Sid, Nisa Sakit Parah!

Terkejut, lalu tercenung. Itulah sikapku sesaat setelah membaca pesan singkat yang masuk ke hape-ku, pagi tadi.

Aku terkejut karena memang selama hampir empat tahun ini aku tak pernah memperoleh khabar tentang Nisa. Atau tepatnya barangkali, aku bersyukur selama hampir empat tahun ini tak pernah dikhabari soal Nisa. Tapi sekarang, khabar tentang Nisa tiba-tiba muncul, dan itu bukan khabar yang baik.

“Sid, Nisa sakit parah.”
Begitu bunyi pesan singkat yang dikirim Burhan, sahabat baikku. Ini juga merupakan pesan singkat yang pertama dari Burhan kepadaku selama hampir empat tahun. Dan aku sebetulnya bersyukur selama hampir empat tahun Burhan tak pernah mengirim khabar apa pun baik tentang dirinya maupun Nisa.

Tapi sekarang Burhan tiba-tiba mengabarkan Nisa sakit parah. Kapan Nisa mulai sakit? Sejak kapan pula sakitnya tambah parah? Burhan selama ini tak pernah mengabarkannya. Mungkinkah karena Burhan ingin menjaga perasaanku? Atau Nisa sendiri yang melarangnya?

Aku gamang. Apakah aku harus menjenguknya? Atau mengabaikannya? Toh bagiku sekarang Nisa bukan siapa-siapa lagi.

“Nisa semakin parah. Sekarang dirawat di rumah sakit. Jenguklah, Sid.” Burhan kembali mengirim khabar, dua hari kemudian.

Sakit apa sebetulnya perempuan itu, Burhan tidak menyebutkannya. Aku sendiri enggan untuk menanyakan soal itu. Apalagi untuk menjenguknya. Aku merasa, mengetahui khabar dan keadaan Nisa saat ini, serasa luka yang kembali nanahan. Sekejam itukah aku sekarang ini kepada perempuan itu?

Nisa. Ya, Anisa lengkapnya. Nama itu pernah melekat dan mengisi relung-relung hatiku, lima tahun lalu. Aku, Burhan dan Nisa bekerja di kantor pusat. Tapi aku dan Burhan telah lebih lama bekerja di situ. Nisa sendiri sebetulnya bisa bekerja di situ atas rekomendasi Burhan.

Awalnya aku tidak tahu Burhan dan Nisa punya hubungan khusus. Bahkan ketika aku tanya ada hubungan apa antara dia dan Nisa sehingga Burhan merekomendasikan gadis bermata bening itu bekerja di situ, Burhan hanya bilang, “Famili dekat. Ingin cari pengalaman katanya.”

Itulah kenapa aku, setelah tak mampu lagi menahan daya tariknya yang begitu dahsyat sejak dihari-hari pertama Nisa bekerja di kantorku, aku dengan ringan saja berterus-terang kepada Burhan bahwa aku naksir Nisa dan meminta Burhan untuk menyampaikannya.

“Ha ha ha…Lagi jatuh cinta rupanya. Nantilah saya sampaikan,” kata Burhan terbahak, bahkan sempat berguyon, “Tapi ingat, jangan gantung diri kalau Nisa menolak cintamu. Dia itu sepertinya jinak-jinak merpati. Ha ha ha…”

Betul memang, Nisa tak mudah diterka. Saat kami makan berdua di kantin kantor, dan aku menyinggung soal Burhan, gadis bermata bening itu langsung bilang, “Titipanmu lewat Burhan untukku telah aku terima,” lantas tersenyum. Entah apa maknanya, aku tidak dapat menterjemahkannya. Hanya saja sikapnya yang ramah kepadaku, aku rasakan murni keramahan seorang perempuan baik hati. Tak lebih tak kurang.

Tapi aku telah terlanjur jatuh cinta, dan aku tak boleh putus asa. Aku tak henti mendekatinya; mencoba menyelami jiwanya, memahami kesukaan-kesukaannya, bahkan terkadang aku sedikit bersikap atraktif untuk memancing perhatiannya.

Hasilnya tidak terlalu sia-sia. Pada bulan keempat sejak bekerja di kantorku, Nisa tampaknya mulai luruh. Dia tak lagi menolak kalau aku mengajaknya nonton di bioskop, atau makan di restoran. Dia juga tak menolak mendampingiku kalau aku mengajaknya untuk hadir pada undangan pernikahan sahabat atau familiku. Bahkan dia tersenyum kalau dalam pesta pernikahan itu ada familiku yang mengguyoninya, “O, ini rupanya calonmu itu, Sid!”

Aku pun merasa tak lagi bertepuk sebelah tangan, sekalipun belum pernah terucap kata-kata cinta dari mulutnya.

Semua proses itu diketahui Burhan. Sebab selama ini aku selalu terbuka. Malah boleh dibilang, tak ada rahasia di antara aku dan Burhan. Apalagi kami bertiga sekantor, sekalipun beda ruang kerja. Dan sejauh ini Burhan bersikap biasa-biasa saja.

Belakangan aku merasakan perubahan sikap Burhan. Terlebih lagi setelah aku minta pendapatnya kapan kira-kira waktu yang tepat untuk melamar Nisa. Saat itu aku melihat raut wajah sahabatku yang menunjukkan keterkejutan. Bahkan dihari-hari berikutnya Burhan berupaya menghindar kalau aku bercerita tentang Nisa, sampai suatu hari dia masuk ke ruang kerjaku (sejak aku dekat dengan Nisa, Burhan tak pernah lagi masuk ke ruang kerjaku untuk sekedar ngobrol ngaler-ngidul).

“Ada yang ingin saya sampaikan, dan saya rasa ini sangat penting. Tapi jangan di sini,” katanya seraya menatapku, “Bagaimana kalau sepulang kantor kita makan di restoran biasa?”

“Wah, asyik tuh! Sudah lama memang kita gak makan bersama di restoran itu,” kataku. Sejujurnya aku sangat senang dengan ajakan Burhan, sekalipun di sisi lain aku merasakan sesuatu yang janggal. Karena biasanya, kalau dia ingin mengatakan sesuatu, langsung dikatakan saat itu juga.

Kejanggalan itu masih aku rasakan saat kami sudah berada di restoran, sore harinya. Sikap Burhan tampak kaku, tidak seperti kepada seorang teman yang telah lama bersahabat baik.

“Saya tidak tahu dari mana pembicaraan ini harus dimulai. Tapi memang pembicaraan ini harus dibuka sekarang,” katanya seraya mengambil amplop putih dari saku kemejanya. “Ini ada surat dari Nisa. Tapi jangan dibaca sekarang. Saya mau cerita dulu.”

Burhan menyulut sebatang rokok. “Begini, Sid…” katanya. Maka meluncurlah cerita dari mulut Burhan -- sebuah cerita yang membuat aku tepukul, terhempas ke tempat sampah paling kotor, sekaligus membuatku sangat kecewa bercampur marah. Ingin rasanya saat itu aku menghajar Burhan habis-habisan.

Burhan tidak jujur, bahkan aku menganggap Burhan sengaja menjerumaskanku ku jurang kehancuran setelah sebelumnya aku dininabobokan. Betapa tidak, Burhan dan Nisa sejak remaja ternyata telah dijodohkan keluarganya. Bulan depan mereka akan menikah!

“Maafkan saya, Sid. Harusnya saya jujur ketika kau kali pertama bilang naksir Nisa. Bahkan harusnya saya jujur ketika kau menanyakan hubungan Nisa dengan saya terkait rekomendasi saya kepada pimpinan atas lamaran kerja Nisa. Tapi saat itu, saya dan Nisa masih berpikir, sekalipun kami dijodohkan sejak remaja, tapi kalau satu sama lain tidak saling mencintai, kami sepakat untuk bubar,” paparnya.

“Jujur saya akui, saya dan Nisa tidak saling mencintai, sehingga saya memberi kebebasan kepada Nisa untuk mencari lelaki yang benar-benar dicintainya. Dan itu adalah kau, Sid,” katanya lagi.

“Namun saya juga harus jujur bahwa saya dan Nisa datang dari keluarga kolot. Ketika kebersamaan kau dan Nisa tercium mereka dan mereka melihat kau dan Nisa tidak sekedar teman sekantor, keluarga kami berembug dengan hasil satu keputusan: kami harus segera menikah.” Burhan mengisap rokoknya dalam-dalam.

“Saya tidak bisa membantah, Sid. Nisa juga. Ada konsekwensi-konsekwensi yang tak harus saya sebutkan bila kami menolak pernikahan itu. Saya sendiri tidak tahu bagaimana jadinya rumah tangga kami nanti tanpa cinta.”

Aku benar-benar terpukul. Burhan keterlaluan. Dan Nisa, kenapa harus membuka pintu hatinya kalau memang tak mau ambil resiko: menolak rencana pernikahannya dengan Burhan, dan memilih aku sebagai pria pilihannya? Aku tak menemukan jawaban atas ketidak-mengertianku itu dalam surat Nisa yang dititipkan lewat Burhan. Nisa dalam suratnya itu hanya bercerita seperti apa yang disampaikan Burhan, lalu berulang-ulang memohon maaf kepadaku.

Semuanya terasa menyakitkan. Apalagi para penyebabnya berada satu kantor. Maka seminggu kemudian aku menghadap pimpinan, menanyakan kembali tawarannya beberapa bulan lalu tentang posisi baruku di kantor cabang di sebuah kota kecil.

Pimpinan yang juga mengetahui kondisiku, tanpa banyak bertanya lagi langsung mengeluarkan surat pemindahanku ke kantor cabang. Dan sejak itu aku mencoba melupakan Nisa dan Burhan. Memang beberapa khabar yang disampaikan Burhan, baik tentang dirinya maupun Nisa, dibulan-bulan awal kepindahanku masih sempat aku aku terima lewat pesan singkat. Tapi selanjutnya aku bersyukur Burhan, apalagi Nisa, tak lagi mengirim khabar. Toh khabar-khabar yang mereka kirim sebelumnya pun tak pernah aku tanggapi.

Sekarang setelah hampir empat tahun, Burhan mengabarkan Nisa, istrinya, sakit parah, dan berharap aku menjenguknya. Perlukah setelah perlakuannya yang teramat menyakitkan? Berat memang kalau segalanya dikaitkan dengan masa lalu. Tapi rasanya berdosa juga bila aku sama sekali tak pernah menjenguknya.

Tiga hari kemudian aku berangkat dari kota kecilku ke kota tempat tinggal Burhan dan Nisa. Aku bermaksud langsung datang ke rumah sakit. Dalam perjalanan hape-ku berbunyi menandakan ada kiriman pesan singkat. Aku buka, aku baca isinya:

“Maafkan Nisa, Sid. Tadi subuh Nisa wafat. Berhari-hari Nisa menanyakan kau. Katanya hanya ingin minta maaf, lalu mendengar langsung kau sendiri memaafkannya. Itu pula pesan terakhirnya. Saya mohon maafkan dia dengan setulus-tulusnya, Sid.”

Aku langsung terhenyak setelah membaca pesan singkat Burhan itu. Aku merasa menjadi orang paling tolol sekarang. Mestinya sejak kali pertama Burhan mengabarkan Nisa sakit parah, aku langsung menjenguknya. Mestinya aku sedikit manusiawi saat itu. Mestinya aku sudah memaafkan Nisa sejak dulu.

Rasanya sekarang aku menjadi orang yang paling berdosa.

13 komentar:

joe mengatakan...

menyedihkan, semoga cuma fiksi pak...

NENSA MOON mengatakan...

Jodoh dan mati semua berada ditangan-Nya...
Gembira, sedih, menyesal... itulah karakter manusia.
Cerpen yg menarik pa Asep, sayang ga diceritakan penyebab sakitnya Anisa..., apakah krn penyakit biasa saja atau penyakit psikis berkepanjangan karena rasa sesalnya setelah meninggalkan si tokoh Sid...' smg si tokoh tidak sia2 merasa dirinya orang yg paling berdosa...

Unknown mengatakan...

Kisah kasih yang amat menyentuh kalbu. Di jaman modern dan keterbukaan ini, ternyata masih ada yang dijodohkan oleh orang tuanya. Bagi si anak memang amat dilematis sekali untuk menolak kehendak tersebut. Susah juga kalau misalnya diusir dan tidak diakui sebagai anak. Dicap sebagai anak yang tidak berbakti kepada orang tua. Bila si anak nekad dan tidak direstui orang tua, seringkali kehidupan rumah tangganya tidak tenteram dan bahagia.
Sayang sekali Burhan dulu tidak berterus terang, sebagai sahabat karib mestinya dia memberikan informasi awal yang sesungguhnya terjadi. Kita sudah terlanjur sayang, kemudian menghadapi kenyataan itu, maka hancurlah hati kita. Luka yang tidak dapat dihapus seumur hidup karena membekas dalam alam bawah sadar kita. 'Cerpen' atau 'kisah nyata' yang amat menarik. Semoga kita dapat mengambil hikmahnya. Trims.

Ferdinand mengatakan...

Wah itu nyata atau Fiksi toh Mas.....???

Semoga cuma fiktif.... Tapi klo itu nyata ya Smoga mas sid bisa maafin NIsa....apalagi udah wafat.....

Unknown mengatakan...

menarik nih ceritanya.

Sungai Awan mengatakan...

jenguk saja gan.
Menjenguk orang sakit adalah ibadah entah dia itu kawan maupun lawan

mixedfresh mengatakan...

kisah yang menyedihkan, memang sakit jika orang yang kita cinta akhirnya menjadi milik orla teman sendiri, semoga cuma cerita fiktif aja

Rachmat blog mengatakan...

jadi ingat cerita siti nurbaya tentang kawin paksa. memberi maaf memang lebih berat dari pada meminta maaf.

Manajemen Emosi mengatakan...

udah lama banget yo mas gak kesini he he udah beda tampilan ni he he

Tihang mengatakan...

Nyata gak ini ya ??,

Blogger mengatakan...

hmmm ceritanya menarik mas banyak sisi yg bisa kita ambil sebagai pelajaran. ternyata di jaman modern seperti ini tradisi perjodohan masih juga diberlakukan pada sebagian orang. cinta memang selalu bisa merubah kehidupan manusia ya mas...
Sukses Slalu!

mampir lagi ni...lho kok belum update ni mas

Faisal Hilmi mengatakan...

Curhat nieeeeeee.. Inspiratif shob!

Posting Komentar