Ada nada bangga, sekaligus risi. Bangga karena pada usianya itu Titin masih bisa mempertahankan kesuciannya. Apalagi Titin bukanlah gadis kebanyakan: ia cantik, bahkan paling cantik di antara gadis-gadis yang terdapat di desa itu – sebuah desa di pinggir gunung yang dipimpin oleh ayahnya sendiri. Risi karena memang statusnya yang belum menikah. Perempuan desa diusia seperti Titin, kalau belum menikah, selalu jadi gunjingan. Ini tak jarang membuat orang tuanya merasa malu.
Memang mengherankan. Apa yang kurang pada diri Titin? Karena sombongkah, mentang-mentang puteri kepala desa? Rasanya tidak. Sebab sering terlihat Titin bercanda dengan gadis-gadis lain. Sering pula Titin ikut menuai padi, atau tandur, atau apa saja yang biasa dikerjakan perempuan desa. Titin pun selalu menoleh bila ada pria menyapa, lalu tersenyum manis.
“Titin tidak sombong,” begitu kata orang-orang.
“Titin wanita cantik luar dan dalam,” kata warga desa.
Lantas apa sebenarnya yang menyebabkan Titin belum juga menikah? Tak seorang pun tahu. Orang tuanya sendiri tak bisa menjawab pertanyaan itu. Mereka hanya mampu bersabar seraya berupaya mencarikan pria yang pantas buat putri tunggalnya itu.
Tapi usaha orang tuanya untuk mendekatkan jodoh Titin, belum menampakkan hasil. Pak Kuwu selalu gagal mengundang lelaki untuk pasangan anaknya. Bahkan sering pula Pak Kuwu menanyai anaknya, kalau-kalau ia sudah punya pilihan sendiri. “Tunjukkanlah kalau kau sudah punya pilihan. Jangan takut, siapa dan bagaimana, asal baik, Bapak dan Ibu pasti setuju,” kata ayahnya suatu hari.
Namun dengan sedih Titin senantiasa menggelengkan kepala. Biasanya dari sudut-sudut matanya ada air mengembang, lalu meleleh menyebrangi sepasang pipinya yang montok dan halus, dan jatuh ke atas pangkuannya. Dan biasanya pula Sang Ibu dengan sigap memeluknya. Sementara Pak Kuwu hanya mampu menatap dengan kebisuan yang dalam. Dan pandangan hatinya menembus batas-batas, mencari-cari tempat Tuhan sambil berseru, “Tuhan, mengapa demikian buruk nasib anakku?”
Sering terbersit dalam pikiran Pak Kuwu, apakah semua ini karena jabatannya sebagai kepala desa? Atau ada yang salah ketika ia mendidiknya? Belakangan ini pertanyaan-pertanyaan itu kembali menggodanya. “Tak ada artinya aku jadi kuwu kalau anakku menderita,” desahnya sambil mengambil keputusan ia akan segera mengundurkan diri.
Namun Pak Kuwu belum sempat mengundurkan diri ketika desa itu diguncang khabar mengejutkan: Titin hamil tiga bulan. Bagai tanggul di pinggir desa yang jebol oleh hujan semalam, berita kehamilan itu cepat sekali menyebar. Dalam sekejap seluruh penduduk desa itu mengetahuinya.
Mereka tercengang.
“Yang benar?” tanya seseorang
“Kalau tidak percaya, ya sudah!” jawab orang yang membawa berita kehamilan Titin.
“Siapa bapaknya?”
“Tidak tahu!”
Gegerlah desa itu.
Para ibu berkata, “Tak menyangka ia begitu!”
Sedang para gadis bergidik, “Ih, amit-amit!”
Ya, kehamilan Titin jadi berita besar. Ini memang karena setahu mereka Titin belum menikah.
“Apakah Pak Kuwu menikahkannya secara diam-diam?” tanya seoorang nenek di sebuah warung. “Bagaimana Mang Punduk? Mang Punduh `kan orang dekat Pak Kuwu? Pasti sudah dibisiki, walau tidak ikut hadir dalam pernikahannya, atau mungkin tdak boleh hadir.”
Mang Punduk menggeleng. “Agar tidak menjadi fitnah, saya akan menanyakannya langsung kepada Pak Kuwu. Kita tentunya tidak ingin Kuwu kita mendapat aib,” jawab Mang Punduh. Dan orang-orang yang ada di warung itu mengangguk setuju.
“Saya sendiri tidak mengerti Punduh, mengapa aib ini terjadi,” suara Pak Kuwu perlahan. Wajahnya menyimpan duka. Sorot matanya tak lagi menyimpan wibawa. Mang Punduh melihat kuwunya sebagai prajurit yang kalah perang. Sambil menyandarkan tubuhnya pada kursi, ia berkata lagi, “Anakku membisu. Ia tetap tidak mau mengaku ketika dituduh telah berbuat bejat. Kekerasan yang kami lakukan pun hanya membuat kami lebih tidak berdaya.”
Terlihat oleh Mang Punduh bibir kuwunya bergetar menahan tangis, atau mungkin juga amarah.
“Maaf, Pak, bukan maksud saya ikut campur urusan pribadi Bapak. Tapi….” Mang Punduh merasa bersalah tadi ia telah bertanya tentang kehamilan Titin.
“Tidak, Punduh! Tanpa kau tanyakan pun, saya akan menceritakannya kepadamu, malah mungkin kita perlu memusyawarahkannya. Saya merasa pasti tanpa bantuan orang lain, saya tidak bisa menyelesaikannya.” Pak Kuwu menarik tubuhnya ke depan. “Terutama mengenai siapa bapak jabang bayi itu. Kau selidiki seluruh lelaki di desa ini. Kau cari keterangan, siapa yang pernah melihat ada lelaki masuk ke rumahku, atau melihat anakku bersama lelaki lain. Kau juga buka arsif, siapa-siapa yang pernah melakukan kejahatan. Aku sendiri sekali lagi akan menanyai anakku.”
Akan tetapi sampai hamil Titin berjalan empat bulan, lelaki yang menyetubuhi Titin belum juga ditemukan. Semua lelaki di desa itu bersumpah `demi langit runtuh` kalau mereka telah berbuat tak senonoh terhadap Titin. Dan Titin sendiri tetap pada pendiriannya: tidak pernah berjinah! Dan lebih aneh, ketika Titin dibawa ke puskesmas, atas saran seseorang untuk memastikan betul tidaknya Titin hamil, bidan mengatakan, “Titin hamil, benar!. Tapi... dia masih perawan!”
Semua yang mengantarkan Titin ke puskesamas terbelalak. “Tidak mungkin!” seru Pak Kuwu. Yang lain hanya menggelengkan kepala. Dan orang-orang terlalu terkejut mendengar hasil pemeriksaan itu, sehingga keterangan bidan selanjutnya tidak begitu terdengar. Atau lebih tepatnya, tidak dapat dimengerti. Orang-orang hanya mendengar, “Kejadian seperti ini bukan yang pertama kali,” kata bidan itu.
Tidak aneh kalau berita terakhir itu menambah geger desa itu. Bahkan ada yang berani menduga, “Titin disetubuhi mahluk halus!” Dugaan semacam itu hampir mendapat persetujuan seluruh warga desa setelah seorang tetua yang paham tentang kemahlukhalusan menyatakan hal yang sama.
Benarkah? Aku tidak tahu. Yang jelas, ketika aku ditugaskan sebagai guru di sebuah SD inpres yang ada di desa itu, Titin yang cantik, masih belum menikah. Jabang bayi yang dikandungnya telah lama lahir. Bahkan sudah berumur dua tahun. Puteranya lelaki, sempurna, cakep seperti ibunya. Sementara Pak Kuwu sendiri sudah tidak lagi jadi kuwu.
Satu hal yang masih sering diperbincangkan, orang-orang tidak percaya Titin hamil tanpa dijamah seorang lelaki. Dan aku pun membisu ketika orang-orang di desa itu meminta pendapatku tentang kasus Titin.
(Cerpen lama, pernah dimuat di HU.Bandung Pos, beberapa tahun silam)