Dung Dituduh Membunuh Istrinya

Dung diinterogasi Polisi.
“Sebelum berangkat ke kantor tadi pagi, Saudara bertengkar dulu dengan istri; betul itu?”
“Ya, Pak.”

“Coba katakana apa yang Saudara pertengkarkan dengan istri Saudara tersebut? Sejujur-jujurnya!”
“E-e-e, saya kira… saya kira, itu terlalu pribadi, Pak.”

“Mungkin begitu. Tapi keterangan-keterangan Saudara, penting bagi penyidikan kami selanjutnya, untuk kemudian kami bisa menyimpulkan sementara apakah Saudara terlibat dalam kasus ini….”

“Saya tidak terlibat, Pak,” potong Dung cepat.
“Boleh jadi. Mungkin saja Saudara tidak terlibat. Tapi mungkin juga Saudara sebetulnya terlibat. Untuk saat ini, terlibat atau tidak, belum dapat diputuskan. Itulah, kami butuh keterangan Saudara, soal pribadi sekalipun. Kami ingin, Saudara terbuka.”

Dung diam.
“Soal mertua, mungkin,” pancing Polisi.
Dung mengangkat bahu.
“Soal anak?”
“Kami belum punya anak.”

“Lalu?”
“Istri saya minta cerai.”
“Tuh, itu kan soal biasa. Bukan soal pribadi.”
“Ya, memang. Tapi penyebabnya itu… penyebabnya….”

“Saudara kepergok nyeleweng?”
Dung menggelengkan kepala. Lalu tercenung. Di depan matanya muncul sebentuk bayangan dari peristiwa setahun lalu. Waktu itu Dung sedang mengendarai sepeda motornya, pulang dari kantor. Jalan yang dipakainya sebetulnya tidak terlalu ramai. Motor Dung sendiri melaju sewajarnya.

Tapi tiba-tiba entah dari mana datangnya (Dung habis melirik sebuah poster iklan sabun di mana tergambar perempuan cantik di antara buih-buih busa, yang terpasang di sebelah kananj jalan), di depan motornya muncul sebuah sedan dengan kecepatan tinggi. Dan Dung tak bisa mengelak. Dung tertabrak. Dung digotong ke rumah sakit. Sebulan Dung dirawat. Tapi kuka-luka yang dideritanya, boleh dibilang tidak terlalu parah. Patah tulang pun tidak ada. Cuma sobek-sobek di beberapa bagian tubuhnya. Dung sehat. Dung pulang ke rumah.

Namun kemudian Dung merasakan ada sesuatu yang tidak beres pada salah satu bagian tubuhnya. Itu diketahui Dung pada suatu malam. Ya, Dung tak mampu melakukan tugasnya sebagai seorang suami. Dung terkejut. Istrinya terheran-heran. Hampir semalaman keduanya tak dapat memicingkan mata.

Ketika keesokan harinya Dung, yang diantar istrinya, periksakan diri ke dokter, Dung mendapat penjelasan bahwa impotensi tersebut tiada lain akibat kecelakaan motor itu. Tapi Dung tidak mengerti, kenapa dokter yang menanganinya di rumah sakit, tidak mengatakannya. Mungkinkah dokter, untuk sementara, tak mau menambah penderitaan Dung? Ataukah gejala itu muncul tiba-tiba oleh suatu sebab psikologis yang tak disadari Dung?

Ketika Dung melemparkan pertanyaan-pertanyaan itu kepada dokter yang kini memeriksanya, Dung cuma mendapat penjelasan singkat, “Impotensi itu bisa disembuhkan. Asal bapak dan ibu bersabar, bersama-sama mengatasinya.”

Berhari, berminggu, berbulan, Dung dan istrinya berobat ke dokter. Setiap kali kupingnya mendengar ada dokter ahli yang dapat menyembuhkan penyakitnya, Dung dan istrinya datangi. Tabib dan dukun pun mereka kunjungi. Berbagai ramuan tradisional Dung minum. Tapi sayang penyakitnya itu belum kunjung sembuh. Dan pada bulan ketujuh sejak impotensi diderita Dung, istrinya sudah menunjukkan gejala-gejala `memudarnya cinta`.

Mula-mula istrinya tidak lagi menyediakan nasi gorong ketika Dung akan berangkat ke kantor. Kemudian Dung sering menjumpai istrinya tak ada di rumah ketika Dung pulang dari kantor.

Pada bulan kesembilan, peledak pertama ditembakkan istrinya, “Aku minta cerai, Mas.” Rupa-rupa dalih dan alasan menyertai permintaan tersebut. Dan itu diulang dan diulang kembali pada minggu-minggu berikutnya.

Dung amat mencintai istrinya. Dung tak bisa membayangkan apa yang terjadi pada dirinya bila istrinya ia cerai. Karena itu, rasanya mustahil Dung bisa memenuhi permintaanya. Situasi yang tidak seirama ini, membuat keduanya bersitegang. Dung dan istrinya kemudian sering bertengkar.

Dung masih tercenung. Dung bingung apa mesti semua itu diceritakan kepada Polisi? Dung sebetulnya tak ingin rahasia dirinya terungkap. Dung malu.

“Kita dibatai waktu,” ujar Polisi seraya mendorong tubuhnya ke depan, menatap Dung dengan tajam. Dan Dung bisa melihat, kesabaran Polisi itu sudah berkurang. Katanya lagi penuh tekanan, “Kami minta Saudara….”
“Ya, Pak.”

“Saudara jangan menyulitkan penyidikan ini.”
“Ya, Pak”
“Saudara mesti terbuka segalanya, agar kami bisa menilai sejauh mana keterlibatan Saudara dalam kasus ini.”
“Saya tidak terlibat, Pak.”

“Ya, Saudara memang tidak t-e-r-l-i-b-a-t,” dingin sekali ucapan Polisi itu, serasa menusuk jantung Dung. Tekanan pada kata `terlibat` membuat Dung gelisah. Lanjut Polisi dengan ekspresi wajah yang menyimpan kekesalan, “Saudara memang tidak terlibat atas kasus yang dilakukan orang lain. Tidak pula Saudara melibatkan seseorang. Tapi Saudara adalah pelaku t-u-n-g-g-a-l kasus ini.”
“Bu-bukan, Pak!”

“Saudara sebenarnya telah lama merencanakan sesuatu.
Dung panas dingin.

“Selama tiga bulan ini, setiap kali istri Saudara minta cerai, Saudara selalu melontarkan kata-kata ancaman. Saudara tak hanya tidak mau menceraikan istri, tapi juga Saudara sangat kesal, tersinggung serta marah setiap kali istri Saudara minta cerai dengan alasan Saudara impoten.”
Dung sesaat terkesiap.

“Impotensi. Ya, impotensi yang diderita Saudara sekarang inilah yang membuat Saudara sering bertengkar dengan istri; yang membuat Saudara dengan mudahnya meluncurkan kata-kata ancaman.”
Dung menunduk.

“Pada pertengkaran tadi pagi, Saudara tidak hanya mengancam, tapi sekaligus membuktikannya.”
Dung mengangkat wajahnya kembali. Dung menatap Polisi.

“Tadi pagi Saudara telah membunuh istri Saudara sendiri.” Polisi itu lalu mengeluarkan sesuatu dari laci mejanya. “Sidik jari Saudara ada di pisau ini.”

“Mustahil, Pak! Mustahil sekali saya membunuh istri saya sendiri.” Dung sebenarnya ingin mengatakan itu. Tapi keburu tersekat di tenggorokannya oleh karena tuduhan Polisi itu terlalu menyakitkan. Pikir Dung, “Bagaimana mungkin saya membunuh Marina; saya begitu mencintainya.”

Dan tuduhan itu merupakan yang kesekian kalinya. Yang pertama saja didengar Dung di kantornya beberapa jam lalu, yakni ketika tiga orang polisi datang ke sana seraya menyodorkan surat penangkapan. Tentu saja Dung tidak mengerti ketika itu. Rekan-rekannya pun saling pandang. Kemudian membeliakkan matanya sesaat setelah salah seorang polisi menjelaskan bahwa Dung terlibat pembunuhan. Suara-suara keterkejutan, ketidakpercayaan dan lain-lain, menebar di kantor itu begitu Dung digiring pihak berwajib.

“Mustahil Dung membunuh. Lelaki letoy itu, seperti pernah dikatakannya kepadaku, sangat takut dengan darah. Ah, apa Dung membunuh dengan menggunakan racun, atau mencekiknya? Tidak pula aku percaya ini,” kata seorang karyawan.

“Dung lelaki baik….” Gumam karyawan lain.
“Sepengetahuanku, disakiti pun Dung tidak melawan,” timpal yang lain lagi.

“Apa Dung kesurupan? Dung jadi pembunuh karena ke dalam jiwanya masuk-menyelusup roh jahat?” kata karyawan yang duduk di sudut. Tapi tak ada tanggapan dari rekan-rekannya.

“Dung pasti dikeluarkan dari perusahaan ini,” kata lainnya.
“Itu pasti! Dung toh akan dipenjara. Dan kalau nanti sudah bebas, entah ditahun mana, Bapak Direktur pasti tidak sudi lagi menerima Dung sebagai karyawannya. Dung kan secara tidak langsung telah mencemarkan nama baik perusahaan.”

“Kasihan istrinya.” (Karyawan-karyawan itu belum tahu bahwa yang dibunuh Dung adalah istrinya.) “Pasti malu oleh tetangga punya suami pembunuh. Pasti akan minta cerai, ya? Kalau benar begitu, kita pun jadi kasihan pada Dung, ya dipenjara, ya dimintai cerai.”

Dung jadi bahan percakapan menarik hari itu. Tidak cuma di lingkungan kantornya. Tapi juga dimulut para tetangga, para polisi dan wartawan. Termasuk juga para perawat dan dokter dimana istri Dung disemayamkan untuk visum dokter.

Bagi orang-orang yang mengenal Dung, percakapan itu berkisar sekitar keterkejutan dan ketidakpercayaan atas pembunuhan yang dilakukannya. Sedangkan bagi orang-orang yang sama sekali baru mengenal dan melihat Dung, maka percakapan itu bernada sejenis ini: “Benar-benar suami edan; masak sih istri sendiri dihabisi nyawanya?”

Bahkan ada pula yang bilang, “Apa Si Dung itu tak ingat ketika malam-malam yang romantis dia memperoleh sesuatu yang menyanangkan dari istrinya? Gila sekali membalas kesenangan itu dengan darah!”

Dung sendiri agaknya menyadari dirinya digunjingkan orang. Kelihatannya malah Dung merasakan gunjingan tersebut. Sebab hampir setiap kali Dung menjawab pertanyaan-pertanyaan Polisi, Dung batuk-batuk kecil karena kabesekan (keselek). Demikian juga daun telinganya, nampak merah. Padahal Dung tidak menjewernya, atau menggisik-gisiknya. Bagi Dung, kedua pertanda itu membuktikan bahwa dirinya sedang digunjingkan orang banyak.

“Akuilah bahwa Saudara telah membunuh Marina!” kata Polisi ketika dilihatnya Dung menggeleng-gelengkan kepala sambil menatap belati di atas meja itu.
“Tidak mungkin.”

“Saudara menyangkal?”
“Saya tidak membunuh Marina, Pak” Dung sebetulnya ingin sekali mengatakan bahwa ia sendiri amat terpukul dengan kematian istrinya. Lebih-lebih kematian itu karena pembunuhan.

Kendati Dung selama beberapa bulan belakangan ini sering kesal kepada Marina oleh sebab permintaan cerai yang dibumbui kata-kata impotensi, namun Dung tetap mencintainya. Ancaman-ancaman yang Dung lontarkan pun cuma untuk menakut-nakuti, agar istrinya tidak terus-menerus minta cerai. Sebab, pikir Dung, “Mustahil saya menceraikan Marina, kalau saya masih amat mencintainya.”

“Saya mencintai istri saya Pak,” lanjut Dung, “Apa mungkin saya membunuhnya? Coba saja Bapak, apa mungkin Bapak membunuh istri Bapak sendiri kalau Bapak masih mencintainya?”

“Saudara tidak perlu bertele-tele.”
“Tapi bandingannya begitu, Pak.”
“Ini bukan forum diskusi, Saudara harus ingat itu!” tandas sekali kalimat Polisi ini. “Saudara berada di hadapan kami, karena kami butuh keterangan Saudara, bukan butuh pendapat Saudara. Kami butuh pengakuan Saudara sejujur-jujurnya. Tahu itu?”
“Ya, Pak.” Dahi dan pelipis Dung berkeringat.

“Saudara harus jujur.”
”Ya, Pak.”
“Saudara telah membunuh Marina, betul kan?”
“Tidak.”

“Apa bukti sidik jari di pisau belati ini juga Saudara sangkal?” seraya menunjuk belati itu.
“Yang itu saya akui, Pak.”
“Nah!”

“Tapi Pak, sidik jari saya itu ada di sana karena tadi pagi saya menggunakan belati tersebut buat memotong tali sepatu.”
“Tali sepatu?”

“Ya, Pak. Waktu saya pulang kembali ke rumah kira-kira jam sepuluh – saya pulang karena ada catatan yang tertinggal, yang merupakan bahan-bahan rapat hari ini -- saya kepengen buang air besar. Waktu saya akan membuka tali sepatu, ikatannya terlepas tidak seperti biasanya. Ditarik-tarik, semakin kencang. Saya dikejar waktu. Maka saya potong tali sepatu itu dengan pisau ini.”

“Tapi pisau ini bau darah. Dan hanya sidik jari Saudara satu-satunya yang ada di sini. Tidak ada sidik jari yang lain. Jelas membuktikan Saudara telah menggunakan pisau ini ketika membunuh Marina, istri Saudara sendiri.”

Dung diam. Dung sebetulnya ingin mengemukakan bahwa hal seperti itu bisa saja terjadi. Pisau itu, ketika digunakan si pembunuh, terlebih dulu dilapisi kain atau kertas atau sesuatu, sehingga sidik jarinya tidak melekat di gagang pisau, sebagaimana kejadian yang sering Dung saksikan dalam adegan film-film detektif. Tapi penjelasan itu tidak bisa meluncur dari mulutnya. Dung lebih tahu diri kini, bahwa ia tidak sedang berada dalam suatu diskusi. Lebih dari itu Dung takut dituduh menggurui polisi.

“Bukti lain,” lanjut Polisi, “Yang masuk ke rumah Saudara pada sekitar dua jam sampai mayat Marina ditemukan, tiada lain hanya Saudara sendiri. Saksi mata tidak melihat orang lain, bocah ingusan sakalipun. Hanya Saudara.”

Dung pun sebetulnya kepengen sekali menjelaskan bahwa hal seperti itu dapat saja terjadi tanpa ia sendiri terlibat kasus pembunuhan. Pikir Dung, mungkin saja si penmbunuh masuk ke rumahnya dengan nyelinap, yang membuat tak seorang pun tetangganya tahu. Atau siapa tahu, si pembunuh sudah berada di dalam rumah ketika Dung pulang sekitar jam sepuluh itu. Dan si pembunuh bersembunyi.

Atau pula – Dung terpaksa berpikir demikian – si pembunuh sebetulnya pacar gelap Marina yang kehadirannya sengaja diundang. Si Pacar lalu disembunyikan ketika Marina melihat Dung muncul tiba-tiba di rumahnya.

Pikiran yang terakhir itu terbersit oleh sebab waktu itu Dung mencium bau parfum yang khas, biasa digunakan lelaki, pada gaun yang dipakai istrinya. Lagi pula Marina seperti ketakutan.

Tapi sayang sekali Dung tidak bisa mengungkapkan semua itu. Dung cuma bisa tercenung, yang kemudian mungkin telah ditafsirkan Polisi sebagai suatu pengakuan Dung atas tuduhan tersebut. Sebab interogasi itu ditutup Polisi dengan menyuruh dua orang bawahannya yang sejak Dung duduk di kursi itu nampak siap siaga, supaya Dung dimasukkan ke dalam sel.

Lantas, apakah Marina benar dibunuh suaminya sendiri, yakni Dung, atau oleh seseorang yang tak dikenal dengan motof yang belum terungkap? Aku tidak tahu. Sebab ketika cerita ini aku tulis, kasus Dung belum disidangkan.

(Cerpen ini pernah dimuat di Harian Umum Pelita, edisi Minggu, 19 Februari 1989, dengan nama pengaranganya A.Ruslih Rasyid – nama yang saya gunakan pada karya tulis cerpen dan opini diera tahun 80-90an)

1 komentar:

NENSA MOON mengatakan...

Sangat menarik!!
Gaya bahasa dan alur ceritanya sangat memikat.
Tidak membosankan pembacanya..

Sayang kisahnya tidak tuntas...
Bagaimana nasib Dung pada akhirnya...??

Posting Komentar