Pasca Kenaikan TDL Perkampungan Kembali ke Tahun 70-an

Hemat sama dengan pelit? Paling tidak begitulah pasca PLN menggulirkan token (listrik prabayar) berbarengan dengan kenaikan tarif dasar listrik (TDL). Token memang baru dioperasikan di beberapa daerah, belum menyeluruh secara nasional seperti halnya kenaikan TDL.

Di daerah saya sendiri, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, listrik prabayar itu baru dilaksanakan di wilayah Unit Pelayanan Jaringan (UPJ) Cianjur Kota. Itu pun khabarnya baru sekitar 10.000 dari sekitar 120 ribu pelanggannya. Namun dari pengguna token sebanyak itu, sangat terasa perubahannya: di malam hari banyak kampung-kampung yang kembali ke tahun 70-an.

Kok bisa begitu? Sebabnya sederhana, pelanggan listrik (pengguna token) sekarang ini benar-benar berhemat aliar ngirit. Termasuk saya. Di malam hari hanya ada tiga gantungan listrik masing-masing 5 watt yang masih menyala: satu di kamar tidur, satu di kamar mandi dan satu lagi di luar.

Lampu yang di luar, yang terangnya hanya temaram saja, dikomplen secara guyon oleh seorang tetangga saya, “Kok gak beramal lagi sekarang? Bukankah menerangi gang di malam hari itu termasuk amal kebaikan?”

“Untungnya kompak ya,” lanjut sang tetangga, “Saya juga begitu. Yang lain pun sama, demi hemat, lampu penerangan di gang-gang dimatikan. Malah sekarang banyak perkampungan di perkotaan yang kembali ke tahun 70-an. Penerangan di gang-gang perkampungan hampir tidak ada, karena saat itu belum banyak masyarakat yang menjadi pelanggan PLN.”

Memang pasca kenaikan TDL, para pengguna token bisa mengetahui betapa mahalnya harga listrik sekarang ini. Hal itu bisa dilihat dari meterannya. Semakin banyak listrik dipakai, angka-angka dalam meteran token akan semakin cepat berkurang. Dan kalau pulsa listrik yang tertera di meteran itu habis, listrik dengan sendirinya padam. Untuk menyalakannya kembali, kita harus beli pulsa listrik. Kalau kejadiannya siang hari, mungkin tidak repot. Tapi bagaimana kalau kejadiannya tengah malam? Terpaksa bergelap-gelap hingga pagi.

Berbeda dengan pelanggan lama yang masih membayar tagihan listriknya secara bulanan atau abodemen. Sekalipun ada kenaikan TDL, kita biasanya tidak berubah dalam menggunakan listrik di rumah. Bahkan kita tidak mau tahu berapa KWh listrik yang kita pakai perbulannya. Yang penting kita bayar sekian perbulan. Kalau belum punya uang, ya nunggak. Bulan depan baru bayar listrik.

Tapi dengan listrik prabayar, kita tidak bisa begitu lagi. Tak ada istilah nunggak. Yang ada -- kalau tidak punya duit buat beli pulsa listrik -- listrik mati, bisa sehari, dua hari, seminggu atau sebulan, tergantung sampai kapan kita punya duit untuk beli pulsa listrik.

Disatu sisi harus diakui, dengan token kita benar-benar bisa mengontrol pemakaian listrik; bisa berhemat, malah bisa ngirit, seperti halnya pengguna telepon seluler prabayar. Bahkan pula bisa mengurangi biaya yang kita tidak tahu pemanfaatannya, yakni biaya administrasi bank. Setiap kita beli pulsa listrik, kita dikenakan biaya administrasi bank Rp1.600,- (ada pula yang Rp2.000,- katanya tergantung bank-nya).

Biaya adminitrasi bank itu bisa dihemat. Misalnya begini, tarohlah dalam sebulan kita beli pulsa listrik Rp100.000,-. Pembelian pulsa listrik sebanyak itu memang bisa dicicil. Sebut saja kita beli pulsa listrik Rp20.000,- untuk pemakaian enam hari, dan enam hari berikutnya kita beli lagi Rp20.000,- sehingga dalam sebulan kita beli pulsa listrik Rp20.000,- sebanyak lima kali.

Dari lima kali pembelian pulsa listrik itu kita harus mengeluarkan biaya admintrasi bank sebesar Rp8.000,-. Dan kita bisa menghematnya dengan cara membeli sekaligus pulsa listrik Rp100.000,-, sehingga biaya adminitrasi bank yang kita keluarkan hanya Rp1.600,- saja. Sebab memang adminitrasi bank diambil dari setiapkali kita beli pulsa listrik berapa pun besarnya.

Hal itu bisa terus dihemat, misalnya kita beli sekaligus pulsa listrik Rp500.000,- untuk pemakaian lima bulan ke depan, biaya adminitrasi bank yang kita keluarkan pun tetap hanya Rp1.600,-

Itulah saya kira sisi baiknya listrik prabayar. Namun ada juga sisi “jeleknya”. Dengan listrik prabayar -- paling tidak saya dan sejumlah pengguna token lain yang saya ketahui mulai mengurangi pemakaian listriknya untuk penerangan gang di depan rumahnya -- telah diajari PLN untuk bersikap individualis dan kikir: biarlah gang-gang gelap, yang penting rumah tetap terang.

Tentu akan sangat menyenangkan bila penggunaan token dibarengi dengan harga listrik yang murah. Tapi mana mungkin? PLN sendiri khabarnya ingin mandiri, tak mau disubsidi pemerintah. Artinya PLN ingin menjual listrik kepada masyarakat sesuai dengan biaya produksi yang dikeluarkannya, yakni sekitar Rp1.200,-/KWh.

Jadi siap-siaplah para pelanggan PLN, karena TDL pasti akan naik lagi, sekalipun entah kapan.

11 komentar:

NENSA MOON mengatakan...

Whihh.. lagi asyik2nya baca postingan ttg Listrik, eh tau2nya listrik mati lagi...!!
Jadi metode pembayaran listrik sistim prabayar itu sdh dilaksanakan ya di Cianjur??
Euleuh..2 saya baru denger tuh!!
Mudah2an lebih banyak dampak positifnya drpd dampak negatifnya...
Tapi kalo berakibat lampu2 di gang n jalanan jadi diredupin atao bahkan dimatiin mah gawat dong... tar maling yang pada suraakk kegirangan.. kalo begitu siskamling harus lebih ditingkatkan lg tuh...hehe..sekedar saran.
Wilujeng ngahemat listrik Pa asep!!

joe mengatakan...

pada akhirnya harga-harga ikut melambung tinggi, dan kembali rakyat kecil yang menjadi korban ...

inung halaman samping mengatakan...

Listrik prabayar emang menarik banget Kang Rasyid. Susahnya itu lho, beli isi ulangnya kadang susah :(

Salam blogger, blognya rame nih :D salute

odah etam mengatakan...

harga listrik tetap naik...
lampu juga tetap kedap kedip...
PLN hanya mengejar ke untungan ya mas...hehehe

bukumoo mengatakan...

woow,, artikel yang menarik ya.. emang bener menurutku, penggunaan token seidikit banyak membuat orang jadi hemat listrik.

yang paling bikin miris adalah, ketika itu saya melihat di tv, bahwa desa-desa yang berada di sekitar wilayah bendungan jatiluhur yang notabene merupakan sumber pembankit listrik untuk pulau jawa, justru belum tersentuh listrik.. miris..

:)

Unknown mengatakan...

Kalau kembali ke suasana tahun 70-an, berarti kita mundur. Memang bagus sekali anjuran 'hemat listrik, pakai seperlunya saja'. Apa persediaan listrik utamanya wilayah Jawa-Bali tidak mencukupi lagi ? Tentunya ke depan kebutuhan listrik akan terus meningkat jumlahnya, bila tidak dipikirkan mulai sekarang langkah alternatifnya maka persoalan listrik dapat menjadi 'bencana' nasional. Mengapa tidak membangun PLTN saja ? Saat ini penggunaan listrik masih disubsidi oleh pemerintah. Bagaimana kalau subsidi itu dicabut saja ? Tentunya harus dipikirkan dampaknya yang luas bagi masyarakat bawah.

Faisal Hilmi mengatakan...

memang dilema.. Q yakin banyak sarang korupsi. Mari kita awasi.

Saya follow ya nih blog, bagus sih!

rizal mengatakan...

sudah tarif mahal byarpet lagi kacau

Ifan Qomarudin mengatakan...

Kalo 6,7 T buat beli token, bisa nyala sampe kiamat kali Sob....(ha...ha...ha).

Ferdinand mengatakan...

Waduh bener2 emank nie Indonesia.... klo gak salah waktu itu katanya yang rumah-rumah gratsi terus yang pabrik2 menanggung biayanya.... tapi jelas pabrik juga gak ada yang mau... terus sekarang bener2 naik rata......

lama2 migrasi ke energi surya lag kali ya kaya dlu hhe....

Semangat N met aktivitas Sob...

om rame mengatakan...

metode terbaru tersebut memang terkesan Lebih meringankan peLanggan, tetapi kembaLi Lagi dgn teori dagang. itu sama aja TDLnya dinaikin tetapi bayarnya di ciciL, dihitung2 yah impas deh. hehehe...

Posting Komentar