Cianjur Kota Perintis Pers Nasional

Belum banyak masyarakat yang tahu, bahkan mungkin bagi kalangan jurnalis sendiri, bahwa kota kecil Cianjur, Jabar, menyimpan sejarah penting dalam perkembangan pers di tanah air. Sebab ternyata, surat kabar pertama yang didirikan dan dikelola pribumi, yang penyebarannya berskala nasional serta menggunakan bahasa Melayu, terbit di Cianjur. Yakni surat kabar Soenda Berita.

Surat kabar itu kali pertama terbit pada Pebruari 1903, atau 107 tahun yang lalu. Tentu kita bertanya-tanya, bagaimana kondisi masyarakat Cianjur waktu itu (jangan samakan Cianjur sekarang dengan Cianjur seabad ke belakang), sehingga sebuah koran berskala nasional terdorong untuk terbit di kota amat kecil itu? Apakah masyarakat Cianjur saat itu sudah lebih maju ketimbang sesama kaum pribumi di dearah-daerah lain di Nusantara? Sebab surat kabar atau pers kerap berbanding lurus dengan tingkat kemajuan masyarakat.


Memang untuk memperoleh jawaban yang lebih akurat, perlu ada semacam penelitian. Namun untuk saat ini, jawaban atas pertanyaan itu agaknya bermuara pada sosok Raden Mas Tirto Adhi Soerjo dan Raden Aria Adipati Prawiradiredja II. Sosok yang disebut pertama, tak lain adalah pendiri sekaligus pengelola Soenda Berita. Sedangkan yang disebut kedua adalah Dalem atau Bupati Cianjur periode 1862-1910.

“Prawiradiredja II merupakan dalem Cianjur yang sangat kaya. Tapi dia juga memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas,” kata sejarawan dari Universitas Pajajaran (Unpad) Bandung, Prof.Dr.Hj.Nina Lubis,M.Si, pada kesempatan Resepsi Ulang Tahun PWI Ke-64 dan Hari Pers Nasional Tahun 2010 Tingkat Kabupaten Cianjur di halaman Bale Pawarti, Sekretariat PWI Perwakilan Cianjur, Rabu lalu.

Sedangkan Tirto Adhi Soerjo, lanjut Prof.Nina dalam uraian singkat sejarah berdirinya Soenda Berita, merupakan seorang wartawan dan aktivis pergerakan. “Tirto lahir di Blora pada 1880. Dia sempat mengenyam pendidikan di sekolah kedokteran di Batavia, yakni STOVIA. Tapi minatnya rupanya bukan jadi dokter. Dia lebih tertarik menjadi wartawan dan aktivis pergerakan,” katanya.

Pada awal abad ke-20, Tirto tinggal bersama kakaknya yang menjadi jaksa di Cianjur. Sehingga terjadilah perkenalan, yang berlanjut pada persahabatan erat, dengan Dalem Cianjur RAA Prawiradiredja II. Malah Sang Dalem sempat menawari Tirto untuk menjadi amtenar atau pegawai negeri. Tapi Tirto menolak. Dia tampaknya memang tidak mau menjadi birokrat.

Dari persahabatan dan seringnya dua orang itu berdiskusi, Prawiradiredja II akhirnya menangkap keinginan Tirto, dan Sang Dalem pun kembali menawarkan jasanya. Kali ini Tirto tidak menolak. Bahkan dia menyambutnya dengan sangat antusias. Karena jasa yang ditawarkan itu adalah bantuan modal untuk mendirikan surat kabar.

“Pada Pebruari 1903 terbitlah edisi pertama Soenda Berita,” kata Prof.Nina yang merupakan sejarawan yang mengusulkan Tirto Adhi Soerjo dijadikan sebagai pahlawan nasional, dan usulannya itu berhasil, sehingga pada 3 Nopember 2006 pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Tirto Adhi Soerjo. Sebelumnya, pada 1973, pemerintah pun telah menjadikan Tirto sebagai Bapak Pers Nasional.

Soenda Berita, kata Prof.Nina, termasuk surat kabar besar waktu itu. Bahkan bisa juga disebut sebagai perintis surat kabar modern di tanah air. Tirasnya mencapai 5.000 eksemplar, menyebar ke pelosok-pelosok Nusantara. Sadangkan isinya cukup beragam, antara lain politik, hukum, sosial, seni, budaya, kesehatan dan kecantikan. Iklan-iklan yang tampilnya pun cukup banyak, terutama dari perusahaan-perusahaan yang berkantor di Batavia.

“Semua tulisan dan berita yang dimuat Soenda Berita merupakan hasil karya T.A.S., kependekan dari Tirto Adhi Soerjo. Ini menunjukkan betapa luasnya wawasan dan pengetahuan Tirto,” ujar Prof.Nina.

Satu hal yang sangat menarik, katanya lagi, Tirto-lah yang memperkenalkan istilah “anak negeri” dalam tulisan-tulisannya – suatu istilah yang menunjukkan kebanggaannya sebagai pribumi yang memiliki sebuah negeri. Karena memang tulisan-tulisan Tirto dalam Soenda Berita banyak juga yang berisi kecaman kepada pemerintah kolonial Belanda. Bahkan bisa juga disebut Tirto menggunakan surat kabar itu untuk propaganda dan pembentukan pendapat umum.

“Seonda Berita saya kira ikut mempengaruhi tumbuhnya kesadaran nasional di kalangan aktivis pejuang kita tempo dulu. Malah bila dikaitkan dengan Kebangkitan Nasional yang disebut-sebut dimulai pada 1908, maka sebetulnya Tirto telah memulainya pada 1903,” kata Prof.Nina.

Sayangnya Soenda Berita hanya berusia sembilan bulan. Surat kabar berpengaruh itu terpaksa berhenti terbit, sekalipun Tirto telah berupaya keras mempertahankannya dengan cara memindahkan kantornya ke Batavia. “Koran itu kehabisan modal. Para pelanggannya yang tersebar di pelosok-pelosok Nusantara, banyak yang tidak bayar. Atau tepatnya mungkin, tidak tertagih karena jauh,” ujar Prof.Nina.

Sekarang tanda-tanda yang menunjukkan bahwa di Cianjur pernah terbit sebuah surat kabar yang cukup berpengaruh, sudah tidak ada. Rumah bekas Tirto tinggal yang sekaligus jadi kantor Seonda Bertita di dekat pertigaan Pasir Hayam, sekitar 3 km ke arah selatan dari pusat Kota Cianjur, sudah berkali-kali berpindah tangan dan sudah banyak berubah pula.

Memang Prof.Nina menyarankan agar rumah itu dijadikan cagar budaya. Saran ini mendapat respon positif dari Wakil Bupati Cianjur, Dr.H.Dadang Supianto,MM. Bahkan ia telah mengirimkan tim untuk melihat-lihat rumah itu. Namun banyak pihak ragu, Pemkab Cianjur akan menjadikan rumah itu sebagai cagar budaya. Sebab dana yang dibutuhkan tentu tidak kecil, sementara selama ini pemkab selalu mengeluh kekurangan dana untuk melaksanakan program-program pembangunan yang direncanakannya.

Ada alternatif lain, yakni membangunan semacam Monumen Soenda Beranda, dan ini sebetulnya telah digagas PWI Perwakilan Cianjur. Tapi lagi-lagi persoalannya adalah dana. Siapa yang akan mendanainya, sekalipun mungkin untuk membangun monumen seperti itu dana yang dibutuhkan tidak terlalu besar.

Atau, kalau pun monumen itu bisa dibangun, di mana harus diletakkan? Bagusnya memang di depan rumah bekas Tirto tinggal. Tapi bisakah dan maukah pemilik rumah itu (tarohlah rumah itu tak jadi cagar budaya) memberi izin pembangunan monumen di sana? Ini juga jadi persoalan yang perlu didiskusikan. Sehingga persoalan berikutnya, yakni menjadikan Cianjur sebagai Kota Perintis Pers Nasional seperti disarankan sejarawan Unpad, Prof.Nina Lubis, juga perlu didiskusikan. Sebab akan sangat tidak lucu bila di satu sisi Cianjur dijadikan Kota Perintis Pers Nasional, tapi di sisi lain tak ada tanda-tanda yang menunjukkan ke arah itu.

Atau barangkali anda punya pendapat, bagaimana seharusnya?

0 komentar:

Posting Komentar