Sulastri Diperkosa

Sulastri diperkosa! Begitu kata temanku dua minggu lalu. “Lima belas pemuda brangasan yang tidak dikenal, secara biadab memperkosa Sulastri di sebuah rumah kosong yang terletak di dekat SD Inpres,” kata sang rekan, seakan-akan sedang membacakan sebuah berita kriminal di koran mingguan.

“Pagi-pagi ketika anak-anak SD itu bermain di dekat ruumah kosong itu, mereka mendengar rintihan. Waktu ditengok, di dalam rumah kosong itu tampak Sulastri terbaring lemas dengan tubuh tanpa busana. Di tubuhnya banyak luka-luka. Malahan yang paling rusak adalah iii…”

“Stop!” kataku memotong kalimatnya. Aku sudah bisa membayangkan tanpa dongeng yang lengkap sekalipun pun, bahwa betapa malangnya Sulastri. Ia tentu harus terbaring di rumah sakit sekian hari dengan penanganan medis yang intensif. Aku juga sudah dapat membayangkan, betapa orang tuanya berduka, betapa kakak-kakaknya (Sulastri putri bungsu) sedih berkepanjangan. Dan betapa pacarnya terpukul (Sulastri akan menikah dengan pacarnya itu tiga bulan lagi).

“Malam itu, seperti biasanya Sulastri pulang kuliah,” rekanku memaparkan awal peristiwa menyedihkan itu tanpa kuminta. “Bumi baru saja disiram hujan, sehingga malam terasa lebih sepi. Padahal jam belum menunjuk pada angka sembilan. Sulastri berdiri di pinggir jalan, menunggu angkutan umum yang akan membawanya pulang ke rumah.

“Tiba-tiba di depannya berhenti sebuah mobil colt. Seseorang – Sulastri tentu menduganya ia kernet – menongolkan kepalanya dari jendela pintu mobil seraya menyebut nama sebuah kampung yang akan dituju Sulastri. Tentu saja Sulastri bergegas naik ke mobil itu. Ia sama sekali tidak curiga. Sebab Sulastri mengira colt itu angkutan umum. Lagi pula di dalamnya banyak orang, yang dikira Sulastri mereka adalah penumpang juga….”

“Jangan terlalu bertele-tele. Singkat saja ceritanya,” potongku. Aku memang bukan orang yang senang mendengar cerita semacam itu. Bukan apa-apa; aku tidak mau perasaanku terlibat kedalam suatu kisah yang menyeramkan. Terus-terang saja aku penakut. Aku takut mengalami hal yang sama seperti dialami Sulastri. Sekalipun aku lelaki, tapi di jaman ini tidak mustahil ada segerombolan perempuan yang memperkosa seorang pria.

“Ya, Sulastri baru menyadari adanya ketidakberesan ketika mobil itu tidak berhenti di tempat yang ditunjuknya. Malah si sopir lebih mempercepat laju kendaraannya, sementara dua orang lelaki yang berada di bangku belakang dengan cepat membekam mulut dan hidung Sulastri dengan sapu tangan. Sulastri mencium suatu bau yang aneh, dan sesaat kemudian Sulastri sudah tak ingat apa-apa lagi. Sulastri pingsan dibius.

“Sopir colt menghentikan mobilnya di dekat sebuah SD Inpres. Lalu dengan hati-hati para penumpang colt yang berjumlah lima belas orang itu menggotong tubuh Sulastri, membawanya ke sebuah rumah kosong tidak jauh dari SD itu. Kemudian terjadilah perkosaan itu,” kata sang rekan.

Aku tercenung sejenak. Lalu tanyaku, “Kau tahu dari mana cerita itu? Dari Sulastri sendiri, atau dari para pemerkosanya? Eh, apakah pemuda-pemuda bragajul itu sudah tertangkap?”

“Belum. Bangsat-bangsat itu masih buron,” jawabnya yakin. “Aku mendapatkan cerita itu dari Susi. Kau `kan tahu Susi? Makanya aku tahu urutan cerita itu dengan lengkap. Sebab Sulastri pasti menceritakannya kepada Susi. Itu sama saja artinya Sulastri bercerita kepadaku.”

Aku mengangguk. Aku memang pernah sekelas dengan Susi semasa SMA. Sedangkan Sulastri adalah adik kelasku, teman baik Neni, adiknya Susi. Aku kenal baik Sulastri, soalnya aku pernah naksir dia. Tapi lalu datang Marni dalam kehidupan SMA-ku, sehingga Sulastri terlupakan untuk sementara.

Empat hari kemudian temanku datang bercerita lagi. Apa yang pernah terbayangkan dalam benakku bahwa setelah kejadian itu Sulastri mungkin akan menjadi gadis paling murung di dunia -- lewat cerita temanku – kini menjadi kenyataan.

Katanya, “Hanya tiga hari Sulastri dirawat di rumah sakit. Tapi itu tidak berarti Sulastri sudah sehat. Orang tua Sulastri terpaksa membawa pulang putrinya, sebab di rumah sakit pun Sulastri tidak mau didekati perawat dan dokter yang akan mengobati luka-lukanya, terutama yang di situ itu. Pengobatan yang pernah diterimanya hanyalah ketika Sulastri pingsan dihari pertama di rumah sakit.

“Pernah ke situ didatangkan psikiater, dengan harapan Sulastri mau menumpahkan tekanan-tekanan batinnya. Tapi jangankan bercerita, ngomong sepatah dua patah kata pun Sulastri tidak mau. Termasuk kepada orang tua dan kakak-kakaknya. Malah setelah berada di rumah, Sulastri tidak mau ditemui siapa pun.”

“Bagaimana dengan tunangannya?” tanyaku. Aku kira persoalan inilah yang paling penting sekarang. Sulastri sudah jelas bukan perawan lagi. Dan peristiwa yang dialaminya akan menjadi trauma berkepanjangan. Mungkin Sulastri akan merasa dirinya kini sebagai gadis yang tak lagi berharga. Oleh karena itu pengakuan yang sejujur-jujurnya dari si tunangan, mungkin akan menolong Sulastri. Lebih-lebih kalau si tunangan itu mau juga menikahinya dengan kondisi Sulastri seperti itu.

“Aku belum tahu. Tapi dari cerita Burhan, bekas pacar Sulastri, katanya sih dia belum pernah menjenguk Sulastri,” jawab temanku, dan ia berjanji akan mencari tahu tentang tunangan Sulastri itu. Dan itu memang benar. Lima hari kemudian temanku datang lagi, bercerita bahwa si tunangan itu sama sekali tidak mau menemui Sulastri, padahal oleh kakak-kakaknya telah diberi tahu dan minta tolong agar dia menghibur Sulastri.

“Bukan itu saja,” kata temanku, “Rencana pernikahan mereka pun dibatalkan oleh lelaki itu. Alasannya `Saya tidak mau menikah dengan barang bekas`. Itu dikatakan si tunangan kepada kakak-kakaknya Sulastri. Lalu salah seorang kakak Sulastri mengatakannya lagi kepada Burhan, dan Burhan meneruskannya Susi.

“Esok atau lusa aku akan menengok Sulastri. Siapa tahu kepadaku ia mau mengungkapkan tekanan-tekanan batinnya. Gini-gini juga aku pernah merasakan cintanya. Malahan konon kata Susi, pemuda yang sampai kini masih dicintainya adalah aku. Nah dengan modal itu aku kira Sulastri mau menumpahkan kepedihannya. Kau ikut, Rus? Kita sama-sama ke sana,” kata temanku sesaat sebelum pamitan.

“Kau saja duluan. Aku pasti ke sana. Tapi nanti. Dua tiga hari ke depan aku amat sibuk,” kataku. Namun sebelum aku sempat ke sana, kawanku nongol lagi ke rumahku. Aku sudah bisa menebak dia mau nambah cerita soal Sulastri.

Tapi kedatangannya kali ini tampak berbeda. Temanku kelihatan murung. Malah dia tidak bergairah ketika aku bertanya bagaimana kondisi Sulastri setelah dia menengoknya. Aku sendiri tiba-tiba merasa was-was, jangan-jangan Sulastri meninggal dunia, atau bunuh diri, atau paling tidak, menjadi gila karena tidak tahan tekanan batin akibat pemerkosaan yang dialaminya.

“He, kenapa diam? Apakah ada sesuatu yang lebih buruk menimpa Sulastri?” tanyaku.
Temanku menggelengkan kepala. Lalu katanya, “Manusia sekarang benar-benar sudah keterlaluan.”
“Maksudmu?”

“Semua cerita tentang Sulastri sama sekali tidak benar. Ketika aku berkunjung ke rumahnya, Sulastri sehat wal afiat. Bahkan tak ada luka sekecil apa pun di tubuhnya. Sulastri justru terkejut ketika aku menceritakan bahwa dia diperkosa lima belas pemuda berandal. Kemudian Sulastri terbahak. Aku dikatakannya telah tertipu ulah Susi.”

“Susi sendiri bagaimana, telah kau datangi, atau mungkin telah kau maki-maki karena telah menyebarkan cerita bohong itu?”

“Itulah edannya. Susi ternyata mendapatkan khabar pemerkosaan Sulastri itu dari berbagai pihak, sebagian dari Si Burhan, sebagian dari Si Dodi, sebagian dari tukang becak, dan sebagian lagi Susi mendengarnya dari calo-calo terminal tempat dia biasa naik angkutan umum ke kampusnya. Ketika aku menemui Si Burhan dan Si Dodi untuk menanyakan dari mana mereka mendengar khabar Sulastri diperkosa, keduanya juga mengatakan bahwa khabar itu diperoleh dari orang lain. Apakah itu bukan sesuatu yang edan?”

Aku tak tahan. Tawaku seketika meledak. Sementara wajah temanku tampak merenggut. Mungkin dia tersinggung aku mentertawakannya.

“Okelah kalau begitu,” kataku kemudian. “Semuanya jelas. Sulastri tidak kenapa-napa, dan kita patut bersyukur. Tapi aku sendiri tetap aku berkunjung rumah Sulastri. Aku akan menceritakan kepadanya bahwa kau depresi berat lantaran merasa bersalah telah menyebarkan khabar bohong tentang Sulastri. Tapi tentu saja yang lebih penting lagi adalah silaturahmi. Sudah lama juga aku tidak bersua Sulastri.”

Esoknya memang aku berkunjung ke rumah Sulastri. Kakak tertuanya menyambut kedatanganku di teras rumah. “Kebetulan Dik Rus datang ke sini. Ayo sama-sama saja kita ke rumah sakit. Sulastri ada di sana,” katanya tanpa mempersilakan aku masuk. Dia sendiri memang kelihatan seperti akan keluar rumah.

“Apakah Sulastri sakit? Bapak atau Ibu yang sakit, atau yang lain?”
“Nanti kita lihat saja di rumah sakit,” jawabnya.
Aku tak lagi bertanya, sekalipun benakku dipenuhi rasa heran.

Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, kakak Sulastri pun tak bicara. Dari raut wajahnya aku melihat kesedihan. Itu tentu karena ada keluarganya yang dirawat di rumah sakit. Tapi siapa? Aku baru tahu ketika setibanya di rumah sakit, kakaknya Sulastri langsung membawaku ke sebuah ruangan rawat-inap. Di situ aku melihat kedua orangnya, kakak-kakaknya yang lain, dan juga ada beberapa gadis dan pemuda yang aku kira mungkin teman-teman kuliahnya.

Mereka berdiri di sisi tempat tidur. Aku mendekat. Di situ aku lihat Sulastri terbaring. Matanya terpejam. Wajahnya penuh dengan memar biru kehitaman. Sementara tarikan napas tampak amat lemah.

“Kenapa Sulastri?” tanyaku perlahan kepada kakaknya yang datang bersamaku. Dia lalu menyeretku ke sebuah sudut ruangan. Dengan suara rendah dia mengatakan bahwa tadi malam sekitar pukul sembilan, Sulastri diperkosa oleh lima belas pemuda bragajul di sebuah rumah kosong di pinggir jalan desa.

Tak terlukiskan bagaimana aku terkejutnya mendengar khabar itu. Terlebih lagi kejadiannya hampir sama dengan cerita bohong yang disampaikan temanku itu. Apakah hanya suatu kebetulan semata? Aku tidak tahu. Aku hanya tahu, maksudku hanya akan tahu, bahwa temanku itu akan semakin depresi kalau ia kemudian tahu bahwa tiga hari setelah ia berkunjung ke rumahnya, Sulastri benar-benar jadi korban perkosaan.

(Cerpen lama, pernah dimuat di HU.Bandung Pos awal 90-an)

13 komentar:

Gilang kurniaji mengatakan...

keren pak cerpennya... salut...

HB Seven mengatakan...

cool....ceritanya....tak kira...beneran je..he..he..

Aku diperkosa mengatakan...

mantap cerpennya, terus berkreasi!

Boku no Blog mengatakan...

Mantab nich Ceritanya P. Rasyid
Sukses selalu

Anonim mengatakan...

wah seru jalan ceritanya, gak terasa udah selesai..
hehe..

la tahzan mengatakan...

lha trus nasib sulastri dg tunangannya gimana tuh pak?
kan ktahuan kadar kesetiaannya....
Heheh

tiwi mengatakan...

astagfirullah....meski cuma cerita sy merinding bacanya Pak, krn sy sndr pnya dua putri yg msh kcl, mg2 tdk ada hal buruk menimpa keduanya Amin.

NTRage03 mengatakan...

:D wah keren om critana :)
bole copas buat tugas kan :)
dg sdikit revisi tentunya

Nyayu Amibae mengatakan...

siiip.. memang cerita di blog ini mantaf!!! hehehe... tadi awalnya aku ketipu juga kirain beneran, tapi ada juga cerita yg janggal di baris kalimat ini :

"....Lalu dengan hati-hati para penumpang colt yang berjumlah lima belas orang itu menggotong tubuh Sulastri, membawanya ke sebuah rumah kosong tidak jauh dari SD itu..."

kan saat itu sulastri pingsan, ya mana tau dong digotongnya hati-hati atau tidak.. hehehe...

huft.. asal banget komennya... kaburrr!!!

Agen Judi Online mengatakan...

merinding juga ya awal ceritanya,,
tp bagus inti dari ceritanya, salam kenal..

Agen SBOBET mengatakan...

ternyata, wkwkwkkwkwkwk

Unknown mengatakan...

Do you want download top 10 music 2018 ? then you must klik this Link download lagu and you can get the reward if you play our games poin reward
SITUS TARUHAN PIALA DUNIA
AGEN TARUHAN PIALA DUNIA

kandang kurban mengatakan...

cara menghitung zakat mall zakat online mudah

Posting Komentar