biaya investasi, beasiswa dan bantuan biaya pendidikan (Pasal 41, ayat 3).

Sementara untuk biaya operasional, pemerintah hanya membantu paling sedikit sepertiganya (Pasal 41, ayat 4). Tapi pada ayat 8 (Pasal 41) justru disebutkan peserta didik menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan paling banyak sepertiga dari biaya operasional. Ini agak rancu dengan ayat sebelumnya. Tapi mungkin ada pengertian yang berbeda antara “biaya penyelenggaraan pendidikan” dengan “biaya operasional pendidikan”.

Yang jelas dengan adanya UU BHP, yang menuai pro-kontra itu, pendidikan SMA/sederajat masih akan sangat mahal. Karena sekolah diberi peluang untuk memungut dana dari peserta didik, dan dengan kemandiriannya bukan tidak mungkin sekolah meng-mark-up biaya penyelenggaraan pendidikan untuk menentukan kisaran biaya “paling banyak sepertiga dari biaya operasional” yang nanti dibebankan kepada siswa.

Lalu, apakah pendidikan murah SMA/sederajat melalui Wajar 12 Tahun hanya akan menjadi sebuah impian? Sesungguhnya kalau sekarang mayoritas masyarakat merasakan pendidikan sebagai sesuatu yang mahal, itu karena pemerintah memang tidak menjadikan pendidikan sebagai hal yang murah. Pendidikan hanya menjadi hak orang-orang mampu, dan karena itu masyarakat miskin agaknya akan terus terpinggirkan.

6 komentar:

NENSA MOON mengatakan...

Sudah menjadi satu kenyataan yg tak dapat dipungkiri, bahwa kini sekolah menjadi satu kebutuhan yg sangat 'mahal', apalagi jika ingin memilih sekolah yang bagus, terlepas sekolah itu negri atoupun swasta... semakin hari semakin mahal...
Tak terbayangkan bagaimana nasib bangsa ini di masa mendatang...
Akankah setiap warga bisa menikmati pendidikan yg layak di negri ini...??

Saya sangat setuju dengan program 'wajar 12 tahun'
Semoga pemerintah bisa segera merealisasikannya.

ARUS RASYID mengatakan...

Terima kasih atas komentarnya. O ya, saya juga udah ganti kotak unek-unek itu sesuai saran Bu Nensa. Waktu saya buat sutbok itu, emang link-nya ga jalan. Saya pikir, belum jalan aja, maklum serba kurang paham. Tapi ternyata ga jalan, entah ada yang salah saat saya kopas, atau gimana. Yang penting, ganti aja. Apalagi tampilan kotak unek-unek c-box lebih bagus. Sekali lagi terima kasih ya

prudentialblog mengatakan...

Hmmm, masalah pendidikan ya....
Masalah ini adalah masalah yang bisa terbilang pelik di negeri kita. Sebagian masyarakat berpikir gagalnya sistem pendidikan di Indonesia adalah karena ketidakbecusan pemerintah mengakomodir masalah ini.

Mungkin pendapat tersebut ada benarnya, tetapi lihat dan amati "minat" masyarakat untuk menjadi kaum terdidik, rendah... Dengan alasan tidak punya biaya, mereka lantas menyalahkan pemerintah yang tidak bisa menampung masalahnya.

Pandangan masyarakat tentang pendidikan banyak yang keliru, selama ini yang dimaksud dengan pendidikan adalah sekolah. Sekolah dan sekolah. Padahal ilmu disekolah (fakta saja), apalagi sekolah umum masih terlalu mentah untuk diaplikasikan. Sehingga lulusan sekolah umum banyak yang mentah skill.

Mungkin yang diperlukan oleh mayarakat ekonomi rendah bukan sekolah level tinggi, sedang, atau seperti wajar 9 12 tahun, tetapi adalah pendidikan dan pembelajaran keahlian dan enterpreneurship.

Ini sangan bertentangan dengan tujuan pendidikan sekolah di Indonesia yang menciptakan 'calon pekerja', bukan menciptakan pembuat kerja. Kualitas pengajar yang pas-pasan juga menjadi masalah disini. Boro-boro menciptakan manusia baru yang punya jiwa enterpreneur, gurunya saja masih kolot dan (maaf) tidak punya jiwa enterpreneur tadi....

Kalau untuk masalah biaya selajar, itu memang masalah, tapi jika dilihat dari kenyataannya dimasyarakat yang salah bukan pada besar atau kecilnya pendapatan mereka, tetapi pada pengaturan keuangan mereka.

Mereka (masyarakat) dengan penghasilan 800rb-1jt misalnya lebih suka kredit motor daripada menabung untuk biaya pendidikan anaknya. Apa ini bisa disebut sebagai masyarakat yang sadar pendidikan?

Maaf pak, kepanjangan....terimakasih.
Saya menawarkan untuk tukeran link, boleh?

ARUS RASYID mengatakan...

Sebuah komentar yang menarik. Mudah-mudahan seiring waktu, akan terjadi perubahan pada kebiasaan umum masyarakat kita dalam memandang makna pendidikan. Cuma saja pemerintah sendiri, belakangan ini, agaknya sengaja mengarahkan out put pendidikan kita sebagai lulusan siap kerja, terbukti dengan diperbanyaknya SMK. Jadi susah ya? Atau pandangan saya seperti itu, keliru?
Sekali lagi,trims atas komentarnya.

Land of Oase mengatakan...

Duh Kang... hati saya makin bergejolak... makin prihatin dengan kondisi bangsa kita. Setuju dengan program Wajar 12 Tahun. Sampai pada titik tertentu jika kondisi ini tidak ada salurannya bisa menjadi krisis sosial. Saya skarang berfikir bgaimana membantu mengatasi persoalan ini... hmmm...

Anonim mengatakan...

makasih posted'y. . .

Posting Komentar