Lalu Semuanya Berubah (12)

Lanjutan Novel Bersambung "Lalu Semuanya Berubah":

Ketika matahari yang temaram diselimuti awan kelabu tepat berada di atas ubun-ubunnya, tanaman singkong milik Nenek itu selesai Jaja cabuti. Batang-batangnya ditumpukkan di samping saung Bapak. Sebagaian mungkin akan dimanfaatkan untuk kayu bakar. Sebagian lagi mungkin akan ditanam di pematang-pematang sawah.

Sedangkan daun-daunnya telah Jaja timbuni dengan tanah di salah satu sudut petakan. Dalam seeminggu dedaunan itu bakal membusuk, dan Jaja bisa manfaatkan untuk pupuk. Ubinya dari empat petak sawah, hanya menghasilkan beberapa pikul saja. Padahal kalau ketela itu dibiarkan beberapa bulan lagi, hasilnya bisa mencapai kwintalan.

Jaja bersandar di saung Bapak. Dadanya telanjang, dibiarkan dibelai angin. Pandangnya berkeliling ke sudut-sudut lembah yang kini tak lagi lenggang. Hampir di setiap petakan sawah, tampak orang-orang. Sebagian melakukan apa yang tadi Jaja kerjakan. Sebagian lagi mulai mencangkul sisi-sisi pematang.

“Besok atau lusa mungkin aku bisa mulai mencangkul pematang,” pikir Jaja. “Tapi tentu hanya aku sendiri yang mencangkul pematang dan seluruh sawah Bapak, yang sekarang aku anggap telah mereka wariskan kepadaku.

“Entah butuh berapa hari aku menyelesaikan pekerjaan itu. Aku ragu pada kemampuanku saat ini. Boleh jadi aku butuh banyak waktu. Sedangkan kalau diburuhkan kepada orang lain, aku rasa tidak mungkin. Aku tak punya uang untuk membayar kuli.

“Seandainya Bapak ada, aku pasti mendapat bantuan tenaga. Atau lebih tepatnya, aku akan membantu Bapak mempercepat pengerjaan sawah-sawah ini. Oleh tenaga Bapak, sawah empat petak itu bisa diselesaikan dalam dua hari, seperti yang aku saksikan dulu. Kemudian Emak menanam padinya, yang kadang-kadang dibantu juga oleh Bapak atau Nenek atau mertua.

“Setelah itu, aku dan Bapak ikut mencangkul sawah mertua. Emak pun ikut menanam padinya. Suatu kebersamaan yang aku rasa sulit aku temukan kembali. Sesulit aku melupakan Emak dan Bapak. Sesulit aku membunuh kenyataan bahwa Mae kini tak lagi menjadi milikku.

“Sangat boleh jadi jemari tangan Mae sekarang, lancip-lancip. Kuku-kukunya mungkin dicat merah. Mae tentu tak sudi lagi menjamah lumpur, apalagi ikut tandur. Bahkan tidak mustahil Mae sudah lupa bagaimana menanam padi yang baik.

“Mae saat ini sangat mungkin tak lagi menjadi sesosok perempuan desa, yang tangan, kaki dan tubuhnya penuh lumpur. Buktinya dua tahun ia tak sekalipun menginjakkan kaki di desa ini. Mae sekarang telah menjadi perempuan kota, berikut ikatan-ikatan kekotaannya.

“Bagiku perubahan sikap semacam itu amat mengecewakan, kendati jiwa kedesaan atau kekotaan hak setiap orang sebagai pilihan cara hidup. Tapi bagiku Mae tidak sekedar sesosok perempuan, istri atau emak dari anakku. Mae pun adalah sawah, bukit, kambing-kambing dan angin pegunungan. Semuanya mengikat jiwa dan ragaku sampai menjadikanku anak desa seutuhnya. Dulu aku merasakannya begitu.”

Tapi hidup punya alurnya sendiri. Sebelum Jaja bisa meraih impiannya, kematian Usin lalu dengan amat kejamnya menciptakan jalan hidup yang terpotong-potong. Mae menjelma menjadi wanita kota dan Jaja bersusah-payah meraih kambali jiwa kedesaannya, yang selama delapan tahun nyaris terhapus oleh pembelengguan Nusakambangan.

Bahkan soal pemberangkatannya ke Nusakambangan itu pun, sebetulnya membingungkan. Kata berita koran yang sempat ia dengar dari percakapan sipir di pulau itu, seharusnya Jaja tidak perlu dibawa ke Nusakambangan. Karena memang bukan penjahat kelas kakap, yang sering keluar-masuk penjara. Tetapi lantaran ada kekeliruan data, yang mengisyratkan Jaja pembunuh berbahaya, terpaksa ia dibuang ke Nusakambangan.

Jaja tidak mengerti, apakah yang dimaksud “kekeliruan data” itu, tertukar identitas dengan penjahat kakap yang bernama sama, atau bagaimana. Ia tidak memahami adanya perbedaan antara penjahat yang dikirim ke Nusakambangan dengan penjahat yang dikurung di rumah tahanan biasa. Sebab bagi Jaja, dipenjara di Nusakambangan atau di rumah tahanan, sama saja: terpuruknya sebagian perjalanan hidup.

Dan itu telah merampas jiwa kedesaanya. Bahkan ketika ia memperoleh kebebasannya, jiwa kedesaan itu ternyata tak mudah dibangun lagi lantaran sejumlah peristiwa yang ia hadapi bertentangan dengan harapan-harapannya. Terlebih lagi adanya kenyataan bahwa perempuan yang teramat dicintainya, lenyap.

“Aku pikir, sukar sekali aku bisa membangun kembali rasa kedesaan seutuhnya tanpa kehadiran perempuan yang tidak saja sebagai perempuan, isteri dan emak dari anakku, namun juga sebagai sawah, bukit, kambing-kambing dan angin pegunungan,” renung Jaja.

Pernah terlintas di benaknya bahwa ia mungkin bisa menciptakan Mae yang lain lewat sosok Suti. Namun karena kenyataan ia adalah perempuan bersuami, maka harapan semacam itu menjadi mustahil. Suti, bagaimanapun takkan pernah bisa benar-benar mengikatkan jiwa raganya pada sawah berikut kedesaan, sepanjang kehadirannya cuma sebagai perempuan yang dikelilingi sejumlah batas.

Jaja memang tidak menyangkal bahwa kehadiran perempuan itu belakangan ini, ikut mendorong gairahnya menengok tanaman ketela, dan mungkin akan mendorong Jaja ketika mengolah sawah Bapak pada hari-hari selanjutnya. Tapi pada saat yang bersamaan terbesit kekhawatiran bahwa Si Tua Bangka itu akan mengetahui apa yang diperbuat isteri keempatnya. Itulah mengapa Jaja menganggap Suti takkan bisa mengikat dirinya pada sawah dan kedesaannya.

“Orang-orang yang sedang bekerja di petakan-petakan sawah itu pun, aku kira, punya dorongan kerja yang tidak saja didasarkan pada tanggung jawabnya mengolah alam, akan tetapi juga didorong kekuatan lain yang sifatnya lebih manusiawi. Yakni istri-istri dan anak-anak.

Merekalah yang secara sempurna mempererat ikatan kedesaan pada desanya sendiri.
“Dan aku? Kian hari kian terasa bahwa aku butuh seseorang yang bisa lebih mempribadi,” bisiknya.

“Justru pada saat seperti ini bayangan Mae tiba-tiba bermain di pelupuk mata dengan amat genitnya. Lalu dendamku pun membara pada Si Bujang Lapuk yang telah merebut Mae; pada Si Tua Bangka yang kucurigai selalu menggoda Mae sewaktu aku di Nusakambangan; pada tetangga-tetangga yang masih menganggapku sebagai orang bebal. Semua itu benar-benar membuat batinku tersiksa.” Jaja mengeluh. Lantas tercenung.

Matahari mulai bergeser ke barat. Satu per satu orang-orang meninggalkan sawahnya. Mereka menunda pekerjaan untuk esok hari. Beberapa di antaranya memikul telombong berisi ubi ketela. Beberapa lainnya cuma membawa parang dan cangkul. Gembala-gembala kecil menggiring kambingnya. Nun di atas langit, sekelompok burung kuntul mengawasi kepulangan petani-petani itu.

Ketika Jaja berpaling ke kanan, maksudnya akan mengambil kaos oblong yang ia gantungkan di galar saung, secara tak terduga ia menangkap sebuah bayangan bergerak di pematang, tak jauh dari saung Bapak. Itu seorang perempuan. Tangannya mengapit bungkusan plastik. Kepalanya tertutup kerudung biru. Sepertinya ia telah bepergian cukup jauh, dan Jaja mengenal perempuan itu.

Ya. Dialah!
“Hey, Ja, panen ya?” seru perempuan bersuami itu dari pematang sana. Langkahnya sesaat berhenti. Bibirnya, seperti biasa, merekah seraya memandang ke saung Bapak. Ia mengangguk kecil ketika kakinya kembali melangkah. Tanpa berpaling lagi.

Tak berkedip Jaja memandanginya. Kemudian terdengar desah panjang ketika tubuh perempuan itu lenyap di tepi kampung. Mungkin Jaja menyesal. Karena memang semula ia menduga isteri keempat Wak Duriat akan singgah di saung Bapak, lantas sebagaimana biasanya ia akan mengacaukan pikiran-pikiirannya -- lewat keriangan suaranya yang membelai-belai genderang telinga; lewat binar-binar matanya yang menyimpan ajakan-ajakan halus; lewat bahasa tubuhnya yang bermakna seribu kata malam pengantin. (Bersambung)

2 komentar:

joe mengatakan...

wah, novel ya... coba diterbitkan saja pak?

Land of Oase mengatakan...

Si Jaja ini lelaki di persimpangan ya Kang... antara teguh menjadi lelaki desa biasa dan gerusan modernisme di sekitarnya. Jaja terpuruk dengan bayang masa lalu Mae... Suti, Nenek walo bagaimanapun perempuan yang bisa tetep mendorong Jaja bergulat bathinnya. Ketiga perempuan di atas adalah alasan Jaja untuk tetap memelihara dialog bathinnya. Jaja banyak ditemukan di kehidupan nyata ini.... Novel bagus Kang...

Posting Komentar