One Day No Rice

Lontong, ketupat dan bubur memang bahan bakunya sama, yakni beras. Begitu juga nasi, asalnya dari beras juga. Tapi kalau sudah menyangkut perut kita, yang namanya lontong, ketupat dan bubur, berbeda dengan nasi. Paling tidak bagi saya dan umumnya masyarakat di daerah saya, Cianjur, Jawa Barat.

Maksud saya begini: sekalipun perut saya telah diisi bubur, atau yang agak padat seperti lontong dan ketupat, tapi saya tetap menganggap belum makan. Sebab bagi saya, yang disebut makan adalah makan nasi. Sedangkan yang disebut makan bubur, makan lontong atau makan ketupat, itu namanya nyaneut (semacam makan ringan) yang tak beda dengan makan mie-bakso, martabak atau roti. Dan hal itu dimaksudkan sekedar untuk menahan lapar sampai akhirnya ketemu nasi.

Begitulah pola konsumsi saya sejak kecil. Makan nasi sangat pokok. Lalu kalau sekarang ada kampanye One Day No Rice (sehari tanpa makan nasi, katanya dalam seminggu), bisakah perut saya menerimanya? Atau barangkali untuk menghormati ajakan kampanye dari pemerintah itu, sebaiknya saya puasa saja sekaligus, toh sama saja hari itu saya tidak makan nasi?

Memang sama, tapi jelas tidak sebangun. Puasa bernilai ibadah. Sedangkan One Day No Rice bernilai penghematan. Lebih tepatnya, One Day No Rice yang merupakan bagian dari kegiatan Kementerian Pertanian dalam rangka memperingati Hari Pangan Sedunia, 16 Oktober 2010, lebih bertujuan kepada upaya untuk mengurangi konsumsi beras.

Kampanye One Day No Rice, kata Menteri Pertanian Suswono seperti dilansir detikfinance, akan mendukung ketahanan stok dan diversifikasi pangan. Bahkan dengan mengkonsumsi pangan yang beragam bisa menjadi perbaikan gizi masyarakat. Caranya pun tidak harus dilakukan sehari penuh, namun porsi nasi bisa dikurangi satu porsi sehari. Sehingga dalam waktu tiga hari setara dengan tak makan nasi sehari.

Jadi rupanya kampanye One Day No Rice itu boleh diubah menjadi “one day a little rice”. Karena yang penting tujuannya tercapai, yakni berkurangnya konsumsi beras, sekaligus terciptanya diversifikasi pangan.

Hal itu rupanya perlu dilakukan, sebab secara nasional ketergantungan masyarakat kita terhadap beras, sangat tinggi. Seperti dikatakan Kepala Pusat Konsumsi dan Keamanan Pangan, Badan Ketahanan Pangan (BKP) Mulyono Muchtar, pada era tahun 1950-60-an ketergantungan pangan masyarakat Indonesia pada beras masih sebesar 53%, namun kini ketergantungan itu semakin tinggi hingga mencapai 92-95%.

Setujulah kalau One Day No Rice itu bertujuan ke sana. Soalnya saya sendiri selama ini telah mempraktekkan sebagian ajakan itu. Saya memang terbiasa makan nasi sehari dua kali (standarnya tiga kali sehari). Bahkan saudara-saudara kita yang kurang beruntung, yang tinggal di pedesaan, di kolong-kolong jembatan di kota-kota besar, terkadang hanya sehari sekali makan nasi, malah mungkin sehari tak ketemu nasi. Mereka telah lebih dulu melaksanakan One Day No Rice sebelum pemerintah mengkampanyekannya.

Lebih dari itu, saya juga setuju One Day No Rice. Sebab ada kecenderung areal pesawahan di negeri kita semakin hari semakin banyak yang berubah fungsi menjadi kompleks perumahan, pabrik dan semacamnya, sementara upaya pencetakan sawah baru luasnya tidak signifikan, kalau pun tidak dikatakan tidak ada. Itu artinya, produksi beras nasional akan berkurang sekalipun upaya intensifikasi pertanian digiatkan.

Di sisi lain mulut yang harus disuapi nasi semakin bertambah seiring dengan pertumbuhan penduduk. Sehingga akan menjadi persoalan sangat serius bila nanti produksi beras tidak mencukupi kebutuhan masyarakat. Memang untuk itu bisa ditempuh jalan pintas, yakni mengimpor beras. Tapi impor beras ke negeri yang katanya subur makmur ini selalu menuai pro-kontra. Makanya, mungkin, dicari jalan terbaik, yakni dengan cara mengurangi konsumsi beras, yang langkahnya antara lain berupa kampanye One Day No Rice.

Tapi memang tidak mudah mengubah pola konsumsi masyarakat yang sudah mengakar. “Dari jaman purbakala, di khatulistiwa cocok dengan beras. Mengubah budaya tidak gampang. Ok dikurangi, tapi harus ada pengganti yang rasanya enak dan murah,” kata Ayong Suherman Dinata, pemilik PT Alam Makmur Sembada kepada detikfinance mengomentari kampanye One Day No Rice.

Ayong menyatakan pengalaman negara-negara seperti Jepang dan Hong Kong yang berhasil mengurangi konsumsi beras masyarakatnya tidak terlepas dari dukungan daya beli masyarakat di negera-negara tersebut yang memang sudah sejahtera.

Betul juga tuh. Singkong atau gaplek, memang bisa jadi makanan enak sebagai pengganti nasi, kalau diolah sedemikian rupa. Lalu sebagai temannya disajikan rendang daging sapi atau panggang ayam bakar, ditambah sayur cap-cay atau lodeh nangka. Pasti santapan seperti itu akan penuh gizi dan sehat. Tapi untuk itu memang perlu duit, sedangkan kondisi sekarang banyak masyarakat kita yang daya belinya rendah.

Jadi bagi mayoritas masyarakat kita makan nasi tetap pilihan utama. Nasi hangat dengan garam pun, terasa nikmat dan kenyang. Atau dengan sedikit variasi yakni nasi tutug oncom (nasi yang dicampur dengan bubuk oncom yang sebelumnya telah dipanggang di atas api alakadarnya), pasti lezat, sekalipun memang minus gizi. Yang penting nasinya ada.... every day to eat rice, dan bukan one day no rice.

13 komentar:

Unknown mengatakan...

Kampanye 'One Day No Rice' amat menarik sekali. Merubah budaya kebiasaan makan nasi setiap hari memang sulit untuk diubah. Maksudnya memang mulia. Mengurangi ketergantungan akan beras. Ada banyak pilihan bahan makanan lain selain beras. Gerakan ini harus disosialisasikan secara terus menerus di masyarakat. Kantor-kantor pemerintah dan swasta hendaknya mempelopori upaya ini, misalnya dalam penyelenggaraan rapat, seminar dan lainnya menu makannya agar non-beras, diganti menu lain yang menarik. Juga diadakan lomba menu makanan non-beras baik di tingkat kabupaten/kota dan provinsi bekerja sama dengan ibu-ibu Tim Penggerak PKK. Disamping itu sejak dini anak-anak sekolah diajarkan, dikenalkan dan diberi makanan lain sebagai ganti beras. Semoga Program 'One Day No Rice' ini sukses dan mendapat dukungan penuh dari semua elemen yang ada di masyarakat.

NENSA MOON mengatakan...

Sama dong Pa Asep kayak saya... meskipun sdh makan lontong, bubur, kupat tahu dll kalo belum mkan nasi namanya belum makan ..hehe..
semoga aja program ini berlangsung dgn baik alias bisa meningkatkan taraf gizi masyarakat kita terutama yg kls menengah ke bawah bisa mengkonsumsi makanan yg lebih beragam dan bergizi n tdk hanya mengandalkan beras sj sbg makanan pokok...
thx

inung halaman samping mengatakan...

Teruskan swasembada beras, dan Bulog mesti serap beras petani. Masak beras petani tidak bisa diserap tapi Bulog masih impor beras di Vietnam, ughhh

salam jumpa lagi kang Rasyid :)

DenBaGas mengatakan...

Salam
'One day no Rice.
Sebuah pergerakan yg kadang menimbulkan beberapa pandangan bercabang dari si pemandang sudut itu. Saya pribadi masih kurang nyaman dengan one day no rice ini, tp melihat dari tujuannya agak setuju sih. (sedikit)

Trus bgm dengan 'NASI AKING', tak perlu dijawab kawan.. Saya senang dengan anjuran puasa senin kamis, dimana ini adalah salah satu kontribusi kecil yg mungkin berdampak besar kelak..

Salam kawan

joe mengatakan...

ketergantungan kita pada beras sangat tinggi, sebab di masyarakat biasanya berlaku: serasa belum makan kalau belum menyantap nasi

bolehngeblog mengatakan...

asal jangan one day no money aja lah..

Darin mengatakan...

Lho, saya baru tahu ada kampanye semacam ini pak. Ya kalau dilihat dari alasan2nya sih masuk akal, dan sepertinya cocok banget tuk masyarakat miskin, lha makan nasi sehari-hari aja susah?

Maksud saya, para pengambil keputusan itu seyogyanya memberi contoh, bagaimana caranya menghemat nasi. Jangan cuma nebar kebijaksanaan tapi ia sendiri kenyang makan nasi tiap hari *doh*

om rame mengatakan...

dengan masih kurangnya daya beLi masyarakat secara Luas, masih bisa juga kekurangan bahan pangan (beras). apaLagi kaLau sudah tidak ada masyarakat yang makan nasi aking ataupun hanya bisa makan umbi kayu, bisa pengadaan beras akan semakin keteteran.

katanya, negeri ini adaLah negeri yang subur makmur tetapi sarjananya masih pada juaLanan bubur. hmmm...

kiranya sesuai pada tuLisan saya yang kemarin Bapak simak, seperti ituLah cara pandang saya mengenai tuLisan ini.

Boku no Blog mengatakan...

Wah kayaknya tanpa Nasi masih lemez nich Pak,..hehehe

rahmatea mengatakan...

saya mungkin masuk pada kategori kalau belum nasi ya belum makan namanya....meski sudah makan bubur, kupat tahu, lontong dll....

setahu saya kampanye one day no rice sudah bukan sesuatu yang asing lagi.....sudah banyak kok yang melakukannya dan itu bukan untuk di kampanyekan agar di laksanakan tapi sebaliknya justru harus kita hilangkan atau setidak tidaknya harus kita minimalisir biar tidak banyak yang mengikutinya....(kalau bisa sih). mau bukti? cobalah tengok kiri kanan kita baik di sekitar rumah tinggal kita, atau di pinggir jalan raya, di sekitar pasar dsb. banyak kok yang untuk sekali makan saja harus ngorek ngorek tong sampah atau meminta minta terlebih dahulu.....

lebih seru lagi kalau ada kampanye...ONE DAY NO CORRUPTION, pasti hebat......saya pasti mendukungnya....sangat mendukungnya.

indragmilr mengatakan...

betul kang, kalo belum makan nasi bukan makan namanya,hehehe...

Mhya mengatakan...

tapi kalau lagi gak nafsu makan kayaknya ketupat atau lontong bisa dijadikan pilihan deh...

Seputar Bola Terkini mengatakan...

Terima kasih gan
kita harus membenahi petani agar hari-hari kita selalu dihadiri oleh beras(makan)

Posting Komentar