Kustinaningrum Kembali kepada Suaminya

Parasnya tidak terlalu cantik. Tapi aku kira, dia manis. Bahkan mungkin para hidung belang akan terpesona menatap bentuk tubuhnya. Aku sendiri sering menelan ludah, lalu pikiranku yang normal serasa dikacaukan.

Dia memang sexy (maaf!) dan menggoda iman. “Tatapan matanya penuh ajakan.” Itu kata para suami yang sedang dilanda puber kedua yang percakapannya tertangkap telingaku secara tak sengaja.

Lalu senyumnya; aku pikir lebih manis ketimbang madu terbaik sekalipun. Malah aku pikir senyum itulah yang membuat keseluruhan wajahnya menjadi bercahaya. Sehingga para suami yang sedang dilanda puber kedua itu, ada yang bilang, “Senyumnya seperti sihir. Membuat kita mau disuruh apa saja.”

Kali pertama ketemu saat aku berbelanja di toko Te Ko Seng. Di toko itu dia juga sedang berbelanja (dia dan aku berbeda kampung, tapi berbelanja di toko yang sama, karena memang di daerahku hanya Te Ko Seng satu-satunya toko paling lengkap). Aku langsung tergoda.

Godaan pertama yang menyerangku tentu saja melalui mataku. Sungguh, selama dia berbelanja, yang aku kira tak kurang dari 20 menit, mataku terus lengket kepadanya: sekali-sekali jatuh kepada wajahnya, kalau kebetulan dia sedang menghadap ke arahku; sekali-sekali jatuh kepada punggungnya, terus turun ke bawah dan aku tiba-tiba mendesah; dan pada kesempatan lain mataku jatuh pada samping tubuhnya, ada sebuah bentuk silhuet yang benar-benar mempesona.

Godaan pertama ternyata berlanjut pada godaan berikutnya. Yang ini aku kira terasa lebih berat. Aku tak bisa tidur karena memikirkan pertemuan di toko itu. Aku malah jadi menyesal, mengapa tadi aku tidak menyapanya, menanyakan alamat rumahnya.

Esoknya, lewat Nartiti seorang kenalan baik di kampung sebelah, kuketahui ternyata dia pendatang baru dan tinggal di rumah Haji Ilyas (“Dia keponakan Pak Haji dari Sindanglaya,” kata Nartiti). Sehari-harinya bekerja di sebuah instansi pemerintah (“Dia pegawai negeri yang baik,” kata Nartiti lagi).

Dikatakannya pula bahwa Kustinaningrum – demikian nama perempuan itu dan aku kira itu sebuah nama yang cantik -- tinggal di rumah Pak Haji untuk mencoba pisah kamar dan rumah dengan suaminya sampai ada keputusan lebih lanjut dari suaminya itu (“Suamiku amat cemburuan sehingga aku benar-benar tak dapat ke luar rumah selain untuk bekerja dari pagi hingga pukul tiga,” kata Kustinaningrum kepada Nartiti, dan Nartiti menyampaikannya kembali kepadaku).

Kustinaningrum belum punya anak. Pernikahannya sendiri baru berjalan delapan bulan. Tapi biduk rumah tangga rupanya sedang dilanda badai. Kustinaningrum minta cerai dan kini sedang dalam proses pertimbangan suaminya (“Dia calon janda kembang,” kata Nartiti, kenalan baikku).

Aku tersenyum, dan Nartiti menatapku penuh curiga. Masa bodoh! Yang penting, aku lega sekarang. Tapi rasa lega itu, memacu rasa rasa rindu. Aku rindu ketemu Kustinaningrum. Haruskah aku datang ke rumah Haji Ilyas? Berat. Aku tak mau disebut lancang dan tak tahu diri. Bagaimana pun Kustinaningrum belum benar-benar menjadi janda.

Satu-satunya jalan terbaik, berharap ketemu di toko Te Ko Seng. Dan aku kini nongkrong di depan toko itu, menatapi setiap orang yang masuk ke sana. Tapi hingga dua jam, dia belum juga muncul. Jangan-jangan hari ini Kustinaningrum tidak berbelanja ke toko Te Ko Seng? Aku mencoba bersabar. Karena orang sabar, kata orang, akan memperoleh apa yang diinginkannya. Dan itu betul. Ketika rokokku tinggal tiga batang (aku tadi membeli sebungkus di toko Te Ko Seng), Kustinaningrum muncul dan masuk ke toko itu.

Segera aku menyusulnya. Aku masuk ke toko Te Ko Seng, pura-pura sedang mencari barang belanjaan. Padahal aku hanya ingin menatapinya. Dari depan, dari belakang, dari samping. Dia sempat menatapku, tanpa sengaja, lalu cepat berpaling lagi.

Aku merasa puas telah bertemu perempuan itu lagi. Apalagi aku telah mengetahui nama dan alamat rumahnya sekarang. Tapi aku juga menyesal, mengapa ketika bertemu di toko Te Ko Seng untuk kali kedua itu, aku tidak bertindak sedikit agresif? Mestinya aku bertanya, “Boleh dong kita kenalan?” Kalau jawabannya ya, berlanjut pada pertanyaan, “Boleh saya datang ke rumah situ?”

Aku lupa berbasa-basi seperti itu mungkin karena aku teramat terpesona. Tapi esok, aku harus lebih agresif.

Esoknya memang aku kembali ketemu perempuan itu di tempat yang sama, juga melakukan hal yang sama: menatapinya lekat-lekat. Kali ini, untuk sekitar semenit, mataku dan matanya saling peradu pandang. Aku lalu tersenyum. Sesaat dia tampak ragu-ragu, tapi akhirnya Kustinaningrum membalas senyumanku. Dan senyumnya membuat keseluruhan wajahnya menjadi bercahaya. Seketika itu pula aku seperti tersihir.

Aku jadi lupa pada janjiku sendiri untuk berbasa-basi, “Boleh dong kita kenalan?”, “Boleh saya datang ke rumah situ?” dan hal-hal sepele lain yang bisa menjadi jalan untuk mengenalnya secara lebih dekat. Aku benar-benar tersihir, sehingga aku tak mampu berkata-kata. Bahkan ketika Kustinaningrum ke luar dari toko Te Ko Seng, aku hanya mampu menatapi langkahnya hingga dia menghilang di balik tikungan. Aku benar-benar merasa dungu. Besok aku harus bisa!

“Boleh dong kita kenalan?” akhirnya kataku esok harinya, seraya menyodorkan telapak tangan mengajak salaman. Aku sudah tahu sekarang bahwa Kustinaningrum biasa datang ke toko Te Ko Seng setiap jam lima sore. Dan biasanya pula dia membeli kue agar-agar atau kue lapis (aku akan mengiriminya kue-kue semacam itu bila aku sudah dibolehkan datang ke rumahnya).

Kustinaningrum tersenyum seraya menerima telapak tanganku. Kami bersalaman. Terasa kulit telapak tangannya begitu lembut. Kebetulan waktu itu toko sedang sepi. Jadi aku tak perlu malu bila aku menatapinya sedekat ini.

“Kustinaningrum `kan?” kataku. Sesaat aku melihat dia sedikit terkejut, mungkin karena aku tahu namanya. Tapi kemudian dia tersenyum seraya mengangguk.

“Boleh aku aku berkunjung?”
Kustinaningrum kembali tersenyum.
“Boleh saja,” katanya.

Hatiku berbunga-bunga hingga aku kehilangan kata-kata. Bahkan ketika dia berkata, “Saya pulang duluan,” aku sepertinya telah disihir menjadi batu. Mulutku tak terbuka untuk mengucapkan sepatah katapun. Aku terlalu bahagia saat itu.

Tapi di rumah aku marah-marah. Seluruh keluarga terkena amarahku. Pasalnya tak seeorang pun dari anggota keluargaku yang mau memberi pinjaman uang. Sedangkan waktu itu aku sendiri tak punya sepeserpun. Jadi mana mungkin aku bisa berkunjung ke rumah Kustinaningrum tanpa membawa kue agar-agar atau kue lapis kesukaannya?

Sepanjang malam aku merasa dongkol. Aku batal datang ke rumah perempuan itu. Bahkan sampai pagi pun nyesalku belum juga lenyap. Namun Tuhan Maha Besar. Siangnya aku mendapat kiriman wesel untuk honor dari tulisanku yang dimuat di sebuah majalah. Aku langsung menguangkannya di Kantor Pos. Pulangnya langsung pesan kue agar-agar dan kue lapis di toko Te Ko Seng.

Selesai salat Isya aku berangkat ke rumah Haji Ilyas dengan langkah yang terasa amat ringan. Di atas, langit bertaburan bintang, berkedap-kedip. Cuaca memang cerah, secerah hatiku saat itu.

Namun tak urung hatiku mengerut ketika tiba di depan rumah Haji Ilyas, lewat kaca jendela aku melihat bayang-bayang seorang lelaki. Perlahan aku mendekat ke jendela dan mencoba mengintip orang yang ada di ruang tamu. Tidak jelas, karena dia membelakangiku. Tapi cukup jelas aku mendengar suara Kustinaningrum, “Boleh aku kembali ke rumah. Tapi tolong berilah aku sedikit kebebasan. Aku juga ingin seperti istri-istri yang lain.” Lalu kudengar pula ucapan lelaki itu, “Awalnya Kakang kira melarangmu bergaul sembarangan, demi kebaikanmu, demi kebaikan kita. Tapi maafkan Kakang kalau hal itu telah membuatmu merasa terkekang. Sekarang pulanglah. Kakang….”

Aku tak tahu apa yang diucapkan Si Bejul itu selanjutnya. Karena aku segera beranjak dari situ. Mungkin aku juga setengah lari pulang ke rumah. Sebab tanpa terasa aku sudah berdiri di tengah ruangan keluarga rumahku, lalu melemparkan kue agar-agar dan kue lapis ke hadapan adik-adikku yang sedang asyik nonton televisi. “Nih, makan!”

Aku tak perduli seluruh keluarga terkejut dengan tingkahku. Lebih-lebih dengan kehadiran kue-kue itu (selama ini memang aku belum pernah membeli kue-kue untuk seisi rumah, karena aku merasa malu menentengnya). Aku langsung masuk kamar dan mengurung diri. Tercenung. Menarawang. Membayangkan Kustinaningrung. Tatapannya. Senyumnya. Benar-benar menghipnotisku.

(Dari cerpen lama, pernah dimuat di HU.Bandung Pos, awal 90-an, dengan sedikit perubahan tanpa mengubah substansi cerpen asal).

14 komentar:

narti mengatakan...

karyanya sudah dibukukan?
cerpen yang menarik....

Blogger mengatakan...

hmmm..erpen yang menarik mas..ada sisi2 plus minusnya, saya malah baru baca disini mas yang ternyata sudah lama sekali pernah dipublikasikan
Sukses Slalu!

mixedfresh mengatakan...

sebuah cerita yang menarik, terpesona dengan seseorang yang sudah dimiliki orang laen. aku baru baca juga, padahal udah lama banget ya

HB Seven mengatakan...

cerpen yang menarik..kang...

Ferdinand mengatakan...

Weleh ternyata udah lama ya Mas.....aku baru baca disini hhe..........maknyuzz cerpennya.........

Unknown mengatakan...

met sore

NENSA MOON mengatakan...

Hahaha... kasian banget si tokoh 'Aku' harus gigit jari melihat kenyataan yg tdk sesuai dgn harapan... Kustianingrum akhirnya hrs kembali pd suaminya...
cerita yg tetap menarik Pa Asep... meskipun mungkin sdh cukup jadul krn dipublishnya sdh 20thn yg lalu...?!

Regi_Adi mengatakan...

waduh, jarang-jarang nih ada yg mengangkat cerpen lama, salut deh...

walaupun ngga sempat saya baca semua, tapi ceritanya menarik untuk dibaca lebih lanjut

rizal mengatakan...

wah ini kisah nyata atau ilusi, kalau ilusi mantap banget penghayataannya..aku seprti terhanyut membaca cerita ini

Sungai Awan mengatakan...

Manis dan sexy itulah penyebabnya hehe

Anonim mengatakan...

kunjungan perdana
langsung dapat postingan yg menarik

mau belajar dari mas ini .ehhe
salam hangat dari blue

ToPu mengatakan...

Cerpen tapi koq jadi panjang ya....

Hehehehehehehe.......

Anonim mengatakan...

Cerpennya Mantap sobat saya menyukai ini,

Unknown mengatakan...

Alur cerita cerpen 'Kustinaningrum Kembali kepada Suaminya' sangat menarik sekali. Walau cepen lama di awal 90-an namun masih menarik untuk diangkat kembali.

Posting Komentar