Lalu Semuanya Berubah (8)

Dikisahkan sebelumnya, Jaja yang mantan napi Nusakambangan, mulai menjalani hidup baru di desa tempat kalahirannya yang sedang dilanda kemarau panjang. Berikut kelanjutan novel “Lalu Semuanya Berubah”:

Dari tepas rumah, Jaja menatap anaknya berangkat ke sekolah. Buku-buku dan pensil yang dimasukkan ke dalam kantung pelastik bekas, diapit tangan kirinya. Sepatu karet yang sudah tak jelas warnanya, membungkus kedua telapak kaki anak itu.

“Anakku mungkin tak setahun sekali dibelikan sepatu. Mungkin dua atau tiga tahun sepatunya itu baru diganti. Itu pun bila sepatu yang ada sudah tak bisa digunakan lagi. Di rumah ini memang tak kutemukan sepatu lain,” pikir Jaja.

Seragamnya sama dengan sepatunya itu: lusuh. Jaja tahu itulah satu-satunya seragam sekolah anak perempuannya. Memang Jaja melihat ada dua pasang kemeja dan rok yang tergantung pada paku di kamar Nenek. Tapi keduanya sudah sobek-sobek, ditambah noda-noda hitam bekas getah pohon pisang. Inah tentu tak mau mengenakan seragam tersebut. Atau sangat mungkin dilarang oleh Nenek. Sebab tidak pantas ke sekolah dengan pakaian seragam yang lebih mirip kain lap itu.

Seragam yang kini dikenakannya, kata Nenek, dibeli tahun lalu, beberapa hari menjelang samen atau perayaan kenaikan kelas. “Uangnya pemberian Mae yang dititipkan kepada Suti,” kata Nenek.

Benar-tidaknya perkataan Nenek, Jaja tidak tahu. Mungkin uang itut sebetulnya bukan dari Mae. Akan tetapi dari Suti sendiri, yang lalu dikatakan kepada Nenek sebagai titipan dari Mae.

Alasannya mungkin karena istri keempat Wak Duriat itu, tidak ingin menyinggung perasaan Nenek; menganggap Nenek tak mampu membelikan pakaian seragam buyutnya. Padahal pemberian itu sendiri dimaksudkan sebagai rasa sayangnya kepada Inah. Sebab Suti belum memiliki turunan dari Si Tua Bangka itu, sekalipun pernikahan mereka sudah berjalan cukup lama. Entah karena Suti yang mandul, entah karena Si Tua Bangka itu yang sudah terlalu renta. Yang jelas, naluri keibuan Suti tampaknya disalurkan kepada Inah.

“Aku tidak mengerti kenapa Suti bisa bertahan menjadi istri Si Tua Bangka itu,” pikir Jaja. Tapi kemudian disadarinya pertanyaan semacam itu tak pantas ia cetuskan.

“Tak semestinya aku tahu urusan-dalam orang lain. Tak semestinya aku menyelidiki mereka, meski aku pernah bertemu dengan perempuan hitam manis itu dua kali, sejak aku kembali ke desa ini. Meski perempuan itu, kata Nenek, punya perhatian besar terhadap anakku, tetapi tidak berarti aku lalu punya hak untuk menanyakan, misalnya, kenapa masih juga mau menjadi istri Wak Duriat padahal ia sudah sangat renta.

“Cuma yang ingin aku tanyakan nanti – ini pun bila aku tidak lupa atau punya keberanaian untuk bercakap-cakap dengan istri keempat Si Tua Bangka itu – adalah: Apakah perhatiannya yang besar terhadap anakku itu lantaran ia begitu merindukan kehadiran seorang anak? Atau – ini yang aku takutkan – perhatiannya itu disebabkan bahwa Inah sebetulnya darah-daging Si Tua Bangka? Dan Suti dibebani tugas untuk menjaga Inah oleh suaminya itu?” renung Jaja.

Bila ya? Jaja tak dapat membayangkan kehancuran macam apa yang akan ia hadapi. Sekarang saja Jaja masih kerap dihinggapi keraguan atas status dirinya sebagai ayah anak itu, dan karenanya tak jarang batin Jaja merasa amat tersiksa.

“Ya, aku belum merasa sepenuhnya percaya bahwa Inah darah-dagingku, sekalipun aku telah berusaha keras meyakininya,” pikir Jaja. Upaya Jaja mengikatkan tali batinnya dengan bocah itu memang selalu terganggu oleh bayangan Si Tua Bangka itu.

“Ja!” Suara Nenek membuyarkan lamunannya.
Jaja berpaling ke belakang. Tampak perempuan tua itu berdiri di ambang pintu. Tangannya memegang sepotong pakaian. Mungkin pakaian milik Inah karena ukurannya terlihat kecil.

“Ke sawah-lah, Ja! Tengok kebun singkong kita,” kata Nenek seraya duduk di hadapan Jaja. Pakaian berwarna kuning dengan motif kembang-kembang kecil itu, dibolak-balik. Nenek menemukan sobekan-sobekan pada bagian ketiak. Lalu sambil menjahit pakaian itu ujarnya lagi, “Ketimbang diam di rumah, tengoklah tanaman ketela itu. Kau siangi rumput-rumputnya. Lumayan, Ja, untuk nyambung-nyambung hidup sampai sawah kita bisa ditanami padi.”

“Tapi Nek, kemarau kelihatannya masih panjang. Mungkin masih tiga atau empat bulan lagi.”

“He, jangan mendahului Gusti Alloh! Siapa tahu esok atau lusa hujan mulai turun, dan kau dapat segera mencangkul sawah. Tanaman ketelanya dapat kau panen.”

Tidak salah pendapat Nenek, pikir Jaja. Tuhan bisa kapan saja menurunkan rahmat-Nya berupa hujan dari langit. Hanya saja sampai hari ini, Jaja belum melihat tanda-tanda kemarau akan segera berakhir. Langit masih terlalu biru.

“Sudahlah, Ja, jangan kau pikirkan itu! Kita berdoa semoga kemarau cepat berakhir,” lanjut Nenek, lalo menatap ujung langit sebelah utara. Baju Inah yang dijahitnya sudah selesai.

Jaja mengikuti pandangan Nenek. Ia mencoba mencari-cari awan hitam. Tapi yang tampak birunya langit kemarau. Di beberapa sudut memang terdapat awan putih, membentuk gumpalan-gumpalan. Mirip gelombang Laut Kidul yang bergerak menuju pantai, seperti yang setiap saat Jaja saksikan semasa masih dikurung di Nusakambangan. Gumpalan-gumpalan awan putih itu, sama menakutkannya dengan debur ombak samudera.

“Ayo. Pergilah, Ja! Pada jam-jam begini banyak kambing merusak tanaman ketele. Melahap daun-daunnya. Bisa habis kalau dibiarkan. Pergilah, Ja!” Nenek menyuruh cucunya itu ketika dilihatnya Jaja masih termangu.

Agak malas Jaja berdiri. Melangkah ke dalam kamar. Mengganti kemeja dengan kaus oblong abu-abu. Lalu mengenakan celana komprang hitam, kepunyaannya sendiri yang ia beli dari seorang pedagang keliling, delapan tahun silam. Celana komprang itu baru dua kali Jaja pakai. Sebab ia keburu digiring petugas berseragam. Namun rupanya Nenek masih menyimpan celana komprang itu, hingga sekarang.

Jaja mengambil parang dan golok dari dapur. Lalu melangkah ke luar. Menelusuri pematang-pematang sawah yang mengeras bagai batu cadas. Kadang-kadang Jaja turun ke sawah, mengambil jalan pintas. Tanah yang dulu gembur, kini mengeras. Gersang. Hanya kerokot yang bisa tumbuh di pesawahan itu.

Jaring laba-laba banyak terpasang di antara ilalang dan jerami kering. Atau di antara pohon ketela yang sudah lama mati. Nyamuk dan capung acapkali terjebak di sana. Jaja membayangkan bagaimana mereka menggerinjal-gerinjal mencoba membebaskan diri. Tapi jaring laba-laba yang memiliki kemampuan merekat setiap benda yang terjerat di situ, akhirnya membuat capung dan nyamuk kehabisan tenaga. Lalu mati. Sementara sang laba-laba merayap mendakati mangsanya. Untuk beberapa hari ia tak perlu susah-susah mencari makanan.

Ya. Suatu kehendak alam. Bila nasibnya bagus, laba-laba tersebut bisa bertelur. Lalu menetes. Tumbuh. Terus bertelur lagi, beranak-pinak. Tapi kadangkala nasib buruk lebih kejam. Burung-burung, kadal dan ular sawah akan memangsa mereka. Atau dibinasakan tangan-tangan jahil gembala kecil. Anak panah yang terbuat dari rumput jago, akan memanggang laba-laba itu sesaat setelah mulut si gembala kecil meniup sumpit tamiang dengan sekuat tenaga. Dulu, Jaja pun suka begitu.

Di antara dahan randu, sepasang burung gagak hitam tengah menjerit-jerit. Bersahutan dengan sepasang gagak lain yang bertengger di atas daun kelapa. Kata orang-orang tua, itu pertanda kemarau masih panjang. Jeritan mereka seolah-olah sedang mengetuk pintu langit agar hujan segera turun.

Pada sepetak sawah di sudut timur lembah, asap putih kehitaman membumbung ke angkasa. Angin menebarkannya ke arah utara dan barat laut. Dengan latar belakang langit yang biru, asap itu menjelma menjadi pemandangan indah. Kadang membentuk gelombang laut. Kadang pula menyebar menjadi garis-garis tipis. Lembut. Mungkin saja punya makna. Tapi Jaja tak tahu apa.

Asap-asap itu muncul dari sebuah pembakaran ilalang dan jerami kering. Ada seorang petani di sana sedang menimbun-nimbun ilalang dan jerami kering hasil babatannya. Tentu ia bermaksud kalau hujan mulai turun ia bisa langsung mencangkul sawah.

Jaja terus berjalan melalui beberapa sawah yang ditanami ketela pohon. Beberapa wanita terlihat sedang membersihkan rumput-rumput dengan parangnya. Tapi tak seorang pun menyapa Jaja. Baru kemudian, sebuah panggilan yang nyaris berbaur dengau desau angin pada ilalang kering, memaksa Jaja berpaling ke arah kanan. Di sana, di atas bale-bale sebuah saung, tampak seorang wanita sebaya Mae. Bulu matanya terkejap-kejap tertimpa sinar matahari yang mulai menyengat.

Di-alah Suti, istri keempat Wak Duriat. Perempuan teman sepermainan Mae. Perempuan yang kata Nenek punya perhatian yang besar terhadap Inah.

“Ke sawah, Kang?” sapanya.
Jaja mengangguk. Sapaan semacam itu, kalau tidak salah, pernah empat kali dicetuskan Suti. Semuanya muncul saat Jaja mencari Inah. Terasa aneh sebetulnya disaat para tetangga tak pernah benar-benar menganggap Jaja pulang ke desa itu, Suti justru bertindak ramah.

“Mampir dulu, Kang!”
Pada bale-bale di saung itu, Jaja melihat dua buah rantang dan velves air. Di sampingnya tergeletak parang. Seperti perempuan lain di desa itu, Suti pun suka turun ke sawah.
“Ayo, mampir dulu!”

“Terima kasih, Ceu! Saya harus segera menengok sawah,” ujar Jaja. Dia menyebut “ceu” lantaran Suti merupakan istri Wak Duriat.

Jaja kembali melanjutkan langkahnya tanpa menunggu ucapan perempuan itu lagi. Tapi Jaja meresa, Ceu Suti sedang menatapinya. Naluri kelelakian Jaja menganggap bahwa sapaan-sapaan perempuan itu tak sekedar sapaan keramahan biasa. Ada lebihnya. Tapi entah apa. Mungkin semacam keramahan yang dulu Jaja rasakan saat bertemu Mae.
Atau, tidakkah itu sekedar angan-angan Jaja? Boleh jadi. Jaja memang terlalu lama tak mengenal perempuan secara pribadi.

Benar kata Nenek.
Pohon-pohon ketela yang letaknya berada di pinggir pematang sawah, hamper tak lagi berdaun. Tentu kambing-kambing jahanam itu yang telah melahapnya. Jaja lalu memandang ke sekeliling, kalau-kalau jahanam itu masih ada di sekitar tanaman singkong. Lalu matanya menatap beberapa pohon ketela di sudut sawah sebelah kiri, yang tampak bergerak-gerak.

Itu dia!
Jaja meraih sebuah batu. Perlahan mengendap mendekati tempat itu. Daun-daun ketela menghalangi pandangannya. Jaja hanya bisa melihat bayangan putih. Ia terus mendekat, sampai kira-kira tujuh meter.

“Mesti kepalanya yang aku hajar,” pikir Jaja. Tangannya yang menggenggam batu, siap digerakkan ketika sedetik kemudian bayangan putih itu tiba-tiba meloncat ke luar dari rimbunnya ketela pohon. Kemudian lari dengan cepat.

Jaja terbelalak. Pandangannya tak berkedip pada bocah kecil yang lari tunggang-lenggang. Lalu dilihatnya tempat anak itu tadi bersembunyi. Tampak sebatang ketela tersandar pada ketela lainnya. Akar-akarnya sudah tercabut. Ubi-ubinya yang sebesar ibu jari kaki, masih utuh. Belum satu pun yang sempat diambil bocah itu.

Jaja tercengang. Ada penyesalan kenapa Jaja telah berbuat demikian kejam. Bocah itu mungkin butuh makanan tambahan. Atau lebih buruk lagi, perutnya sama sekali belum diisi sepotong makanan apapun. Kemarau memang telah menjadikan paceklik seisi desa.

Bocah itu sudah lenyap. Entah lari kemana. Padahal lembah itu cukup datar, sehingga mustahil kalau ia sudah mencapai tepi bukit. Mungkin ia bersembunyi di saung itu. Jaja membayangkan: tubuhnya tergeletak di bale-bale. Dadanya turun-naik. Keringat berbintik-bintik di seputar wajahnya. Atau mungkin sepasang matanya tengah mengintip dari celah dinding saung, kalau-kalau Jaja mengejarnya.

Jaja lalu mendekat ke saung yang dibangun Bapak, lebih dua puluh tahun silam. Ia menjatuhkan pantatnya pada bale-bale yang sudah usang. Atapnya yang terbuat dari ijuk, bocor di sana sini. Nenek rupanya belum pernah memperbaikinya. Padahal biasanya setahun sekali Bapak membetulkannya, terutama ketika musim hujan tiba.

Pada saat padi mulai menguning, kadang-kadang Bapak tidur di saung itu. Dulu, semasa Jaja masih kecil, tidak tahu maksud Bapak tidur di sana. Baru ketika ia duduk di bangke kelas empat SD, Jaja mulai paham: Bapak menunggu padi semalaman karena sering terjadi pencurian. Siangnya pun kadangkala Bapak tidak pulang. Sebab banyak burung pipit yang menyerbu tanaman padi.

Jaja senang kalau Emak menyuruhnya mengantarkan nasi buat Bapak. Sebab sekalipun Jaja sudah makan di rumah, bersama Bapak di saung itu ia bisa bisa makan lagi.

Ke saung itu pula, dulu, Jaja sering mengajak Mae. Hanya sekedar untuk ngobrol, atau saling terpaku menatap sawah-sawah. Seakan-akan mereka tengah bersepakat menancapkan seluruh jiwa raganya pada sawah-sawah itu.

“Me, tak ingatkah kau padaku?” bisik Jaja di antara gemerisiknya daun-daun ketela yang terterpa angin. (Bersambung)

1 komentar:

rahmatea mengatakan...

di antos ah sambungan nana........

Posting Komentar