Lalu Semuanya Berubah (9)

Pada bagian lalu dikisahkan, Jaja yang mantan napi Nusakambangan, mulai menjalani hidupnya di desa tempat kalahirannya. Berikut kelanjutan novel “Lalu Semuanya Berubah”:

ESOK dan esoknya Jaja kembali ke sawah, sekalipun sebetulnya ia agak malas. Sebab pertumbuhan pohon singkon itu kurang baik. Mungkin karena bibitnya kurang bagus, mungkin pula karena kekurangan air. Jadi ditengok tiap jam pun, tidak akan membuat pertumbuhannya bertambah baik.

Tapi Nenek punya alasan lain.
“He, kambing-kambing itu bagaimana? Akan kau biarkan mereka melahap daun-daun ketela itu hingga habis?” Nenek menghampiri Jaja, “Ayo! Pergilah! Atau kau senang termangu sepanjang hari?”

Jaja menggeliat.
Mungkin apa yang dikatakan Nenek tidak terlalu salah. Sebab kalau tidak ke sawah, tak ada lagi kegiatan lain. Kemarau telah membuat langkahnya terasa buntu. Atau mungkin lebih tepatnya, kepergian Emak, Bapak dan Mae telah melemparkan Jaja pada suatu jurang yang sukar dinaiki lagi.

Pada saat demikian, tak bisa tidak, Jaja harus mencoba menemukan kembali bagian-bagian dirinya yang pernah hilang. “Aku seorang bulu taneuh, lahir dan dibesarkan di antara sawah-sawah dan kambing-kambing,” renung Jaja.

“Kodratku mungkin tak terlepas dari sawah-sawah dan kambing-kambing. Kodratku mungkin tetap ada, sekalipun desaku kini sedang merintih didera kemarau panjang. Mungkin pada hujan yang akan turun, kodratku akan semakin menampakkan dirinya,” bisik Jaja setiap kali ia memandangi sawah-sawah yang gersang itu.

Pada bagian dirinya yang lain ada serpihan-serpihan cinta yang mesti Jaja satukan kembali. “Rasanya tak mungkin aku membiarkan dua mahluk tercinta, yang kini masih tersisa dalam hidupku, menjadi lebih menderita. Apalagi Nenek, usianya kian renta. Mungkin hidup Nenek tidak akan lama lagi.

“Karena itu, akan lebih baik bila aku menuruti semua kehendak Nenek, yang tak lain ingin menyaksikan cucunya menyatu kembali dengan lumpur dan tanah sawah. Bahkan mungkin, itu pula harapan Emak dan bapak,” pikir Jaja.

Pada saat bersamaan, ternyata, kehadiran perempuan itu ikut menumbuhkan rasa akrabnya dengan sawah. Paling tidak, Suti ikut mendorong Jaja untuk kembali dan kembali menengok sawah-sawah itu.

Jaja merasakan semacam kerinduan yang tersalurkan ketika ia melihat perempuan itu tengah duduk di saungnya, seraya melemparkan senyumnya. Jaja menangkap semacam getar-getar magnetis dari bola mata perempuan itu saat ia beradu pandang. Mungkin semacam getar-getar yang bermakna ajakan, atau apa, Jaja belum ingin memahaminya.

Jaja cuma mau berucap lima atau enam kalimat saja ketika Suti menyuruhnya mampir di saung itu. Kecuali kemarin lusa, ucapan Jaja agak banyak. Sebab perempuan itu meminta alasan yang jelas kenapa Jaja memanggil “Ceu Suti” – sebuah panggilan yang, menurut perempuan itu, membuat dirinya merasa sepuluh tahun lebih tua dari usia sebenarnya yang kini dua puluh tujuh.

Alasan Jaja bahwa panggilan seperti itu terkait erat dengan kedudukan dirinya sebagai istri Wak Duriat, malah membuat perempuan itu tertawa kecil. Tawa yang bagi telinga Jaja terasa merdu.

“Kau `kan memanggil namaku. Bukan nama suamiku. Kalau misalnya kau memanggilku `Wak Istri Duriat`, aku mungkin tidak apa-apa. Ini jelas kau menyebut namaku,” ujar perempan itu sambil tak henti mengumbar senyum. Membuat Jaja gelagapan. Bahkan merasa dirinya terkalahkan. Jadilah Jaja memanggil namanya.

Ketika keesokan harinya Jaja kembal bertemu dan memanggil perempuan itu dengan sapaan “ti”, istri keempat Wak Duriat itu tampak tersipu-tersipu. Mungkin ia senang Jaja tak lagi memanggil “Ceu Suti”. Mungkin pula panggilan itu tedengar lucu.

Jaja tak dapat menangkap makna lebih dalam dari ketersipuannya itu. Jaja hanya merasa bahwa pesona yang dipancarkan perempuan itu terkait pada naluri kelelakiannya, yang kemudian memunculkan ajakan-ajakan. Tapi mungkin atas pertimbangan bahwa perempuan itu bersuami, batas-batas moral lalu memaksa Jaja kembali melangkah pada tujuan semula: menengok sawah dan kebun singkongnya.

Namun demikan, menggeliat juga rasa kecewanya ketika esok dan esok harinya Jaja tak menemukan perempuan itu di saungnya. Jaja merasa kehilangan. Sekalipun Jaja mencoba membunuh perasaan itu dengan mengetengahkan kembali batas-batas moral dan status perempuan itu sebagai seorang istri, tapi tetap saja Jaja bertanya-tanya. Persis tanya-tanya yang muncul saat Jaja, dulu, tak melihat Mae selama lebih sebulan.

Untuk menyelidikinya lewat Nenek, Jaja tak berani. Jaja khawatir Nenek salah memahami ucapannya. Misalnya menganggap Jaja mengharapkan perempuan bersuami. Bagi Nenek, harapan seperti itu selalu terkait dengan hukum nikah.

Nenek tentu berpikir, mustahil Jaja bisa menikah dengan perempaun yang secara hukum masih dimiliki lelaki lain. Bahkan tidak mustahil Nenek kemudian bersedih hati: di kepalanya terbayang kembali peristiwa delapan atau sembilan tahun silam ketika Usin mati ditangan cucunya. Tidak mustahil pula Nenek membayangkan Jaja mati ditangan Si Tua Bangaka lantaran mencoba merebut istri keempatnya itu.

Jadi sebelum Nenek dihinggapi bayangan-bayangan serupa itu, lebih baik Jaja tidak menanyakan perihal Suti kepada Nenek.

“Biarlah aku kehilangan suaranya yang merdu, tatapannya yang menyemburatkan angan-angan indah, dan senyumnya yang bisa meruntuhkan keangkuhan kelelakianku. Biarlah langkahku tak lagi terbelenggu sapaan-sapaannya. Justru sebetulnya aku harus bersyukur dia menghilang sebelum aku tenggelam lebih dalam,” pikir Jaja.

Ia lalu menatap saung Bapak.
Di matanya terlihat kembali gerak-gerik Bapak ketika mendirikan saung itu. Bapak begitu bersemangat dan tak kenal lelah. Bapak seolah-olah sedang membangun rumah untuk keluarga. Terbukti memang saung itu bagi Bapak seperti rumah keduanya.

Sekarang Jaja merasa telah meneledorkannya. Membiarkan saung Bapak rusak compang-camping. “Aku harus memperbaikinya,” pikir Jaja seraya menatap langit, “Hujan memang belum dapat dipastikan kapan akan segera turun. Tapi tak ada salahnya bila besok aku mulai memperbaiki saung Bapak. Nenek pun tentu sangat setuju.”

Tiga hari Jaja memperbaiki saung Bapak.
Atapnya yang bolong-bolong dan rapuh diganti dengan ijuk. Juga bilik bambu dan bale-balenya. Yang lama sudah lapuk. Jaja terpaksa pergi ke hulu sungai, mengambil beberapa batang bambu. Di situ memang masih terdapat serumpun tanaman bambu. Hanya galar dan tiang-tiangnya yang tak satupun diganti. Yang lama masih kuat. Bapak dulu memilih bahan untuk galar dan tiang itu dari kayu jati. Sampai lima atau enam tahun lagi, mungkin masih bisa dipakai.

Sekarang saung Bapak tampak cantik. Bahkan saung itu seperti memancarkan gairah dan semangat si pemiliknya. Mungkin selama tiga hari Jaja memperbaiki saung itu, ia kerasukan “roh” Bapak: bekerja tanpa kenal lelah. Dan sekarang gairah dan semangatnya itu melekat pada atap saung yang berwarna hitam, pada bilik-bilik bambu yang putih kekuningan, dan pada hijaunya bale-bale bambu.

Seminggu atau lebih, bale-bale bambu itu pun akan menguning. Keras dan liat. Kokoh menahan tubuh yang mendudukinya. “Nenek serta anakku pasti betah duduk di sini,” bisik Jaja, “Merekalah yang harus lebih dulu merasakan nyamannya saung Bapak yang kembali cantik ini. Merekalah yang harus lebih dulu menerima pancaran gairan dan semangat jiwaku.”

Jaja berkacak pinggang sambil memandangi saung yang baru diperbaikinya itu. Persis seperti apa yang dilakukan Bapak ketika saung itu selesai dibangun. Jaja merasa bangga. Sebab bagi Jaja, saung itu tak sekedar sekumpulan ijuk, kayu dan bambu. Namun juga serangkaian urat nadi jiwanya, yang memungkinkan Jaja bisa lebih menyatu dengan lumpur dan tanah sawah.

Karena itu Jaja amat kecewa ketika esok paginya ia kembali ke sawah, dari kejauhan tampak seseorang sedang duduk di saung Bapak. Dan itu bukan Nenek atau Inah – dua mahluk tercinta yang diharapkan bisa menkmati saung Bapak sebelum orang lain.

Mungkin kekecewaannya itu akan benar-benar tumpah seandainya Jaja tidak menyadari bahwa penikmat saung pertama itu, Suti, istri keempat Wak Duriat.

“Saungmu bagus, Ja!” seru perempuan itu dari bale-bale. Bibirnya mengembang. Bola matanya berbinar-binar. Tampak keceriaan semburat dari keseluruhan wajah perempuan itu, yang entah disadari atau tidak, membuat Jaja terpaku di antara kekecewaan dan kesenangan. Jaja seperti tersihir. (Bersambung)

3 komentar:

Land of Oase mengatakan...

wah pelem kang caritana yeuh... ceu Suti..... ceu Suti... heheheh....
lanjut dulu ah bacanya...

NENSA MOON mengatakan...

Yang ini belom bs komen... tar buka2 dulu jilid satunya...
sigana ceritana rame nya Pa Asep... eta saur urang Ustralie oge pelem cenah ceritana..hehe...
Hatur nuhun... will be back later!!

rahmatea mengatakan...

mudah mudahan ceritana happy ending ah kang....
di antos sambungannana...

Posting Komentar