Lalu Semuanya Berubah (5)

Cerita sebelumnya mengisahkan kepulangan Jaja ke desa tempat kelahirannya setelah hampir sembilan tahun menjalani hukuman di Nusakambangan. Selama sembilan tahun pula terjadi perubahan hebat di desanya, yang membuat Jaja terhenyak dan sulit mempercayainya bahwa dia ternyata punya seorang anak.Berikut kelanjutan novel “Lalu Semuanya Berubah”:

ENTAH bagaimana pula awalnya, kehadiran si bayi melahirkan cerita aneh di mulut para tetangga. Di warung, di sawah, di kebun dan tepas-tepas rumah, mendengung sepenggal kisah sekitar asal-usul si jabang bayi. Kisah ini kadang diiringi tawa-tawa kecil cekikitan.

“Hey, kau percaya bayi itu anak Si Jaja?” tanya seorang janda muda kepada temannya ketika mereka tengah memotong padi di sawah.

“Kamu sendiri percaya?”

“Percaya? Bagaimana aku bisa percaya, Si Jaja `kan tidak ada! Delapan bulan lalu telah dipenjarakan.” Ia menghentikan gerakan tangannya. Lalu berpaling kepada kawannya itu, seakan ingin meyakinkan bahwa ucapannya benar, “Aku lihat ciri-ciri orok itu lahir tidak pada waktunya. Tubuhnya kecil dan lemah. Usia kandungannya mungkin hanya tujuh atau delapan bulan kurang.”

“Tapi Mak Paraji bilang usia bayi itu genap sembilan bulan.”

“Ah, itu soal yang gampang direka-reka! Nenek pikun itu tentu saja akan mau, malah amat senang hati, bila orang tua Si Mae atau orang tua Si Jaja berpesan agar aib ditutupi. Tidak mustahil nenek pikun itu dibisiki, `Mak, bila orang-orang bertanya berapa bulan bayi itu dikandung, jawab saja sembilan bulan, ya!` Pasti begitu,” tandas janda muda itu sambil meletakkan kumpulan padi di pematang.

“Kau `kan lihat sendiri,” sambil kembali memotong padi dengan ani-aninya, “seminggu setelah Si Jaja digiring Pak Polisi, Juragan Duriat berkunjung ke rumah Si Mae. Besok dan besoknya lagi Si Tua Tukang Kawin itu kembali ke sana.”

“Itu `kan baik. Kabarnya Wak Duriat ikut menasihati Mae.”

“Bisa saja begitu. Tapi kita tidak tahu apa yang dilakukan mereka sebenarnya. Kau mesti ingat Juragan Pelit itu sudah sejak lama menginginkan Si Mae.”

“Jadi?”

“Ya itu tadi. Bayi itu hasil hubungan gelap.”

“Bayi haram?”

“Apalagi namanya kalau bukan begitu?”

Janda muda itu lantas ngikik, diikuti tawa kecil temannya. Burung-burung yang bertengger di ranting-ranting padi, terbang seketika. Suara ngikik itu, bagi burung-burung pipit itu rupanya tak beda dengan pekikan petani saat menghalau mereka.

Emak dan Bapak tidak terlalu terkejut manakala kisah aneh tersebut sampai ke telinga mereka. Tapi bukan lantaran Emak dan Bapak menganggap cerita itu benar adanya. Emak dan Bapak cuma merasa tak perlu menanggapi dongengan busuk macam itu. Emak dan Bapak hanya baru terkejut, benar-benar terkejut, ketika setahun kemudian, seseorang membawa kabar bahwa Jaja tewas di Nusakambangan.

“Jaja ditemukan mengapung di tengah ombak samudera. Jaja tadinya mau melarikan diri, bersama beberapa narapidana. Tapi samudera murka,” demikian berita itu.

Maka dunia pun kembali kelam di mata Emak, Bapak, Nenek dan Mae. Alam terasa kiamat tiba-tiba. Sawah yang luas menghampar terasa menyempit. Rumah-rumah menjadi pengap. Tak ada lagi harapan indah yang pernah terbersit.

Matahari datang dan pergi.

Panen tahun ini, tahun kelima setelah Jaja tinggal nama, tidak membawa kegembiraan bagi hampir seluruh warga desa. Karena sejak padi mulai ditanam, hujan tak lagi turun. Untunglah sisa-sisa air tanah masih mampu menumbuhkan tanaman padi, kendati amat merana. Tapi kelak, di saat hutan jati di bukit-bukit sebelah barat berubah menjadi padang ilalang, setahun setelah penebangan besar-besaran yang dilakukan pengusaha hutan, rawa-rawa kecil dengan cepat mengering.

Sawah di sekeliling desa menjadi hamparan kelabu. Bahkan beberapa bagian di antaranya tampak membatu. Rumput-rumput terbunuh. Lembah itu lalu hanya tergantung pada keramahan langit, ketika musim hujan datang, setahun sekali.

Ternyata pula bukan hanya kemarau yang telah memporak-porandakan harapan-harapan warga desa itu. Tapi juga hama. Disaat padi mulai tumbuh setinggi betis, peristiwa beberapa tahun silam kembali terjadi. Tiba-tiba beribu-ribu, bahkan mungkin berpuluh ribu, tikus bergerombol menyerang tanaman padi. Tanah yang kerontang seakan-akan menghidupkan tikus-tikus itu dari kuburnya.

Semua tercengang. Semua terbelalak.

Wajar bila warga desa lantas menghubungkannya dengan siluman ini itu. Wajar bila tikus-tikus rakus itu dianggap utusan “penghuni” Gunung Larangan. Seorang kakek, yang dianggap sesepuh di desa itu, mengatakan, “Raja Siluman Gunung Larangan akan mengadakan pesta besar-besaran. Sang Raja memerlukan makanan untuk menjamu para tamu yang datang dari pelosok Negeri Siluman.”

Seperti di mana-mana, seorang dukun multifungsi. Ia bukan hanya diserahi tugas menyembuhkan orang-orang sakit lewat rupa-rupa jampi dan mentera. Tapi juga menyembuhkan alam yang murka. Penyerangan beribu-ribu tikus, karena itu, ditangani lewat mentera dan sesaji. Maka mengepullah asap kemenyan di sudut-sudut pesawahan.

Tapi entah karena jampi mbah Dukun yang kurang mujarab, entah karena Raja Siluman itu kebal jampi dan mentera; ternyata tanaman padi itu kian hari kian rusak. Bahkan tanaman padi di sawah-sawah yang berbatasan dengan kaki bukit, habis sama sekali.

Ketika padi yang tersisa dipanen, sawah Bapak hanya menghasilkan separuh dari biasanya. Itu pun kemudian berkurang lagi setelah dijemur dan dibersihkan. Banyak gabah yang tak berbiji. Mungkin karena tak ada hujan.

Celakanya lagi, sawah yang mestinya kembali diolah, kali ini terpaksa dibiarkan. Karena hujan yang belum juga turun membuat tanah mengeras. Sawah tak bisa dicangkul. Petani-petani kuli mulai mencari sumber penghidupan lain, dan itu adalah kota.

Sementara itu, berita transmigrasi yang selama ini cuma didengar sebelah telinga, lambat-laun menyentuh kesadaran warga. Banyak yang tidak puas menyaksikan panen kali ini, yang ternyata pada tahun berikutnya terulang kembali. Banyak yang kecewa menyaksikan pasawahan itu tiba-tiba menjadi hamparan tanah gersang.

Beberapa keluarga datang ke kantor desa, mencatatkan diri sebagai calon transmigran. Sebulan kemudian mereka sudah berada di Kalimantan atau Sumatera, disambut tanah perawan yang menjanjikan kenikmatan masa depan.

Orang tua Mae termasuk kelompok pertama yang berangkat ke Kalimantan. Tapi Mae sendiri tidak mau ikut. Alasannya, “Kasihan Inah. Ia masih terlalu kecil untuk diajak merantau.” Bukan cuma itu. Di sudut hati yang paling dalam, entah mengapa, Mae merasa bahwa Jaja akan kembali ke desa, suatu saat kelak. Tapi kepada siapapun Mae tidak pernah mengungkapkan perasaannya itu. Karena memang semua orang menganggap Jaja telah meninggal.

Bapak yang tak pernah punya pikiran akan meninggalkan tanah leluhurnya, kali ini mempertimbangkan kembali keteguhannya. Bapak pun seperti yang lain, kecewa pada hasil panen yang buruk. Bapak kemudian mengutarakan keinginan itu kepada Emak.

“Bagaimana, Mak?”

Emak tak segera bisa menjawab.

“Di sini pun kita sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Tak banyak harapan pada sawah kita. Mungkin di daerah baru, kita bisa memperoleh kehidupan lebih baik.” Bapak membujuk.

“Tapi untuk siapa?” Emak mengemukakan alasan, “Kalau hanya untuk hidup kita, di sini pun kita masih bisa makan.” Emak tampaknya teramat berat meninggalkan tanah kelahirannya. Mungkin keinginan Emak, lahir dan mati tetap di tanah kelahirannya.

“Ada Si Inah, Mak! Ingat itu,” tandas Bapak. “Memang ayahnya yang semestinya bertanggung jawab. Tapi Si Jaja `kan sudah tiada. Kitalah sekarang yang harus bertanggung jawab. Nanti, bila dia sudah agak besar, kita bawa ke sana.”

“Lalu Si Mae? Dia `kan emaknya.”

“Mae masih muda, Mak. Suatu waktu ia pasti membutuhkan suami. Bapak tak mau kalau Si Inah lalu menjadi ganjalan. Bapak khawatir Si Inah kelak tidak diterima sebagaimana layaknya seorang anak. Jadi kitalah yang mesti mengurusnya.”

Emak belum menanggapi.

“Kalau sekarang kita berangkat ke sana, ada waktu dua atau tiga tahun untuk menyiapkan kehadiran si Inah, nanti. Tanah yang kita peroleh tentu sudah bisa menghasilkan. Kita sudah bisa berdiri sendiri.” Bapak kian sungguh-sungguh membujuk Emak, hingga akhirnya Emak luruh.

Maka berangkatlah mereka ke Sumatera.

Matahari datang dan pergi.

Ya. Matahari datang dan pergi menunaikan janjinya. Waktu terus bergulir seraya mencatat segala perisitiwa yang terjadi di desa itu.

Catatan penting terakhir, tentu saja, pernikahan Mae dengan seorang bujang usia empat-tiga, juru penerang kecamatan yang membawahi desa itu. Tugasnya kemudian pindah ke kecamatan lain di kabupaten lain pula.

Inah tidak dibawa. Nenek sengaja menahannya. “Biarlah Si Inah menemani Nenek di sini. Kau tengoklah dia sekali-sekali. Jangan semuanya ikut pergi.”

Dan anak itu?

Ada tangis dan penantian berkepanjangan, yang cuma oleh angin gunung tangis dan penantian itu bisa didengar. Ada kekecewaan kenapa mesti terdapat jarak antara Inah dan emaknya. Sayang, Nenek tak pernah mengerti pertanyaan seperti itu. Sedangkan Mae, mungkin terlalu bahagia hidup bersama juru penerang itu. (Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar